Relawan Negeriku
Tanpa memperdulikan setetes keringat yang jatuh di tanah
Tanpa memperdulikan teriknya sinar matahari
Tanpa memperdulikan derasnya hujan yang mengguyur
Selamanya…
Itu semua untuk negeri tercinta
Dibawah naungan PMI
Mereka lalui setiap hambatan yang ada
Berjuang……
Mengukir dengan amal budimu yang tulus
Bersama…
Menggugah kaummu untuk berlaku sepertimu
Kan menolong sesama yang membutuhkan
Tanpa mengharapkan balasan
Kau lakukan dengan ketulusan hatimu
Sempurna……
Bagi terwujudnya negeri yang damai
Kamis, 24 November 2016
Lirik Lagu Sambalado - Ayu Ting Ting
Sambalado
cintamu seperti sambalado ah ahrasanya cuma di mulut saja ah ahjanjimu seperti sambalado ah ahenaknya cuma di lidah saja hoo ooo
colak colek sambalado alamak oeedicolek sedikit cuma sedikit, tetapi menggigitujung-ujungnya bikin sakit hatiujung-ujungnya sakit hati
di dalam lidahmu itumengandung bara api yang membakar hatidi dalam lidahmu itumengandung racun tikus yang mematikannya
di saat ada maunya, lagi ada maunyabaik-baik sajasetelah hilang rasanya, hilang pula cintanyadan melupakannya
sambalado eh eh sambalado eh ehitu sambalado, cintamu sambalado
di dalam lidahmu itu mengandung bara api yang membakar hatidi dalam lidahmu itu mengandung racun tikus yang mematikannyadi saat ada maunya, lagi ada maunya, baik-baik sajasetelah hilang rasanya, hilang pula cintanya dan melupakannya
sambalado eh eh sambalado eh ehitu sambalado, cintamu sambalado
sambala sambala bala sambaladoterasa pedas, terasa panassambala sambala bala sambaladomulut bergetar, lidah bergoyang
cintamu seperti sambalado ah ahrasanya cuma di mulut saja ah ahjanjimu seperti sambalado ah ahenaknya cuma di lidah saja ooh hoo
colak colek sambalado alamak oeedicolek sedikit cuma sedikit, tetapi menggigitujung-ujungnya bikin sakit hati, ujung-ujungnya sakit hati
Resep Gado-Gado
Gado-gado
Bahan-bahan
- 2 butir telur
- 1/2 ons toge kecil
- 1 ons kacang tanah
- 4 buah tahu
- 1 buah kentang
- secukupnya garam, gula merah
- 1 siung bawang putih
- 1 ruas jari kencur
Langkah
- Goreng tahu, dan dadar telur.
- Rendam toge di air mendidih. Rebus kentang.
- Goreng kacang tanah hingga berwarna coklat. Kemudian angkat, haluskan.
- Uleg bawang putih, kencur, garam, gula, dan kacang. Tambahkan air.
- Campur semua bahan yang sudah matang. Siram dengan saus kacangnya. Selesai :)
Senin, 21 November 2016
jejak brotoseno di sawah pelat merah
21 november 2016
Jejak Brotoseno di Sawah Pelat Merah
Liputan6.com, Jakarta - Ajun Komisaris Besar Brotoseno tidak pernah menyangka. Bila biasanya dia memeriksa tersangka dan saksi dugaan korupsi, justru berbalik. Kini dia yang duduk di kursi pesakitan sebagai tersangka. Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut ditangkap Tim Sapu Bersih Pungutan Liar bekerjasama dengan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, lantaran terendus 'mengamankan' kasus sawah fiktif.
Brotoseno ditangkap dikediamannya, Jumat 11 November 2016. Uanga senilai Rp 1,9 miliar disita sebagai barang bukti penyuapan. Penangkapannya merupakan pengembangan penangkapan sebelumnya, tim Saber Pungli menangkap seorang perwira menengah yang bertugas di Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum), Komisaris DSY.
BACA JUGA
Sementara, rekannya Kompol D ditangkap saat berada mes perwira Polri dengan barang bukti uang pecahan seratus ribu rupiah sekitar Rp 150 juta. "Yang ditangkap lebih dulu itu Kompol D, diperiksa, baru berkembang ke AKBP BR. Kompol D ditangkap di mes," ucap Boy.
Brotoseno adalah perwira menengah aktif yang berdinas di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Bareskrim. Sementara DSY merupakan penyidik di Direktorat Tindak Pidana Umum (Tipidum).
Broto memang tengah disibukan menangani kasus dugaan korupsi cetak sawah. Sebuah proyek urunan perusahaan pelat merah yang saat itu dijabat Menteri BUMN Dahlan Iskan. Proyek yang berlangsung 2012-2014 ini menghabiskan 360 miliar.
Bareskrim menetapkan mantan Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Upik Rosalina Wasrin sebagai tersangka. Sementara itu, nama Dahlan Iskan ikut terseret dalam pusara kasus tersebut. Dahlan sampai saat ini masih berstatus saksi.
Polri, Dalam pemeriksaan, baik AKBP Brotoseno maupun Kompol D sudah mengakui perbuatan mereka. "Keduanya sudah ditahan terpisah, mereka kooperatif dan mengakui bersalah," Boy menandaskan.
Selain dua perwira menengah, dua orang yang diduga menyuap dan mengaku sebagai pengacara Dahlan Iskan juga ikut ditangkap. Sementara Dahlan, usai diperiksa di Polda Jatim membantah mengenal dua orang yang mengaku sebagai pengacaranya.
"Dua orang sipil sebagai perantara dalam perkara itu atau yang memberikan sejumlah uang juga ditetapkan tersangka. Berdasarkan hasil pemeriksaan sudah cukup bukti untuk ditingkatkan (menjadi tersangka) sehingga total empat orang sudah dilakukan upaya paksa penahanan," ujar Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Prayitno di Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 18 November 2016.
Keempatnya ditahan terpisah. Alasannya agar keempat tersangka tidak melakukan pemufakatan di dalam sel yang sama. "AKBP B di Rutan Polda Metro Jaya, yang Kompol D di Rutan Polres Jakarta Selatan. Sementara dua yang sipil di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok," ucap Dwi yang juga Ketua Pelaksana Satgas Saber Pungli itu.
Menurut dia, kasus penerimaan suap oleh dua perwira menengah Polri ini sudah masuk dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Untuk sementara Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a UU Tipikor karena ada yang memberi sesuatu, menjanjikan hadiah dan menerima," tutur dia.
Perkara tersebut kini sudah dilimpahkan ke Bareskrim Polri untuk disidik pidananya. Menurut Boy Rafli, hukuman berat menanti kedua pamen tersebut. Termasuk sanksi pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota Polri.
"Sanksi itu tunggu prosesnya dari paling ringan itu teguran, somasi, penundaan kenaikan pangkat kalau memang ada, sampai pemberhentian tidak hormat," tegas Rikwanto.
Boy mengatakan, setiap anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra Polri dan menjaga kehormatan polri. "Kemudian setiap anggota polri dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dan gratifikasi," kata Boy.
Polisi menyita barang bukti uang suap sebesar Rp 2,9 miliar dalam kasus.
"Barang bukti telah dihitung secara bersama yaitu Rp 2,9 miliar," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kombes Rikwanto dalam pesan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (19/11/2016).
Rinciannya, tutur Rikwanto, Rp 1,7 miliar disita dari tangan AKBP Brotoseno. Rp 150 juta dari Kompol DSY dan uang sebesar Rp 1,1 miliar dari perantara suap berinisial LMB.
"Kemudian ada juga bonggol kertas pengikat uang yang bertuliskan nama salah satu bank swasta nasional," ucap Rikwanto.
Ujian Usut 'keluarga' Sendiri
Sebelum kasus Brotoseno dan DSY mencuat, seorang perwira menengah, AKBP KPS, juga dinon job-kan dari jabatannya. Dia diduga memeras salah seorang bandar jaringan Freddy Budiman. KPS adalah reserse yang malang melintang mengungkap jaringan narkoba. Namun, sayang kemampuannya dia salahgunakan untuk korupsi.
KPS adalah perwira menengah yang pernah dua kali mendapat penghargaan, yaitu saat dia bertugas di lingkungan Reserse Narkoba di Polda Metro Jaya dan terakhir saat dia mengungkap pabrik narkoba yang berjaringan dengan Freddy Budiman.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memastikan pihaknya akan menindaklanjuti temuan tersebut. Salah satunya, memeriksa pamen berinisial KPS.
"Nanti akan saya berikan langkah-langkah. Prinsipnya kalau ada laporan seperti itu saya akan print (laporan) dan minta untuk Propam mendalami melakukan pemeriksaan. Dan kalau memang ada kode etik yang dilanggar, ya kode etik, kalau ada pidana ya kita pidanakan," kata Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat 16 September 2016.
Di Bali, Komisaris Besar Franky Haryadi Parapat ditangkap karena memeras pihak yang berperkara. Ada tujuh kasus narkoba di bawah 0,5 gram yang menjadi lahan Franky memeras korbannya. Selain itu, dia juga memeras tersangka asal Belanda agar memberikannya sebuah mobil SUV untuk mengamankan kasus yang menyandung warga negeri kincir angin tersebut.
Lebih jauh lagi, rekan satu atap KPS, AKBP Pentus Napitu, divonis penjara 4 tahun 8 bulan. Dia terbukti menyalahgunakan wewenangnya dengan memeras dan merekayasa kasus narkotika terhadap pemilik diskotek di Bandung.
Tidak tanggung-tanggung, Pentus memeras korbannya sebesar Rp 5 miliar. Polisi menyita US$ 80 ribu dan 40 kilogram emas. Polisi juga menyita satu unit mobil SUV yang diduga dibeli dari hasil pemerasan.
April 2016, Kasat Narkoba Polres Belawan AKP Ichwan Lubis ditangkap karana laporan pemerasan. Hasil penyelidikan, dia meminta Rp 8 miliar kepada korbannya agar kasus tidak bergulir ke meja hijau.
Di luar perkara narkoba, 2014 lalu dua perwira yaitu AKBP Murjoko dan AKP DS ditangkap karena memeras tersangka judi online. AKBP Murjoko kala itu menjabat Kepala Sub Direktorat Jataras Polda Jabar. Perkara yang ditanganinya saat itu adalah judi online. Murjoko meminta Rp 5 miliar kepada tersangka sebagai imbalan membuka rekening penampung uang judi.
Jauh sebelum itu, Bareskrim mengusut korupsi yang melibatkan Kabareskrim saat itu, Komjen Susno Duadji. Tentunya ini menjadi jejak Bareskrim, khususnya Direktorat Tipikor, dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Upaya membuat jera para polisi nakal terus digalakan agar tidak ada lagi anggotanya yang melanggar hukum.
Kasus Brotoseno kembali menjadi ujian bagi Polri dalam menjalankan profesionalitasnya sebagai penegak hukum. Berkas Brotoseno yang juga penyidik di Dit Tipikor sudah berada di meja direktorat yang menaunginya. Tanpa pandang bulu, kasus tersebut harus berjalan hingga ke meja hijau.
Minggu, 20 November 2016
Sabtu, 19 November 2016
Bunga Abadi
“Ra..” bisik lelaki dengan air mata yang mulai mengalir. Ia tak mampu lagi menahan rasa sakit karena ditinggalkan. Lelaki itu sangat mencintainya. Sangat. Bahkan, lelaki itu terus saja berbisik memanggil namanya. Meskipun ia tahu tidak akan mendapat sahutan. Ia tak juga beranjak meski sekelilingnya sudah tak ada orang, meski hanya bertemankan nisan-nisan yang hanya akan terus diam, meski langit mendung memayungi. Tanpa menyadari ada seseorang yang sedari tadi menatapnya di kejauhan dan ikut menangis bersamanya.
“Ram, sampai kapan kamu akan terus duduk di sini dan menatap nisannya? Aku tahu ini berat, tapi cobalah untuk mengikhlaskan. Doa tulus darimu dan keikhlasanmu yang ia butuhkan saat ini. Istirahatlah, kamu bisa mengunjunginya lagi besok.” Ujarku mencoba menguatkan dirinya yang kutahu ia sangat rapuh saat ini.
“Kamu pulang saja lebih dulu. Aku masih ingin bersamanya” Ujarnya masih menatap nisan yang bertuliskan nama MIRA ANDANI. Nama yang sudah 3 tahun mengisi hati Rama.
“Tapi kamu sudah duduk di sini berjam-jam. Sebentar lagi malam, lagipula hari sudah mendung. Ayo, kita pulang sebelum hujan turun.” Aku masih berusaha membujuknya.
“Biarkan saja aku kehujanan dan bermalam di sini. Aku tidak peduli! Kalau kamu mau pulang, pulang saja!” suaranya meninggi.
“Kamu pikir dengan duduk di sini semalaman dan berhujan akan membangunkan Mira? Kamu pikir dia senang kalau kamu sakit? Rama, sudahlah. Aku yakin Mira ingin kamu tidak terlalu larut dalam kesedihan seperti ini.”
“Apakah pernah kamu kehilangan orang yang sangat kamu cintai? Apa pernah, heh? Tidak, kan? Kamu tidak tahu rasanya!” Rama benar-benar keras kepala. Tapi, aku tidak menyerah untuk membujuknya.
“Tidakkah kamu tahu bahwa semua orang juga sangat kehilangan Mira? Tapi mereka tetap melanjutkan hidup. Bukan karena mereka sudah melupakan Mira, tapi mereka tidak ingin Mira sedih. Pulang dan istirahatlah. Kirimkan doa untuknya.” Aku memegang pundaknya, ia menatapku. Kulihat matanya memerah. Ah, hatiku ikut sakit melihatnya seperti ini.
“Kamu mencintai Mira, kan?” Ia menangguk pelan
“Kamu yakin ia juga mencintaimu, bukan begitu?” Lagi-lagi ia mengangguk
“Kalau begitu, sehatlah. Hiduplah seperti Rama yang dicintai Mira. Kamu tahu Mira takkan membiarkanmu sakit, kan?” Ia menangguk lagi. Ya, aku sangat mengenal Mira yang sangat memperhatikan kesehatan orang-orang di sekitarnya. Dia akan sangat sedih jika tahu ada orang yang ia sayangi jatuh sakit.
Akhirnya bujukan itu mampu membuat Rama luluh. Ia berjalan dengan lemas. “Apakah sebegitu berartinya seorang Mira untukmu?” Gumamku dalam hati. Seketika aku merasa ikut melemas.
Hari ini tampak sama, langit begitu cerah. Cahaya matahari begitu hangat menyentuh kulitku. Namun, ada seseorang yang telah berubah. Ia tak lagi hangat seperti cahaya matahari, tak lagi kulihat ia menarik kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan ke atas. Ya, ia tak lagi menjadi Rama seperti dulu yang kukenal. Bertahun-tahun mengenalnya, menjadi teman yang selalu ada di sampingnya, selalu menjadi penghiburnya serta semua nasihatku tak menjadi motivasi Rama untuk bangkit dari patah hatinya. Padahal, ia sudah berkali-kali patah hati sebelum ini. Tapi, tak pernah sehebat ini.
Lagi, kaki ini tetap melangkah padamu. Meski aku tahu akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti kemarin. Meski takkan kurasakan hangat tatapanmu, walaupun takkan ada senyuman untukku. Setidaknya aku telah mencoba, bukan?.
Seperti kemarin, hari ini aku hanya duduk di sampingmu. Duduk menatapmu yang sedang menatap kosong dinding kamarmu. Keluar sebentar hanya untuk memasakkan makan siang untukmu dan terus-terusan mencoba membujukmu untuk memakannya. Walaupun hanya satu atau dua sendok saja. Itu sudah cukup untuk memberimu energi untuk tetap hidup. Karena menangis saja juga membutuhkan energi, benar kan?.
Untunglah saat ini sedang libur panjang sehingga aku bisa seharian duduk di sampingmu yang hanya membisu. Berbagai cara kulakukan untuk menghiburmu. Mencoba mengajakmu berbicara, melontarkan teka-teki yang akhirnya kujawab sendiri, menceritakan sesuatu yang lucu meski hanya aku yang tertawa. Tapi kamu masih diam, sejak aku datang hingga berpamitan untuk pulang. Seorang penghibur juga perlu istirahat, kan? Karena untuk menjawab pertanyaan sendiri dan untuk menertawakan lelucon sendiri juga memerlukan energi, ya kan?
“Bayanganku sudah memanjang. Tidak terasa, ya? Kalau begitu aku pamit pulang, ya? Besok aku akan ke sini lagi.” Pamitku lalu melangkah ke luar dari kamarnya yang di setiap sudutnya seperti tertulis hampa dengan cetak besar dan tebal.
“Pulanglah. Jangan pernah kembali.” Ucapnya menghentikan langkahku. Sejak hari pemakaman itu ia tak sedikit pun mengeluarkan suara. Tapi, kenapa saat ia membuka mulut malah kalimat menyakitkan itu yang keluar?
Aku berbalik dan menatap laki-laki yang berat badannya sudah menyusut dengan drastis itu. Menatap matanya yang terlihat begitu menyayat. Ah, bukankah laki-laki di hadapanku ini adalah insan yang sedang patah hati?. Wajar saja ia berkata seperti itu.
“Apa yang lagi yang kamu tunggu?” ucapnya dingin.
“Uh, kamu tahu? Kalimat itu barusan menyakitkan. haha” Ucapku yang masih berpikir ia bergurau
“Kamu mencoba membuat lelucon, Ram? Leluconmu masih kurang lucu. Besok aku akan kembali membawa buku kumpulan cerita lucu, mungkin itu akan membantumu.” Sambungku
“Aku bilang jangan pernah kembali! Apa kamu tuli, Fya?” aku tersentak, aku sama sekali tak menduga kalau yang diucapkannya bukanlah sebuah lelucon. Bahkan ia tak pernah menyebut namaku. Selama ini ia selalu memanggilku ‘adik kecil’ yang membuatku tak pernah bisa mengatakan apa yang selama ini memenuhi ruang hatiku, siapa yang selalu menjadi pemeran utama dalam pikiranku.
“Tapi, kenapa? Aku hanya ingin menghiburmu.”
“Untuk apa menghiburku? Bukankah kamu senang atas kematian Mira? Tidak perlu berpura-pura peduli!” Ucapnya dengan tatapan menuduh.
“Kenapa aku harus senang? Jadi kamu berpikir bahwa aku hanya pura-pura peduli? Baik, terserah kamu mau menilaiku serendah apapun itu. Aku akan mencoba tidak peduli dan tidak akan pernah menemui lagi.” Ucapku sambil berlari menjauh. Tidak kusangka orang yang selama ini kusayangi tega menuduh dan menilaiku serendah itu. Aku mencoba menahan tangisku. Tapi tidak bisa, kali ini Rama benar-benar menyakitiku.
Aku menangis di depan nisan berukirkan nama seorang wanita yang memang tiga tahun ini selalu membuatku cemburu. Bagaimana tidak, jika wanita yang baru saja mengenal Rama bisa dengan mudah mencuri hatinya. Sedangkan aku yang telah berusaha mati-matian sama sekali tak pernah disadari kehadirannya.
Meski cemburu, aku tidak pernah membencinya. Apalagi senang atas peristirahatannya yang untuk selama-lamanya ini. Sama sekali tidak.
“Ra, maafkan aku yang selalu mencemburuimu. Tapi, percayalah padaku bahwa aku tidak pernah membencimu. Aku sama sedihnya seperti orang lain ketika dirimu pergi. Maafkan aku juga karena tidak bisa membuat Rama hidup seperti dulu. Ia berubah, Ra. Ia dingin, bahkan tega menuduhku. Aku mengikhlaskan hati Rama untuk mencintaimu. Tapi, biarkan aku menjaga raganya. Karena itu, kembalikan Rama yang dulu. Hanya kamu yang bisa menasehatinya. Kumohon.” Bulir-bulir bening terus saja berjatuhan membasahi tanah.
“Apa kamu sedang menertawakan nisannya Mira?” suara bas yang sangat kukenal memecah keheningan tempat pemakaman.
Aku hanya bergeming mendengar pertanyaan Rama yang menusuk jantungku itu.
“Kamu menangis? Untuk siapa? Mira? Memangnya sejak kapan kamu dekat dengan Mira, heh? Hapus saja air mata palsumu itu. Aku tahu perasaanmu padaku, maka dari itu aku memanggilmu ‘adik kecil’ agar kamu tak pernah memiliki nyali untuk mencintaiku. karena itu, kamu pasti senang orang yang kucintai pergi, kan?” Ucapnya ketika duduk di sebelah kiri makam Mira dan berseberangan denganku yang berada di sebelah kanan makam, dari sini ia bisa melihat tangisku. Aku mengepalkan tanganku erat hingga buku-buku jariku memutih. Rama benar-benar keterlaluan. Ia menanggap remeh perasaan orang lain.
“Memangnya siapa yang tiga tahun lalu memperkenalkan Mira sebagai kekasihnya kepadaku? Kamu harus tahu, Ram. Aku menyesal mencintai orang yang tidak menghargai perasaanku.” aku menatapnya sinis lalu melangkah pergi.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti.
“Aku akan benar-benar pergi kali ini, Rama. Jaga dirimu, jangan sampai sakit. Mira, tolong lindungi ia.” Ucapku dalam hati. Aku tidak bisa berbohong, aku sangat mencintainya meski hanya luka yang terus ia torehkan.
Malam itu sesuai harapannya, Mira menemuinya setelah beberapa minggu tak pernah hadir dalam mimpinya.
“Ram, aku memang pulang lebih dulu. Maaf, jika aku meninggalkanmu. Tapi, aku menunggumu di sini. Aku masih sangat mencintaimu. Kamu tahu, Ram? Aku sangat sedih melihat hidupmu yang begitu hancur sepeninggalku. Aku merasa menjadi kekasih yang tidak baik. Rama, bersyukurlah karena masih diberikan Tuhan kehidupan. Hiduplah dengan baik. Cintailah orang lain yang juga mencintaimu, berbahagialah bersamanya, bentuklah sebuah keluarga. Tak apa, karena aku tahu bahwa aku tetap menjadi orang yang paling kamu cintai. Aku mungkin adalah bunga abadi yang tidak akan pernah terganti. Tapi, ada orang lain yang mencintaimu sebesar aku mencintaimu. Aku percayakan dirimu bersamanya.”
Rama terbangun dari mimpinya, ia termenung memikirkan mimpinya. Semua seperti nyata. “Orang lain? Mencintaiku?” gumamnya pelan. “Fya!”
Pagi-pagi sekali Rama sudah berangkat menuju rumah Fya. Rama tahu, ia begitu kejam pada orang yang telah tulus mencintainya. Ia sangat malu untuk meminta gadis itu menemani sisa hidupnya. Tapi, ia tidak ingin kehilangan lagi orang yang sangat mencintainya.
Setelah mengetuk pintu dengan tidak sabar. Akhirnya pintu rumah dibukakan oleh ibu Fya yang sudah dikenal baik oleh Rama.
“Eh, Rama. Tumben bertamu sepagi ini. ada apa?” Ucap ibunda Fya ramah, mungkin beliau tidak tahu apa yang telah dikatakan laki-laki yang ada di hadapannya ini kepada putrinya.
“Fya ada, Bun?” Ya, karena sudah lama saling mengenal. Rama pun ikut memanggil beliau dengan panggilan Bunda.
“Lho, memangnya Fya tidak bilang ke Rama kalau dia akan melanjutkan pendidikannya ke Amerika? Dia sudah berangkat tadi malam.” Rama kecewa, kecewa pada dirinya sendiri karena terlambat menyadari. Ah, tidak. Terlambat menghargai perasaan Fya padanya.
“Kapan Fya pulang, Bun?” ucapnya lesu
“Wah, Bunda kurang tahu. Dia hanya pamit untuk pergi. Tidak tahu kapan pulang.” Ucap Bunda yang heran dengan perubahan Rama yang datang dengan semangat tiba-tiba berubah seperti kehilangan tenaga.
“Ya, sudah. Aku pulang saja. Tolong hubungi Rama ketika Fya sudah pulang, ya Bun.” Bunda hanya mengangguk lalu tersenyum. Rama berjalan dengan lemas.
“Aku akan menunggumu, Fya. Meski harus selama kamu menungguku.” Gumam Rama.
Patah hati memang menyakitkan, terutama patah hati ditinggal untuk selamanya. Tapi, coba lihat sekelilingmu yang dipenuhi orang-orang yang menyayangimu dan mencintaimu sebesar kamu mencintai orang lain. Meski kamu mencintai orang lain, cobalah untuk menghargai perasaan mereka. Karena mereka sama sepertimu, sama-sama patah hati namun dengan kisah dan orang yang berbeda. Kamu patah hati karena orang lain, mereka patah hati karenamu.
“Ram, sampai kapan kamu akan terus duduk di sini dan menatap nisannya? Aku tahu ini berat, tapi cobalah untuk mengikhlaskan. Doa tulus darimu dan keikhlasanmu yang ia butuhkan saat ini. Istirahatlah, kamu bisa mengunjunginya lagi besok.” Ujarku mencoba menguatkan dirinya yang kutahu ia sangat rapuh saat ini.
“Kamu pulang saja lebih dulu. Aku masih ingin bersamanya” Ujarnya masih menatap nisan yang bertuliskan nama MIRA ANDANI. Nama yang sudah 3 tahun mengisi hati Rama.
“Tapi kamu sudah duduk di sini berjam-jam. Sebentar lagi malam, lagipula hari sudah mendung. Ayo, kita pulang sebelum hujan turun.” Aku masih berusaha membujuknya.
“Biarkan saja aku kehujanan dan bermalam di sini. Aku tidak peduli! Kalau kamu mau pulang, pulang saja!” suaranya meninggi.
“Kamu pikir dengan duduk di sini semalaman dan berhujan akan membangunkan Mira? Kamu pikir dia senang kalau kamu sakit? Rama, sudahlah. Aku yakin Mira ingin kamu tidak terlalu larut dalam kesedihan seperti ini.”
“Apakah pernah kamu kehilangan orang yang sangat kamu cintai? Apa pernah, heh? Tidak, kan? Kamu tidak tahu rasanya!” Rama benar-benar keras kepala. Tapi, aku tidak menyerah untuk membujuknya.
“Tidakkah kamu tahu bahwa semua orang juga sangat kehilangan Mira? Tapi mereka tetap melanjutkan hidup. Bukan karena mereka sudah melupakan Mira, tapi mereka tidak ingin Mira sedih. Pulang dan istirahatlah. Kirimkan doa untuknya.” Aku memegang pundaknya, ia menatapku. Kulihat matanya memerah. Ah, hatiku ikut sakit melihatnya seperti ini.
“Kamu mencintai Mira, kan?” Ia menangguk pelan
“Kamu yakin ia juga mencintaimu, bukan begitu?” Lagi-lagi ia mengangguk
“Kalau begitu, sehatlah. Hiduplah seperti Rama yang dicintai Mira. Kamu tahu Mira takkan membiarkanmu sakit, kan?” Ia menangguk lagi. Ya, aku sangat mengenal Mira yang sangat memperhatikan kesehatan orang-orang di sekitarnya. Dia akan sangat sedih jika tahu ada orang yang ia sayangi jatuh sakit.
Akhirnya bujukan itu mampu membuat Rama luluh. Ia berjalan dengan lemas. “Apakah sebegitu berartinya seorang Mira untukmu?” Gumamku dalam hati. Seketika aku merasa ikut melemas.
Hari ini tampak sama, langit begitu cerah. Cahaya matahari begitu hangat menyentuh kulitku. Namun, ada seseorang yang telah berubah. Ia tak lagi hangat seperti cahaya matahari, tak lagi kulihat ia menarik kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan ke atas. Ya, ia tak lagi menjadi Rama seperti dulu yang kukenal. Bertahun-tahun mengenalnya, menjadi teman yang selalu ada di sampingnya, selalu menjadi penghiburnya serta semua nasihatku tak menjadi motivasi Rama untuk bangkit dari patah hatinya. Padahal, ia sudah berkali-kali patah hati sebelum ini. Tapi, tak pernah sehebat ini.
Lagi, kaki ini tetap melangkah padamu. Meski aku tahu akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti kemarin. Meski takkan kurasakan hangat tatapanmu, walaupun takkan ada senyuman untukku. Setidaknya aku telah mencoba, bukan?.
Seperti kemarin, hari ini aku hanya duduk di sampingmu. Duduk menatapmu yang sedang menatap kosong dinding kamarmu. Keluar sebentar hanya untuk memasakkan makan siang untukmu dan terus-terusan mencoba membujukmu untuk memakannya. Walaupun hanya satu atau dua sendok saja. Itu sudah cukup untuk memberimu energi untuk tetap hidup. Karena menangis saja juga membutuhkan energi, benar kan?.
Untunglah saat ini sedang libur panjang sehingga aku bisa seharian duduk di sampingmu yang hanya membisu. Berbagai cara kulakukan untuk menghiburmu. Mencoba mengajakmu berbicara, melontarkan teka-teki yang akhirnya kujawab sendiri, menceritakan sesuatu yang lucu meski hanya aku yang tertawa. Tapi kamu masih diam, sejak aku datang hingga berpamitan untuk pulang. Seorang penghibur juga perlu istirahat, kan? Karena untuk menjawab pertanyaan sendiri dan untuk menertawakan lelucon sendiri juga memerlukan energi, ya kan?
“Bayanganku sudah memanjang. Tidak terasa, ya? Kalau begitu aku pamit pulang, ya? Besok aku akan ke sini lagi.” Pamitku lalu melangkah ke luar dari kamarnya yang di setiap sudutnya seperti tertulis hampa dengan cetak besar dan tebal.
“Pulanglah. Jangan pernah kembali.” Ucapnya menghentikan langkahku. Sejak hari pemakaman itu ia tak sedikit pun mengeluarkan suara. Tapi, kenapa saat ia membuka mulut malah kalimat menyakitkan itu yang keluar?
Aku berbalik dan menatap laki-laki yang berat badannya sudah menyusut dengan drastis itu. Menatap matanya yang terlihat begitu menyayat. Ah, bukankah laki-laki di hadapanku ini adalah insan yang sedang patah hati?. Wajar saja ia berkata seperti itu.
“Apa yang lagi yang kamu tunggu?” ucapnya dingin.
“Uh, kamu tahu? Kalimat itu barusan menyakitkan. haha” Ucapku yang masih berpikir ia bergurau
“Kamu mencoba membuat lelucon, Ram? Leluconmu masih kurang lucu. Besok aku akan kembali membawa buku kumpulan cerita lucu, mungkin itu akan membantumu.” Sambungku
“Aku bilang jangan pernah kembali! Apa kamu tuli, Fya?” aku tersentak, aku sama sekali tak menduga kalau yang diucapkannya bukanlah sebuah lelucon. Bahkan ia tak pernah menyebut namaku. Selama ini ia selalu memanggilku ‘adik kecil’ yang membuatku tak pernah bisa mengatakan apa yang selama ini memenuhi ruang hatiku, siapa yang selalu menjadi pemeran utama dalam pikiranku.
“Tapi, kenapa? Aku hanya ingin menghiburmu.”
“Untuk apa menghiburku? Bukankah kamu senang atas kematian Mira? Tidak perlu berpura-pura peduli!” Ucapnya dengan tatapan menuduh.
“Kenapa aku harus senang? Jadi kamu berpikir bahwa aku hanya pura-pura peduli? Baik, terserah kamu mau menilaiku serendah apapun itu. Aku akan mencoba tidak peduli dan tidak akan pernah menemui lagi.” Ucapku sambil berlari menjauh. Tidak kusangka orang yang selama ini kusayangi tega menuduh dan menilaiku serendah itu. Aku mencoba menahan tangisku. Tapi tidak bisa, kali ini Rama benar-benar menyakitiku.
Aku menangis di depan nisan berukirkan nama seorang wanita yang memang tiga tahun ini selalu membuatku cemburu. Bagaimana tidak, jika wanita yang baru saja mengenal Rama bisa dengan mudah mencuri hatinya. Sedangkan aku yang telah berusaha mati-matian sama sekali tak pernah disadari kehadirannya.
Meski cemburu, aku tidak pernah membencinya. Apalagi senang atas peristirahatannya yang untuk selama-lamanya ini. Sama sekali tidak.
“Ra, maafkan aku yang selalu mencemburuimu. Tapi, percayalah padaku bahwa aku tidak pernah membencimu. Aku sama sedihnya seperti orang lain ketika dirimu pergi. Maafkan aku juga karena tidak bisa membuat Rama hidup seperti dulu. Ia berubah, Ra. Ia dingin, bahkan tega menuduhku. Aku mengikhlaskan hati Rama untuk mencintaimu. Tapi, biarkan aku menjaga raganya. Karena itu, kembalikan Rama yang dulu. Hanya kamu yang bisa menasehatinya. Kumohon.” Bulir-bulir bening terus saja berjatuhan membasahi tanah.
“Apa kamu sedang menertawakan nisannya Mira?” suara bas yang sangat kukenal memecah keheningan tempat pemakaman.
Aku hanya bergeming mendengar pertanyaan Rama yang menusuk jantungku itu.
“Kamu menangis? Untuk siapa? Mira? Memangnya sejak kapan kamu dekat dengan Mira, heh? Hapus saja air mata palsumu itu. Aku tahu perasaanmu padaku, maka dari itu aku memanggilmu ‘adik kecil’ agar kamu tak pernah memiliki nyali untuk mencintaiku. karena itu, kamu pasti senang orang yang kucintai pergi, kan?” Ucapnya ketika duduk di sebelah kiri makam Mira dan berseberangan denganku yang berada di sebelah kanan makam, dari sini ia bisa melihat tangisku. Aku mengepalkan tanganku erat hingga buku-buku jariku memutih. Rama benar-benar keterlaluan. Ia menanggap remeh perasaan orang lain.
“Memangnya siapa yang tiga tahun lalu memperkenalkan Mira sebagai kekasihnya kepadaku? Kamu harus tahu, Ram. Aku menyesal mencintai orang yang tidak menghargai perasaanku.” aku menatapnya sinis lalu melangkah pergi.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti.
“Aku akan benar-benar pergi kali ini, Rama. Jaga dirimu, jangan sampai sakit. Mira, tolong lindungi ia.” Ucapku dalam hati. Aku tidak bisa berbohong, aku sangat mencintainya meski hanya luka yang terus ia torehkan.
Malam itu sesuai harapannya, Mira menemuinya setelah beberapa minggu tak pernah hadir dalam mimpinya.
“Ram, aku memang pulang lebih dulu. Maaf, jika aku meninggalkanmu. Tapi, aku menunggumu di sini. Aku masih sangat mencintaimu. Kamu tahu, Ram? Aku sangat sedih melihat hidupmu yang begitu hancur sepeninggalku. Aku merasa menjadi kekasih yang tidak baik. Rama, bersyukurlah karena masih diberikan Tuhan kehidupan. Hiduplah dengan baik. Cintailah orang lain yang juga mencintaimu, berbahagialah bersamanya, bentuklah sebuah keluarga. Tak apa, karena aku tahu bahwa aku tetap menjadi orang yang paling kamu cintai. Aku mungkin adalah bunga abadi yang tidak akan pernah terganti. Tapi, ada orang lain yang mencintaimu sebesar aku mencintaimu. Aku percayakan dirimu bersamanya.”
Rama terbangun dari mimpinya, ia termenung memikirkan mimpinya. Semua seperti nyata. “Orang lain? Mencintaiku?” gumamnya pelan. “Fya!”
Pagi-pagi sekali Rama sudah berangkat menuju rumah Fya. Rama tahu, ia begitu kejam pada orang yang telah tulus mencintainya. Ia sangat malu untuk meminta gadis itu menemani sisa hidupnya. Tapi, ia tidak ingin kehilangan lagi orang yang sangat mencintainya.
Setelah mengetuk pintu dengan tidak sabar. Akhirnya pintu rumah dibukakan oleh ibu Fya yang sudah dikenal baik oleh Rama.
“Eh, Rama. Tumben bertamu sepagi ini. ada apa?” Ucap ibunda Fya ramah, mungkin beliau tidak tahu apa yang telah dikatakan laki-laki yang ada di hadapannya ini kepada putrinya.
“Fya ada, Bun?” Ya, karena sudah lama saling mengenal. Rama pun ikut memanggil beliau dengan panggilan Bunda.
“Lho, memangnya Fya tidak bilang ke Rama kalau dia akan melanjutkan pendidikannya ke Amerika? Dia sudah berangkat tadi malam.” Rama kecewa, kecewa pada dirinya sendiri karena terlambat menyadari. Ah, tidak. Terlambat menghargai perasaan Fya padanya.
“Kapan Fya pulang, Bun?” ucapnya lesu
“Wah, Bunda kurang tahu. Dia hanya pamit untuk pergi. Tidak tahu kapan pulang.” Ucap Bunda yang heran dengan perubahan Rama yang datang dengan semangat tiba-tiba berubah seperti kehilangan tenaga.
“Ya, sudah. Aku pulang saja. Tolong hubungi Rama ketika Fya sudah pulang, ya Bun.” Bunda hanya mengangguk lalu tersenyum. Rama berjalan dengan lemas.
“Aku akan menunggumu, Fya. Meski harus selama kamu menungguku.” Gumam Rama.
Patah hati memang menyakitkan, terutama patah hati ditinggal untuk selamanya. Tapi, coba lihat sekelilingmu yang dipenuhi orang-orang yang menyayangimu dan mencintaimu sebesar kamu mencintai orang lain. Meski kamu mencintai orang lain, cobalah untuk menghargai perasaan mereka. Karena mereka sama sepertimu, sama-sama patah hati namun dengan kisah dan orang yang berbeda. Kamu patah hati karena orang lain, mereka patah hati karenamu.
Satrua Belajar Bermain Gitar
Ngiiiingg!!! Suara nyamuk terbang dan hinggap di lengan Satria yang sedang tertidur pulas. Satria sempat mendengarnya, ah ini pasti suara peri yang lagi terbang.. pikirnya. Nyiiittt!!! Nyamuk itu menggigit kulit Satria kuat-kuat. Aduh, kok gatal dan rasanya menjengkelkan? Satria membuka matanya sebelah, dia melirik. Oh ternyata nyamuk. Lalu, plak!! Satria menepuk nyamuk itu dan seketika almarhum di tempat. Mengganggu saja!! Batinnya.
Satria melanjutkan tidurnya lagi. Baru saja dia memejamkan matanya, kembali terdengar suara nguuuunggg!!! Kali ini suaranya agak berat dan hinggap di lengannya yang lolos dari selimut. Mendengar suaranya, ini pasti rajanya nyamuk. Merasakan dia hinggap dan bergerak di lengannya sangat mantap banget. Paling tidak ini biangnya. Satria membuka matanya sebelah dan siap-siap untuk menepuk. Tapi.. Hah?! Tawon?! Ini sih bukan nyamuk: tapi seekor tawon (lebah) gede banget!! Spontan mata Satria terbuka semua, dan melotot. Satria hendak bangun untuk melarikan diri, tapi sudah terlambat!! Aaaaaa… (tahu kan yang terjadi?)
—
Kukuruyuuuk, ayam jago berkokok. Pagi ini pagi yang cerah. Hari minggu, hari libur internasional. Satria datang menemui Edo temannya. Dia menenteng sebuah gitar akustik yang baru dibelikan Bu Ratna ibunya dua hari lalu. “Edo,, ajarin aku main gitar.” Sapanya pada teman karibnya tersebut.
“Oke! Begini cara mainin gitar,” kata Edo sambil meraih gitar yang dibawa Satria. “C A minor D minor ke G ke C lagi, lupa.. lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya..” Edo berteriak-teriak mirip orang kesurupan. Tapi jarinya tidak menyentuh senar gitar sama sekali. Alhasil tidak ada suara gitar yang keluar.
“Ah, ini sih lagunya Kuburan Band. Aku ingin bisa akornya,” kata Satria.
“Oh gampang, kamu tinggal menghafalkan huruf A sampai G… Udah beres! Kalau masih kurang ya tambahin huruf H, I dan seterusnya,” jawab Edo.
“Bukan, yang aku maksud itu cara memetiknya bagaimana?” Satria terus berjuang.
“Oh, itu mudah! Kamu pergi ke kebun belakang rumah, terus petik se banyak-banyaknya daun yang tumbuh di sana. Di jamin kamu pasti pintar untuk memetik! Tapi jangan petik mangga milik tetangga yaa!!” jelas Edo panjang lebar. Padahal mereka berdua sebenarnya sama-sama gagal paham mengenai gitar, akor dan cara memainkannya. Suara mereka pun fals-fals sumbang dan tidak jelas nadanya ke mana. Yang pasti nada suaranya tidak kenal sama GPS atau Google. Jadinya nyasar!
Satria pulang menenteng gitarnya dengan rasa kecewa. Di perjalanan Satria sempat disapa anak-anak kampung sebelah, “Habis ngamen ya bang?” tanya mereka.
“Sorry, aku ini calon artis!! Entar mau konser,” jawab Satria sambil menepuk-nepuk dada, lalu terbatuk-batuk uhuk uhuk! Lalu Satria ketemu sama Mbak Nana yang centil.
“Eeee Satria, kok bawa-bawa raket? Mau main tenis di mana?” katanya polos.
“Ini bukan raket Mbak, tapi wajan buat goreng bebek di rumah.” Jawab Satria sekenanya. Masa gitar bagus di dalam tas gini di bilang raket?
“Oh, Mbak kirain raket tadi.” Masa bodoh, Satria masuk rumah terus ke kamar. Gitarnya dia gantung di tembok dekat poster anime. Dia terus memandangi gitarnya sambil berbaring. Sampai akhirnya tertidur pulas di kasurnya.
—
Malam ini sungguh istimewa. Rumah Satria kedatangan tamu tiga cewek sekaligus. Ini pasti gara-gara gitar barunya. Yang satu adalah teman Satria di SMA Masa Depan. Namanya Zahra. Bu Ratna ibu Satria sedang sibuk bikin minuman untuk mereka. Lalu diantarkan ke ruang tamu bersama dua toples kue.
“Satria, kenalin nih teman-temanku. Mereka sekolah di SMA Pelangi.” Kata Edo.
“Kamu punya gitar baru ya? Eh, mereka berdua jago main gitar loh,” kata Zahra.
“Hai! Nama saya Vania Miyuki, dari SMA Pelangi,”
“Hai! Saya Rin Hee Yeon,” kata mereka bergantian sambil mengulurkan tangan tanda perkenalan.
“Saya Satria, murid teladan di SMA Masa Depan.” balas Satria menyambut uluran tangan mereka untuk berjabat tangan.
Zahra mengusulkan Vania untuk bermain gitar. Satria mengambil gitarnya yang tergantung di tembok kamar. Lalu dia berikan pada Vania. “Terima kasih,” kata Vania.
“Kamu nyanyi sambil ajarin tuh Satria biar bisa mainin gitar. Masa punya gitar cuma digantung doang,” kata Zahra.
“Oke!” jawab Vania lalu bersiap-siap memainkannya. Jreng, jreng…
“Kyou mo kono mune wa haritsu meta mama…”
Suara Vania merdu diiringi petikan gitarnya yang lembut seakan-akan menghipnotis siapa saja yang mendengarnya. Mata Satria terus memandangi bibir tipis Vania yang komat-kamit menyanyikan lagunya Haruka Tomatsu. Satria tidak berkedip. Zahra mengulurkan tangannya ke muka Satria, tapi sia-sia. Satria tak bergerak bagai patung. Mudah-mudahan tidak jadi patung beneran. Biar ceritanya tidak habis. Vania terus bernyanyi, jreng jreng… Dan malam pun semakin larut. Semakin larut. Dan larut. Zzzzzz…
Kentut Palsu
Bruuuuutt… terdengar samar di telingaku. Ku lihat di sekitarku tampak acuh dan damai. Apakah hanya aku yang mendengarnya? Udaranya mulai merambat, sedikit demi sedikit bau yang tercium seperti Zombie habis jogging ,semakin menusuk hingga batang hidungku mengempes. Kecurigaanku mulai muncul bahwa yang barusan kentut tadi adalah Joni teman sekelasku yang duduk di barisan depan. Memang ia patut dicurigai karena Joni setiap pergi ke sekolah jarang mandi dan sikat gigi kata mantan pacarnya Joni yang hanya berpacaran kurang lebih 3 hari. Tapi itu hanya kecurigaanku yang terpendam, karena Joni adalah murid yang bertubuh besar dan banyak siswa yang takut kepadanya aku pun dengan rasa bodoh takut kepadanya. Tak sebanding dengannya, aku hanya bocah kelas 6 SD yang bertubuh kurus seperti Ade Rai khayalanku kalau lagi pelajaran penjas. Aku melanjutkan pelajaranku dengan membaca wacana proses terjadinya Tsunami.
Di sela pelafazanku dalam membaca wacana. Diriku masih mencurigai teman dekatku duduk. Aku mulai mencurigai Sendy, teman perempuan yang yang duduk di kanan baris mejaku. Muncul di benakku. Paras yang cantik tak menutup kemungkinan kalau ia tidak bisa kentut sebau ini. Tapi, sekali lagi itu hanya kecurigaan berlatar pro dan kontra karena ia adalah gadis yang diidam-idamkan di sekolah ini. Heemm… aku menggeram seperti para Spy di film tukang bubur naik haji. Bayangkan saja jika dalam satu kelas ini yang berjumlah 20 orang, aku interogasi satu per satu dengan pertanyaan lantang, “Siapa yang barusan kentut?” tanpa terkecuali Joni yang paling jago kalau bahasa Banjar yang artinya ditakuti.
Bruut.. bruut…
Kampret! bunyinya muncul lagi dan terdengar misterius. Ahh, masa pak guru yang kentut kataku di dalam hati yang nyengir entah apa maksudnya. Bruut.. Bruut! Kemudian. Gino ditegur Pak Ahmad mata pelajaran Geografi.
“Gino”!! jangan main mainin kursi, memangnya itu kursi papan jungkat-jungkit apa? ”
“iya Pak… maaf…” Tolehku ke arah Gino yang baru seper detik sekon dimarahi Pak Ahmad karena memainkan kursi yang sudah hampir penyok dan keropos.
“Oh berarti yang tadi bersuara mirip kentut itu hanya kursi yang dijungkat-jungkiti.” Pikirku dengan setengah sadar. Lalu kembali membaca wacana yang tak kunjung selesai.
Lalu bau kentutnya? pikirku seperi orang ling-lung. Hembusan napas dari hidungku ke luar masuk dan seterusnya. Tak sadar tercium kembali bau kentut yang menghantuiku. Aku pun risih sendiri, akhirnya aku bertanya kepada Sendy. “Send! dari tadi kamu mencium aroma bau kentut gak?” kataku di dekatnya dengan nada slow tapi agak mengganggu. “Eemmhhgftgs?! Kamu sudah sikat gigi belum sih? baunya kayak ketek paman jualan somay di depan tahu gak!!” dengan nada yang nyaring sehingga semua siswa di kelasku memperhatikanku dan langsung ngakak gaya lumba-lumba.
“Sudah jangan ribut! benar kamu Beni belum sikat gigi?” tanya Pak Ahmad sedikit nyengir.
“Eeemmm!!” Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju ke depan kelas tepatnya ke meja Pak Ahmad kemudian mendekatinya sambil menjawab dengan suara slow slow malu.
“Iya Pak, saya be..lum sikat gigi! tapi saya mohon agar Bapak bilang sama semua siswa kalau saya sebenarnya sudah sikat gigi.”
“Eemm, ya sudah kamu silahkan kembali ke kursimu?” dengan rasa dingin.
Beberapa langkah menuju kursi. Pak Ahmad berkata. “Jadi, anak-anak, Beni ini sebenarnya sudah sikat gigi, tapi, dia tidak pakai pasta gigi!” Semua siswa tanpa terkecuali Pak Ahmad tertawa terbahak-bahak seperti mimpi buruk yang mencekamku. Aku pun lari terbirit-birit dengan rasa malu menuju WC sekolah. Sesampai di wc aku menghela napas. Aku jongkok di atas jamban modern. Kemudian bertanya pada diri sendiri. Apa sebau itu mulutku? Ku tekuk tangan seperti hendak berdoa dan ku hadapkan ke bagian hidung lalu ku hembuskan napasku perlahan sampai tanganku terasa hangat.
“Kamprettt.. jadi ini yang tadi baunya kayak kentut!!”
Di sela pelafazanku dalam membaca wacana. Diriku masih mencurigai teman dekatku duduk. Aku mulai mencurigai Sendy, teman perempuan yang yang duduk di kanan baris mejaku. Muncul di benakku. Paras yang cantik tak menutup kemungkinan kalau ia tidak bisa kentut sebau ini. Tapi, sekali lagi itu hanya kecurigaan berlatar pro dan kontra karena ia adalah gadis yang diidam-idamkan di sekolah ini. Heemm… aku menggeram seperti para Spy di film tukang bubur naik haji. Bayangkan saja jika dalam satu kelas ini yang berjumlah 20 orang, aku interogasi satu per satu dengan pertanyaan lantang, “Siapa yang barusan kentut?” tanpa terkecuali Joni yang paling jago kalau bahasa Banjar yang artinya ditakuti.
Bruut.. bruut…
Kampret! bunyinya muncul lagi dan terdengar misterius. Ahh, masa pak guru yang kentut kataku di dalam hati yang nyengir entah apa maksudnya. Bruut.. Bruut! Kemudian. Gino ditegur Pak Ahmad mata pelajaran Geografi.
“Gino”!! jangan main mainin kursi, memangnya itu kursi papan jungkat-jungkit apa? ”
“iya Pak… maaf…” Tolehku ke arah Gino yang baru seper detik sekon dimarahi Pak Ahmad karena memainkan kursi yang sudah hampir penyok dan keropos.
“Oh berarti yang tadi bersuara mirip kentut itu hanya kursi yang dijungkat-jungkiti.” Pikirku dengan setengah sadar. Lalu kembali membaca wacana yang tak kunjung selesai.
Lalu bau kentutnya? pikirku seperi orang ling-lung. Hembusan napas dari hidungku ke luar masuk dan seterusnya. Tak sadar tercium kembali bau kentut yang menghantuiku. Aku pun risih sendiri, akhirnya aku bertanya kepada Sendy. “Send! dari tadi kamu mencium aroma bau kentut gak?” kataku di dekatnya dengan nada slow tapi agak mengganggu. “Eemmhhgftgs?! Kamu sudah sikat gigi belum sih? baunya kayak ketek paman jualan somay di depan tahu gak!!” dengan nada yang nyaring sehingga semua siswa di kelasku memperhatikanku dan langsung ngakak gaya lumba-lumba.
“Sudah jangan ribut! benar kamu Beni belum sikat gigi?” tanya Pak Ahmad sedikit nyengir.
“Eeemmm!!” Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju ke depan kelas tepatnya ke meja Pak Ahmad kemudian mendekatinya sambil menjawab dengan suara slow slow malu.
“Iya Pak, saya be..lum sikat gigi! tapi saya mohon agar Bapak bilang sama semua siswa kalau saya sebenarnya sudah sikat gigi.”
“Eemm, ya sudah kamu silahkan kembali ke kursimu?” dengan rasa dingin.
Beberapa langkah menuju kursi. Pak Ahmad berkata. “Jadi, anak-anak, Beni ini sebenarnya sudah sikat gigi, tapi, dia tidak pakai pasta gigi!” Semua siswa tanpa terkecuali Pak Ahmad tertawa terbahak-bahak seperti mimpi buruk yang mencekamku. Aku pun lari terbirit-birit dengan rasa malu menuju WC sekolah. Sesampai di wc aku menghela napas. Aku jongkok di atas jamban modern. Kemudian bertanya pada diri sendiri. Apa sebau itu mulutku? Ku tekuk tangan seperti hendak berdoa dan ku hadapkan ke bagian hidung lalu ku hembuskan napasku perlahan sampai tanganku terasa hangat.
“Kamprettt.. jadi ini yang tadi baunya kayak kentut!!”
Kepala(ng) Cerdas
Namaku Shalmay. Hari ini peranku menjadi pelajar. Mungkin esok lusa menjadi pendekar, kuli, tukang cangkul, atau bahkan menjadi nenek gayung. Weks! Bukannya mau sombong, tapi ini bentuk kesyukuranku yang dianugerahi kepala(ng) cerdas. Hahaha. Menurut konklusi (i)rasional-ku dari ucapan teman-teman, aku lebih cerdas ketimbang mereka, karena mereka bilang otakku di dengkul. Nah, dengkul kan ada dua, berarti aku punya dua otak. Hebat bukan?
Suasana kelas ini ramai sekali layaknya segerombol lebah yang berdengung. Sembilan dari sepuluh pelajar sedang berkomat-kamit menghafal rumus matematika yang akan diulangankan. Percayalah, aku tak begitu suka teori, karena yang selalu ku andalkan adalah intuisi. Menunggu ulangan dimulai itu membosankan. Sebentar mengitari ruang kelas mungkin akan menghilangkan kantuk yang datang mendera. Sebuah benda di meja guru membuatku tertarik. Langsung saja aku meluncur ke sana. Oi, cantiknya … merah menggoda, maka ku sesap aromanya yang mungkin menyegarkan.
“Hm? Kang Encand, kenapa bunga ini tidak wangi?” tanyaku pada ketua kelas yang serba tahu, termasuk banyak uang receh di dompetnya. Dengan mendelik ia berkata, “Itu bunga imitasi.” Huaaa … tertipu. Intuisiku sedang ellol. Tiba-tiba guru Matematika telah ada di hadapanku. Tatapannya mengisyaratkan agar aku lekas kembali ke tempat asal.
“Baiklah anak-anak, silakan tutup catatannya dan simpan di tempat yang tak mungkin dijangkau,” titah Pak Yadi. “Ulangan Matematika kali ini tanpa soal–”
“Horeee!” seru kami sekelas.
“… tanpa soal tulisan,” lanjut Pak Yadi dingin.
Senyum kami memudar serupa cat tembok di kelas yang tak berwarna lagi. Hening. Suasana mulai mencekam. Itu artinya tes lisan. Beberapa raut muka temanku tampak seperti orang yang hendak dieksekusi mati. Aku? Tentu saja tak ambil pusing. Pasti aku dapat menjawab dengan cepat. Aku kan si Kepala(ng) Cerdas. Giliranku tiba.
“Shalmay,” panggil Pak Yadi, “bagaimana mengubah centimeter ke meter?”
Dengan bantuan intuisi dan kedua otakku, proses berpikir untuk mencari jawaban sangat cepat, hanya dengan waktu 0,001 second saja jawaban telah ku dapat.
“Hilangkan centi-nya saja, Pak,” kataku bangga.
“Shalmaaaay!!”
PLETAK!
Kalian bisa menebak apa yang terjadi? Ya, bunga imitasi tadi mendarat tepat di jidat Kang Encand -yang duduk di belakangku, tak lupa vas-nya pun ikut mendarat di sana. Karena peranku sebagai pelajar telah selesai, waktunya pergiii…. Yihaaaa
Suasana kelas ini ramai sekali layaknya segerombol lebah yang berdengung. Sembilan dari sepuluh pelajar sedang berkomat-kamit menghafal rumus matematika yang akan diulangankan. Percayalah, aku tak begitu suka teori, karena yang selalu ku andalkan adalah intuisi. Menunggu ulangan dimulai itu membosankan. Sebentar mengitari ruang kelas mungkin akan menghilangkan kantuk yang datang mendera. Sebuah benda di meja guru membuatku tertarik. Langsung saja aku meluncur ke sana. Oi, cantiknya … merah menggoda, maka ku sesap aromanya yang mungkin menyegarkan.
“Hm? Kang Encand, kenapa bunga ini tidak wangi?” tanyaku pada ketua kelas yang serba tahu, termasuk banyak uang receh di dompetnya. Dengan mendelik ia berkata, “Itu bunga imitasi.” Huaaa … tertipu. Intuisiku sedang ellol. Tiba-tiba guru Matematika telah ada di hadapanku. Tatapannya mengisyaratkan agar aku lekas kembali ke tempat asal.
“Baiklah anak-anak, silakan tutup catatannya dan simpan di tempat yang tak mungkin dijangkau,” titah Pak Yadi. “Ulangan Matematika kali ini tanpa soal–”
“Horeee!” seru kami sekelas.
“… tanpa soal tulisan,” lanjut Pak Yadi dingin.
Senyum kami memudar serupa cat tembok di kelas yang tak berwarna lagi. Hening. Suasana mulai mencekam. Itu artinya tes lisan. Beberapa raut muka temanku tampak seperti orang yang hendak dieksekusi mati. Aku? Tentu saja tak ambil pusing. Pasti aku dapat menjawab dengan cepat. Aku kan si Kepala(ng) Cerdas. Giliranku tiba.
“Shalmay,” panggil Pak Yadi, “bagaimana mengubah centimeter ke meter?”
Dengan bantuan intuisi dan kedua otakku, proses berpikir untuk mencari jawaban sangat cepat, hanya dengan waktu 0,001 second saja jawaban telah ku dapat.
“Hilangkan centi-nya saja, Pak,” kataku bangga.
“Shalmaaaay!!”
PLETAK!
Kalian bisa menebak apa yang terjadi? Ya, bunga imitasi tadi mendarat tepat di jidat Kang Encand -yang duduk di belakangku, tak lupa vas-nya pun ikut mendarat di sana. Karena peranku sebagai pelajar telah selesai, waktunya pergiii…. Yihaaaa
Takdir Seorang Istri
Takdir selalu memberi kejutan. Kalian percaya kan? Kuatkan hati untuk menghadapi kenyataan yang tak sejalan dengan dugaan.
—
Farihah, “perempuan yang berbahagia”. Begitu kedua orangtua menyematkan doa dalam nama, agar hidupku bahagia. Tapi, aku hanya tersenyum getir. Mengingat nama tak senada dengan nasib yang menimpa. Rasanya, dunia benar-benar tidak punya sepetak tanah untuk kebahagiaan. Yang tampak hanya lautan kesedihan. Aku pikir menjadi wanita yang telah menikah adalah sebuah kebahagiaan. Akan dihadiahi senyum manis suami setiap pagi, ada tempat bersandar kala duka, menghadapi rintangan hidup bersama-sama, dan lainnya. Ah, itu hanya takdir sebagian wanita yang beruntung. Aku? Haha aku bukan bagian dari mereka. Tapi aku percaya, Tuhan Maha Adil.
Jujur, mengalami manisnya menjadi pengantin baru aku pernah. Tidak dipungkiri, yang pernah menikah pasti merasakannya. (Jomblo yang sabar ya!). Tapi, semua itu berubah saat Negara Api menyerang -no, no, no! Ini bukan Avatar. Benar, semuanya hanya bertahan beberapa bulan. Keramahan dan kasih sayang suami memudar. Waktu seolah melucuti topeng sandiwaranya. Dia menjadi pribadi, “Sahaok kadua gaplok katilu endog diceplok.” [1]. Seharusnya aku tidak berkelakar dengan menambah, “katilu endog diceplok”. Pasti tidak akan ada yang percaya bahwa hidupku menderita.
Perlakuan kasarnya padaku kebanyakan gara-gara hal sepele. Beruntung saat dia marah tidak menyetrika tubuh ini, seperti nasib segelintir TKW di negeri orang. Bersyukur kami tidak punya setrika. Apa jadinya aku? Sekujur tubuh bisa gosong. Ini kesekian kali dia berlaku garang, padahal kami baru menikah dua tahun lalu. “Hah!” teriak lelaki itu memanggil. Ku tegaskan, namaku FARIHAH. Tidak adakah panggilan yang lebih baik daripada “HAH” Saat itu aku tengah mencuci di belakang. Selain menjadi istri dari SYTD (suami yang tak dirindukan), aku juga bekerja sebagai buruh cuci tetangga. Upah yang didapat tidak besar, hanya Rp. 5000 per ember.
“Iya, Kang?” Tergopoh-gopoh menghampiri lelaki berkulit sawo terlampau matang.
“Aku lapar. Mana? tidak ada makanan? Jadi istri tak becus melayani suami!” hardiknya.
Ingin sekali aku bertanya balik, “Akang sudah becus jadi suami, belum?” Pertanyaan itu tak sampai ke kerongkongan. Takut. Bagaimanapun, dia suamiku. Harus aku hormati.
“Maaf, Kang, upah mencuci tidak cukup beli beras.”
“Hah, kau cuma beralasan! Aku tak peduli, yang penting perutku terisi saat ini!” Dia meneriakiku.
Matanya melotot, menginstruksiku membawa apa saja agar perutnya terisi. Sebenarnya, banyak yang bisa memenuhi perut lelaki berambut ikal kusut itu. Batu atau cucian yang masih di ember, setidaknya agar mulut yang menghitam karena rok*k itu berhenti meneriakiku. Tapi itu mustahil. “Kapan terakhir Akang memberiku uang hasil mengojek? Kapan?!” Lagi-lagi perkataan itu hanya bergemuruh dalam dada. Takdir menjadi istri yang malang sedikit pun tak terbersit! Sungguh, hal itu tak ada dalam daftar mimpi-mimpiku. Upah tak seberapa, untuk sekali makan pun tak cukup. Ditambah lagi, katanya rupiah melemah. Imbasnya? Yaa… harga kebutuhan pokok naik. Hidup sebagai manusia di bawah rata-rata kefakiran memang sulit. Teramat pelik!
“Kenapa malah diam, Hah?!” Suara menggelegarnya mengejutkanku. Sadar, dari tadi aku hanya mematung -sibuk meratapi nasib- di hadapannya. Aku menatap takut.
“Oh…,” Suamiku menyeringai dan berjalan mendekat, “mau aku pukul?!” Dia bukan saja mengancam. Tangan kekar itu benar-benar terangkat mengambil ancang-ancang sebelum mendarat di pipi. Aku memejamkan mata. Berharap ada orang yang menyelamatkanku seperti dalam adegan sinetron.
Plak!
Tidak ada yang mencegah tangan itu untuk melukai. Perih. Pipiku terasa terbakar. Sadar, aku hidup bukan dalam sinetron. Bulir air mata meluncur tiba-tiba. Sudah ku bilang, dia “Sahaok kadua gaplok” dan tanpa “katilu endog diceplok”. Mungkin setelah bertingkah garang membuatnya kenyang. Lihat! Suamiku melenggang pergi. Menurut pemikiran yang waras, tenaganya terbuang sia-sia. Andai tenaga itu disalurkan bekerja -membantu memeras cucian atau apa sajalah- lalu upah itu dibelikan gorengan, mungkin perutnya benar terisi makanan.
Dan yang teramat sakit ialah perasaanku. Memimpikan menjadi istri yang disayang bukan ditempeleng garang. Teringat nasihat mendiang kakek, “Sabar, sabar, sabar! Meski hidup lebih pahit dari empedu. Percayalah Allah Maha adil!” Ya, sepertinya kakek telah memprediksi bahwa aku, cucunya akan bernasib begini. Perihal perlakuan suami yang tidak manusiawi, aku tidak berdoa agar dia tersambar gledek atau terjungkal saat mengojek. Tidak. Jika aku memanjatkan doa seperti itu, kesabaran yang ku lakukan tiada artinya.
Mengadu? Kepada siapa? Hidup sebatang kara. Bapak ibu sudah tiada. Tak ada sanak saudara. Terdampar di wilayah asing mengikuti suami tercinta(?) Hallaaah… Malah bermain rima. Bagaimanapun jua, aku meminta kepada Allah agar dia sadar dan mendapat hidayah, serta memperlakukanku selayak istri tercinta. Hari itu aku larut dalam segara air mata. Ya, memang tak akan mengubah takdir yang menimpa. Tapi, setidaknya berton-ton beban di dada sedikit terasa plong macam mulut lepas sendawa.
—
“Euleuh, deudeuh teuing incu abah…, [2]” lirih kakek, jemari tangannya tak henti mengusap rambutku yang tergerai. Aku terduduk di lantai menyenderkan kepala pada lutut lelaki sepuh yang berada di atas kursi. “Keun nya, ulah sedih deui. Kanalangsaan maneh geus teu kudu diceungceurikan. Allah maparin kaadilan ka maneh, [3]” lanjutnya lagi. Aku menatap kedua mata yang sendu, namun ada sebercak kebahagiaan terlukis di sana.
“Ngadeg! [4]” perintahnya. Aku menuruti apa yang dikata kakek.
Ada kain putih. Putihnya secemerlang di iklan deterjen. Kain kafan kah? Secepat ini aku mati? Padahal bekal akhirat belum dipersiapkan. Kakek membungkuskan kain itu ke tubuhku. Aku merasakan sesuatu yang menjalar di seluruh tubuh. Kesedihan yang ku alami dan terpendam di dasar hati terasa luruh. Jasadku teramat ringan dan… jiwa ini seolah melayang. Kain putih semakin memendarkan cahaya, memenuhi seluruh ruangan. Oh, silau men! Tiba-tiba kakek menuntunku menyusuri jalanan yang cukup ramai. Di mana ini? Aku merasa tak asing. Dalam gejolak kebingungan itu, kakek menunjuk ke sebuah warung makan di pinggir jalan.
“Kau lihat itu?” tanyanya kini dengan bahasa Indonesia fasih. Aku mengangguk.
Lelaki berkofiah merah ala Aladin ini melanjutkan ucapannya, “Dia jodohmu!”
Lalu menatapku sambil tersenyum meyakinkan. “Loh? Aku sudah menikah, Abah,” tukasku.
Sejenak, aku amati lamat-lamat sosok yang tadi ditunjuk kakek. Cantik! Senyum terkembang di bibir ini. Hei, apa kataku? Cantik? Tunggu, ada yang salah denganku. Apa aku l*sbi?
Aku memalingkan muka ke hadapan kakek.
“Ada yang salah?” Alis kakek terangkat sebelah.
“Dia perempuan!” Wajahku merengut. “Tentu salah, Abah!”
Kedua lengannya memegang bahuku, lantas menghadapkan pada sebuah cermin besar milik penjual mainan.
“Tidaaaaaak!!!”
—
Seketika aku terlonjak. Napas tersengal. Seperti sehabis dikejar babi hutan. Mimpi yang aneh! Mataku melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul 2 dini hari. Mungkin karena perut selalu keroncongan, jadi tidak sulit untuk bangun sepagi ini. Segera aku bergegas ke WC di belakang. Jangan bayangkan WC yang full kramik! Tempat ini lebih elit, beratap langit. Lantainya tersusun dari beberapa bambu yang memiliki panjang 2 meter. Dinding-dindingnya terbalut karung dan sarung butut. Air amat melimpah. Fantastis bukan? Dan yang paling unik WC ini berada di atas kolam. Di daerahku dinamai “bagbagan”. Segera aku melepas pakaian, hendak mandi. Bagiku mandi dini hari adalah membuat tubuh ini fresh mendekati beku. Astaghfirullah! Tulang lutut terasa lolos dari persendian. Lemas. Aku tidak percaya ini! Mimpi itu…. Alhasil, mandi pun ku urungkan.
—
Aku benar-benar menjadi manusia terlahir kembali. Ya, walaupun rutinitas masih mencuci pakaian orang. Kali ini ku tuntaskan lebih cepat. Ada seseorang yang akan aku kunjungi. Benar-benar kalut. Mungkin orang itu dapat memberi solusi. Perasaan ragu menyelinap saat memandang benda yang selalu membungkus tubuh ini. Daster kumal, dan kerudung. Bergegas mengganti pakaian, lalu aku mematut di depan cermin.
“Benarkah ini diriku?”
Beruntung kediamannya tidak jauh dari rumahku, ralat. Gubuk sepertinya lebih cocok, karena kondisi rumahku sudah reot. Aku tak bisa membayangkan jika jaraknya jauh, bisa-bisa aku pulang ngesot. Maklum tenaga dihabiskan untuk mencuci beberapa ember. “Assalamualaikum, Ajengan!” sapaku saat sampai di tempat tujuan. Ajengan adalah sebutan yang setara dengan ustaz. Dia sedang duduk di halaman bersama istrinya. “Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokaatuh…,” jawab mereka serempak. Aku mengutarakan maksud, lalu ajengan itu mempersilakan masuk.
Di ruang tamu
“Ajengan, percaya sama takdir dan rahasianya?” tanyaku membuka pembicaraan, tanpa basa-basi. Kebanyakan basa-basi jadi basi beneran. Jujur aku tak suka yang basi-basi. Hueeks.
Wajah yang hampir tua itu merengut. Mungkin menebak ke mana arah pembicaraanku.
“Tentu saja, atuh, Neng Farihah.” Dia mengulum senyum. “Kalau tidak percaya… ya kafir. Dan bagi seorang mukmin mesti ridho menerima yang baik juga yang buruk dari ketetapan Allah, sekali pun mengejutkan. Takdir memang penuh misteri.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju bukan karena leher pegal. “Apakah yang menimpa saya adalah bukti Allah Maha adil dengan…,” Suaraku tercekat. Seperti ada yang menyangkut di kerongkongan. Aku tidak percaya akan mengatakan ini. Lelaki yang ada di hadapanku memerhatikan dengan saksama. Menghela napas sekejap, lantas mulutku begitu saja terbuka seolah membacakan kisah kelam yang terjadi dalam catatan takdir. Tentang perlakuan suami selama ini, mimpi aneh itu dan hal yang tadi malam ku alami di bagbagan (bukan tentang mandi yang urung ku lakukan).
Ajengan terkesiap, lalu ia memekik tertahan, “Masyaa Allah… Benarkah?” Pandangannya menyoroti ujung kepala sampai kakiku. Aku tak merasa risih atau kikuk. Segera aku pamit setelah dirinya memberiku solusi.
—
Dini hari selalu membuatku terbangun. Entah kenapa, mungkin sudah menjadi kebiasaan. Saat hendak bangkit, ada sesuatu yang baru aku sadari. Suamiku pulang setelah seminggu menghilang. Tangan kanannya melingkar di pinggangku. Seharusnya hati ini berbahagia, tapi sekarang tidak. “Maafkan aku, Farihah,” gumamnya masih dengan mata tertutup. Mungkin dia tahu aku terbangun. Ingin sekali menangis, tapi air mata ini tak kunjung ke luar. Mungkinkah mengering? Aku benar-benar tak seperti dulu. Pasrah. Tetap di posisi awal, tidur menyamping. Biarlah untuk terakhir kalinya ia memelukku.
Pagi ini aku masak spesial. Yang namanya spesial di kamusku itu yaa… nasi hangat, bakar ikan asin, sambal, dan lalapan. Maklumlah… upah dari buruh cuci ya alakadarnya. “Aku mah sakieu ge uyuhan.” [5] Bersikap senormal mungkin di hadapan suami. Tekad sudah bulat. Setelah mendeklarasikan diri, penampilanku akan segera berubah. Sekarang masih setia dengan daster kumal. Dia makan dengan lahap. Ralat. Rakus! Berbeda denganku, makan sesuap-sesuap. Sesekali menatapku, lalu senyum miliknya terkembang. Semoga saja dia benar-benar berubah.
“Enak, Kang?”
Suamiku mengangguk.
“Aku punya permintaan,” kataku setelah beres makan.
“Apa itu, Istriku?” serunya. Setelah sekian lama, mungkin berabad-abad rasanya ia baru memanggilku dengan dengan kata itu. Kalut! Mencoba mengumpulkan tenaga yang tercecer seperti remah-remah nasi di dekatnya, aku mengatakan hal yang amat sakral, “Ceraikan aku, Kang!”
“Uhuk! Uhuk! Air… minum!”
Dia tesedak saking kagetnya mungkin.
Melihat itu aku panik, “Maaf, aku baru ingat tidak masak air!”
Saking asyik masak makanan spesial lupa masak air. Kacau!
Alhasil, dia mengambil mangkuk di dekatnya, lalu meminum air kobokan yang belum dikobok.
“Hah, eng, maksudku… Istriku, aku tahu selama ini telah berbuat kasar padamu….”
“Tidak manusiawi,” tambahku.
“Ya, ya, tapi aku telah tobat dan berjanji akan menyayangimu sepenuh jiwa raga. Dulu aku suami bodoh,”
“Sekarang?”
“Masih bodoh.” Getar sesal terdengar dari ucapannya. Dia memasukkan suapan terakhir.
“Kang,” dengan nada lembut aku berujar, “istri yang meminta cerai tanpa alasan syar’i tidak akan mencium wangi surga. Sedangkan, aroma surga itu tercium dari jarak 70 tahun perjalanan. Tentu aku tidak mau hal itu menimpa diri. Tapi aku punya alasan mengapa Akang wajib menceraiku.”
“Tidak! Pokoknya akang tidak akan menceraikanmu!” ucapnya tegas.
“Aku bukan Farihah yang dulu,” timpalku. Sebetulnya aku tidak ingin dia tahu tentang apa yang menimpa.
Dia tak mau kalah, “Aku bukan Yaya yang dulu juga, aku telah insyaf.”
“Aku bukan wanita lagi.”
“Aku juga bukan–” Ucapannya menggantung, lalu menatapku tak percaya, seolah mengatakan, “Jangan bercanda! Mustahil!”
Kejadian di luar kebiasaan itu ku ceritakan. Mimpi dengan kakek dan genderku yang berubah. Semua itu atas saran ajengan yang tempo hari ditemui. Lelaki yang sebentar lagi menyandang mantan suamiku itu menekuri tikar tempat kami duduk. Hening!
—
Setelah mendeklarasikan sebagai Abdul Ridho, hidupku benar-benar berubah. Aku mulai dikenal banyak orang karena peristiwa ajaib itu. Alhamdulillah, profesi bukan buruh cuci lagi, beralih membuka warung makan. Dari mana uangnya? Tentu dari takdirku. Begini, untuk pertama kalinya aku dimuat di koran. Jangan berpikir di kolom orang hilang atau kolom orang meninggal (arbituary). Tidak! Aku diundang untuk menceritakan kisah yang pernah terjadi. Sampai diriku menjadi bintang tamu di televisi pada acara “Hitam Kelabu”. Kini kebanjiran rejeki.
Semenjak Yaya -sang Mantan Suami- menceraiku, dia tak pernah terlihat. Entah ke mana. Menurut kabar, dia juga telah berubah. Bukan, bukan berubah gender. Tapi perilakunya. Warung makan sederhana ini kami kelola bersama. Aku lupa belum membahas istriku, namanya Zulaikho. Dia gadis yang ada dalam mimpi. Ajengan membantuku mencarinya. Dan aku menemukan tulang rusuk itu di pasar minggu. Di lokasi yang persis dalam mimpi. Satu hal lagi, dia tidak mempersoalkan masa laluku. Kini, aku benar-benar akan menjadi lelaki yang bergelar “bapak”. Ssst… istriku tengah mengandung empat bulan. Gahgahgah. Zulaikho tidak akan merasakan kepedihanku dulu sebagai istri. Tidak akan! Karena aku akan menyayangi dan menjadi pelindung bagi dirinya.
—
Farihah, “perempuan yang berbahagia”. Begitu kedua orangtua menyematkan doa dalam nama, agar hidupku bahagia. Tapi, aku hanya tersenyum getir. Mengingat nama tak senada dengan nasib yang menimpa. Rasanya, dunia benar-benar tidak punya sepetak tanah untuk kebahagiaan. Yang tampak hanya lautan kesedihan. Aku pikir menjadi wanita yang telah menikah adalah sebuah kebahagiaan. Akan dihadiahi senyum manis suami setiap pagi, ada tempat bersandar kala duka, menghadapi rintangan hidup bersama-sama, dan lainnya. Ah, itu hanya takdir sebagian wanita yang beruntung. Aku? Haha aku bukan bagian dari mereka. Tapi aku percaya, Tuhan Maha Adil.
Jujur, mengalami manisnya menjadi pengantin baru aku pernah. Tidak dipungkiri, yang pernah menikah pasti merasakannya. (Jomblo yang sabar ya!). Tapi, semua itu berubah saat Negara Api menyerang -no, no, no! Ini bukan Avatar. Benar, semuanya hanya bertahan beberapa bulan. Keramahan dan kasih sayang suami memudar. Waktu seolah melucuti topeng sandiwaranya. Dia menjadi pribadi, “Sahaok kadua gaplok katilu endog diceplok.” [1]. Seharusnya aku tidak berkelakar dengan menambah, “katilu endog diceplok”. Pasti tidak akan ada yang percaya bahwa hidupku menderita.
Perlakuan kasarnya padaku kebanyakan gara-gara hal sepele. Beruntung saat dia marah tidak menyetrika tubuh ini, seperti nasib segelintir TKW di negeri orang. Bersyukur kami tidak punya setrika. Apa jadinya aku? Sekujur tubuh bisa gosong. Ini kesekian kali dia berlaku garang, padahal kami baru menikah dua tahun lalu. “Hah!” teriak lelaki itu memanggil. Ku tegaskan, namaku FARIHAH. Tidak adakah panggilan yang lebih baik daripada “HAH” Saat itu aku tengah mencuci di belakang. Selain menjadi istri dari SYTD (suami yang tak dirindukan), aku juga bekerja sebagai buruh cuci tetangga. Upah yang didapat tidak besar, hanya Rp. 5000 per ember.
“Iya, Kang?” Tergopoh-gopoh menghampiri lelaki berkulit sawo terlampau matang.
“Aku lapar. Mana? tidak ada makanan? Jadi istri tak becus melayani suami!” hardiknya.
Ingin sekali aku bertanya balik, “Akang sudah becus jadi suami, belum?” Pertanyaan itu tak sampai ke kerongkongan. Takut. Bagaimanapun, dia suamiku. Harus aku hormati.
“Maaf, Kang, upah mencuci tidak cukup beli beras.”
“Hah, kau cuma beralasan! Aku tak peduli, yang penting perutku terisi saat ini!” Dia meneriakiku.
Matanya melotot, menginstruksiku membawa apa saja agar perutnya terisi. Sebenarnya, banyak yang bisa memenuhi perut lelaki berambut ikal kusut itu. Batu atau cucian yang masih di ember, setidaknya agar mulut yang menghitam karena rok*k itu berhenti meneriakiku. Tapi itu mustahil. “Kapan terakhir Akang memberiku uang hasil mengojek? Kapan?!” Lagi-lagi perkataan itu hanya bergemuruh dalam dada. Takdir menjadi istri yang malang sedikit pun tak terbersit! Sungguh, hal itu tak ada dalam daftar mimpi-mimpiku. Upah tak seberapa, untuk sekali makan pun tak cukup. Ditambah lagi, katanya rupiah melemah. Imbasnya? Yaa… harga kebutuhan pokok naik. Hidup sebagai manusia di bawah rata-rata kefakiran memang sulit. Teramat pelik!
“Kenapa malah diam, Hah?!” Suara menggelegarnya mengejutkanku. Sadar, dari tadi aku hanya mematung -sibuk meratapi nasib- di hadapannya. Aku menatap takut.
“Oh…,” Suamiku menyeringai dan berjalan mendekat, “mau aku pukul?!” Dia bukan saja mengancam. Tangan kekar itu benar-benar terangkat mengambil ancang-ancang sebelum mendarat di pipi. Aku memejamkan mata. Berharap ada orang yang menyelamatkanku seperti dalam adegan sinetron.
Plak!
Tidak ada yang mencegah tangan itu untuk melukai. Perih. Pipiku terasa terbakar. Sadar, aku hidup bukan dalam sinetron. Bulir air mata meluncur tiba-tiba. Sudah ku bilang, dia “Sahaok kadua gaplok” dan tanpa “katilu endog diceplok”. Mungkin setelah bertingkah garang membuatnya kenyang. Lihat! Suamiku melenggang pergi. Menurut pemikiran yang waras, tenaganya terbuang sia-sia. Andai tenaga itu disalurkan bekerja -membantu memeras cucian atau apa sajalah- lalu upah itu dibelikan gorengan, mungkin perutnya benar terisi makanan.
Dan yang teramat sakit ialah perasaanku. Memimpikan menjadi istri yang disayang bukan ditempeleng garang. Teringat nasihat mendiang kakek, “Sabar, sabar, sabar! Meski hidup lebih pahit dari empedu. Percayalah Allah Maha adil!” Ya, sepertinya kakek telah memprediksi bahwa aku, cucunya akan bernasib begini. Perihal perlakuan suami yang tidak manusiawi, aku tidak berdoa agar dia tersambar gledek atau terjungkal saat mengojek. Tidak. Jika aku memanjatkan doa seperti itu, kesabaran yang ku lakukan tiada artinya.
Mengadu? Kepada siapa? Hidup sebatang kara. Bapak ibu sudah tiada. Tak ada sanak saudara. Terdampar di wilayah asing mengikuti suami tercinta(?) Hallaaah… Malah bermain rima. Bagaimanapun jua, aku meminta kepada Allah agar dia sadar dan mendapat hidayah, serta memperlakukanku selayak istri tercinta. Hari itu aku larut dalam segara air mata. Ya, memang tak akan mengubah takdir yang menimpa. Tapi, setidaknya berton-ton beban di dada sedikit terasa plong macam mulut lepas sendawa.
—
“Euleuh, deudeuh teuing incu abah…, [2]” lirih kakek, jemari tangannya tak henti mengusap rambutku yang tergerai. Aku terduduk di lantai menyenderkan kepala pada lutut lelaki sepuh yang berada di atas kursi. “Keun nya, ulah sedih deui. Kanalangsaan maneh geus teu kudu diceungceurikan. Allah maparin kaadilan ka maneh, [3]” lanjutnya lagi. Aku menatap kedua mata yang sendu, namun ada sebercak kebahagiaan terlukis di sana.
“Ngadeg! [4]” perintahnya. Aku menuruti apa yang dikata kakek.
Ada kain putih. Putihnya secemerlang di iklan deterjen. Kain kafan kah? Secepat ini aku mati? Padahal bekal akhirat belum dipersiapkan. Kakek membungkuskan kain itu ke tubuhku. Aku merasakan sesuatu yang menjalar di seluruh tubuh. Kesedihan yang ku alami dan terpendam di dasar hati terasa luruh. Jasadku teramat ringan dan… jiwa ini seolah melayang. Kain putih semakin memendarkan cahaya, memenuhi seluruh ruangan. Oh, silau men! Tiba-tiba kakek menuntunku menyusuri jalanan yang cukup ramai. Di mana ini? Aku merasa tak asing. Dalam gejolak kebingungan itu, kakek menunjuk ke sebuah warung makan di pinggir jalan.
“Kau lihat itu?” tanyanya kini dengan bahasa Indonesia fasih. Aku mengangguk.
Lelaki berkofiah merah ala Aladin ini melanjutkan ucapannya, “Dia jodohmu!”
Lalu menatapku sambil tersenyum meyakinkan. “Loh? Aku sudah menikah, Abah,” tukasku.
Sejenak, aku amati lamat-lamat sosok yang tadi ditunjuk kakek. Cantik! Senyum terkembang di bibir ini. Hei, apa kataku? Cantik? Tunggu, ada yang salah denganku. Apa aku l*sbi?
Aku memalingkan muka ke hadapan kakek.
“Ada yang salah?” Alis kakek terangkat sebelah.
“Dia perempuan!” Wajahku merengut. “Tentu salah, Abah!”
Kedua lengannya memegang bahuku, lantas menghadapkan pada sebuah cermin besar milik penjual mainan.
“Tidaaaaaak!!!”
—
Seketika aku terlonjak. Napas tersengal. Seperti sehabis dikejar babi hutan. Mimpi yang aneh! Mataku melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul 2 dini hari. Mungkin karena perut selalu keroncongan, jadi tidak sulit untuk bangun sepagi ini. Segera aku bergegas ke WC di belakang. Jangan bayangkan WC yang full kramik! Tempat ini lebih elit, beratap langit. Lantainya tersusun dari beberapa bambu yang memiliki panjang 2 meter. Dinding-dindingnya terbalut karung dan sarung butut. Air amat melimpah. Fantastis bukan? Dan yang paling unik WC ini berada di atas kolam. Di daerahku dinamai “bagbagan”. Segera aku melepas pakaian, hendak mandi. Bagiku mandi dini hari adalah membuat tubuh ini fresh mendekati beku. Astaghfirullah! Tulang lutut terasa lolos dari persendian. Lemas. Aku tidak percaya ini! Mimpi itu…. Alhasil, mandi pun ku urungkan.
—
Aku benar-benar menjadi manusia terlahir kembali. Ya, walaupun rutinitas masih mencuci pakaian orang. Kali ini ku tuntaskan lebih cepat. Ada seseorang yang akan aku kunjungi. Benar-benar kalut. Mungkin orang itu dapat memberi solusi. Perasaan ragu menyelinap saat memandang benda yang selalu membungkus tubuh ini. Daster kumal, dan kerudung. Bergegas mengganti pakaian, lalu aku mematut di depan cermin.
“Benarkah ini diriku?”
Beruntung kediamannya tidak jauh dari rumahku, ralat. Gubuk sepertinya lebih cocok, karena kondisi rumahku sudah reot. Aku tak bisa membayangkan jika jaraknya jauh, bisa-bisa aku pulang ngesot. Maklum tenaga dihabiskan untuk mencuci beberapa ember. “Assalamualaikum, Ajengan!” sapaku saat sampai di tempat tujuan. Ajengan adalah sebutan yang setara dengan ustaz. Dia sedang duduk di halaman bersama istrinya. “Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokaatuh…,” jawab mereka serempak. Aku mengutarakan maksud, lalu ajengan itu mempersilakan masuk.
Di ruang tamu
“Ajengan, percaya sama takdir dan rahasianya?” tanyaku membuka pembicaraan, tanpa basa-basi. Kebanyakan basa-basi jadi basi beneran. Jujur aku tak suka yang basi-basi. Hueeks.
Wajah yang hampir tua itu merengut. Mungkin menebak ke mana arah pembicaraanku.
“Tentu saja, atuh, Neng Farihah.” Dia mengulum senyum. “Kalau tidak percaya… ya kafir. Dan bagi seorang mukmin mesti ridho menerima yang baik juga yang buruk dari ketetapan Allah, sekali pun mengejutkan. Takdir memang penuh misteri.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju bukan karena leher pegal. “Apakah yang menimpa saya adalah bukti Allah Maha adil dengan…,” Suaraku tercekat. Seperti ada yang menyangkut di kerongkongan. Aku tidak percaya akan mengatakan ini. Lelaki yang ada di hadapanku memerhatikan dengan saksama. Menghela napas sekejap, lantas mulutku begitu saja terbuka seolah membacakan kisah kelam yang terjadi dalam catatan takdir. Tentang perlakuan suami selama ini, mimpi aneh itu dan hal yang tadi malam ku alami di bagbagan (bukan tentang mandi yang urung ku lakukan).
Ajengan terkesiap, lalu ia memekik tertahan, “Masyaa Allah… Benarkah?” Pandangannya menyoroti ujung kepala sampai kakiku. Aku tak merasa risih atau kikuk. Segera aku pamit setelah dirinya memberiku solusi.
—
Dini hari selalu membuatku terbangun. Entah kenapa, mungkin sudah menjadi kebiasaan. Saat hendak bangkit, ada sesuatu yang baru aku sadari. Suamiku pulang setelah seminggu menghilang. Tangan kanannya melingkar di pinggangku. Seharusnya hati ini berbahagia, tapi sekarang tidak. “Maafkan aku, Farihah,” gumamnya masih dengan mata tertutup. Mungkin dia tahu aku terbangun. Ingin sekali menangis, tapi air mata ini tak kunjung ke luar. Mungkinkah mengering? Aku benar-benar tak seperti dulu. Pasrah. Tetap di posisi awal, tidur menyamping. Biarlah untuk terakhir kalinya ia memelukku.
Pagi ini aku masak spesial. Yang namanya spesial di kamusku itu yaa… nasi hangat, bakar ikan asin, sambal, dan lalapan. Maklumlah… upah dari buruh cuci ya alakadarnya. “Aku mah sakieu ge uyuhan.” [5] Bersikap senormal mungkin di hadapan suami. Tekad sudah bulat. Setelah mendeklarasikan diri, penampilanku akan segera berubah. Sekarang masih setia dengan daster kumal. Dia makan dengan lahap. Ralat. Rakus! Berbeda denganku, makan sesuap-sesuap. Sesekali menatapku, lalu senyum miliknya terkembang. Semoga saja dia benar-benar berubah.
“Enak, Kang?”
Suamiku mengangguk.
“Aku punya permintaan,” kataku setelah beres makan.
“Apa itu, Istriku?” serunya. Setelah sekian lama, mungkin berabad-abad rasanya ia baru memanggilku dengan dengan kata itu. Kalut! Mencoba mengumpulkan tenaga yang tercecer seperti remah-remah nasi di dekatnya, aku mengatakan hal yang amat sakral, “Ceraikan aku, Kang!”
“Uhuk! Uhuk! Air… minum!”
Dia tesedak saking kagetnya mungkin.
Melihat itu aku panik, “Maaf, aku baru ingat tidak masak air!”
Saking asyik masak makanan spesial lupa masak air. Kacau!
Alhasil, dia mengambil mangkuk di dekatnya, lalu meminum air kobokan yang belum dikobok.
“Hah, eng, maksudku… Istriku, aku tahu selama ini telah berbuat kasar padamu….”
“Tidak manusiawi,” tambahku.
“Ya, ya, tapi aku telah tobat dan berjanji akan menyayangimu sepenuh jiwa raga. Dulu aku suami bodoh,”
“Sekarang?”
“Masih bodoh.” Getar sesal terdengar dari ucapannya. Dia memasukkan suapan terakhir.
“Kang,” dengan nada lembut aku berujar, “istri yang meminta cerai tanpa alasan syar’i tidak akan mencium wangi surga. Sedangkan, aroma surga itu tercium dari jarak 70 tahun perjalanan. Tentu aku tidak mau hal itu menimpa diri. Tapi aku punya alasan mengapa Akang wajib menceraiku.”
“Tidak! Pokoknya akang tidak akan menceraikanmu!” ucapnya tegas.
“Aku bukan Farihah yang dulu,” timpalku. Sebetulnya aku tidak ingin dia tahu tentang apa yang menimpa.
Dia tak mau kalah, “Aku bukan Yaya yang dulu juga, aku telah insyaf.”
“Aku bukan wanita lagi.”
“Aku juga bukan–” Ucapannya menggantung, lalu menatapku tak percaya, seolah mengatakan, “Jangan bercanda! Mustahil!”
Kejadian di luar kebiasaan itu ku ceritakan. Mimpi dengan kakek dan genderku yang berubah. Semua itu atas saran ajengan yang tempo hari ditemui. Lelaki yang sebentar lagi menyandang mantan suamiku itu menekuri tikar tempat kami duduk. Hening!
—
Setelah mendeklarasikan sebagai Abdul Ridho, hidupku benar-benar berubah. Aku mulai dikenal banyak orang karena peristiwa ajaib itu. Alhamdulillah, profesi bukan buruh cuci lagi, beralih membuka warung makan. Dari mana uangnya? Tentu dari takdirku. Begini, untuk pertama kalinya aku dimuat di koran. Jangan berpikir di kolom orang hilang atau kolom orang meninggal (arbituary). Tidak! Aku diundang untuk menceritakan kisah yang pernah terjadi. Sampai diriku menjadi bintang tamu di televisi pada acara “Hitam Kelabu”. Kini kebanjiran rejeki.
Semenjak Yaya -sang Mantan Suami- menceraiku, dia tak pernah terlihat. Entah ke mana. Menurut kabar, dia juga telah berubah. Bukan, bukan berubah gender. Tapi perilakunya. Warung makan sederhana ini kami kelola bersama. Aku lupa belum membahas istriku, namanya Zulaikho. Dia gadis yang ada dalam mimpi. Ajengan membantuku mencarinya. Dan aku menemukan tulang rusuk itu di pasar minggu. Di lokasi yang persis dalam mimpi. Satu hal lagi, dia tidak mempersoalkan masa laluku. Kini, aku benar-benar akan menjadi lelaki yang bergelar “bapak”. Ssst… istriku tengah mengandung empat bulan. Gahgahgah. Zulaikho tidak akan merasakan kepedihanku dulu sebagai istri. Tidak akan! Karena aku akan menyayangi dan menjadi pelindung bagi dirinya.
Langganan:
Postingan (Atom)