Jumat, 18 November 2016

Gigi Ompong

Seperti biasa, setiap pagi aku harus bersiap-siap ke sekolah. Aku dan temanku Lian namanya. Kami berangkat sekolah dengan berjalan kaki sekitar 10 menit lamanya dengan kecepatan rata-rata. Setiap di jalan, aku terkesima dengan seorang anak yang selalu berjalan terburu-buru yang jalan itu berbalik arah dengan aku dan Lian. Anak itu tak pernah tersenyum, sama sekali. Boro-boro tersenyum, bahkan melirik pun tidak. Sampai aku heran mengapa pagi-pagi begini dia sudah cemberut, persis seperti wajah Squidward yang marah karena selalu diganggu spongebob.
Sampai akhirnya suatu pagi aku memutuskan untuk berani menyapa anak itu, “Hay..” kataku. Tapi dia memasang muka menyeramkan seperti Raja Neptunus yang sedang marah karena mahkotanya hilang. Aku tak peduli, aku tetap memasang senyum lebar padanya. Dan akhirnya, sepertinya kami mulai akrab -atau tidak, itu hanya khayalku yang terlalu terpikirkan oleh wajah apatis anak itu.
Hari demi hari, aku semakin kesal. Setiap pagi kupancing anak itu untuk berbalik menyapaku atau setidaknya tersenyum hasilnya selalu saja NIHIL. Akhirnya aku dan Lian memutuskan untuk tidak mempedulikan anak itu lagi. Semuanya barjalan biasa-biasa saja. Anak itu pun masih seperti biasa, tak mau tersenyum.
Suatu pagi, aku harus terburu-buru meminta surat izin kepada guru piket, karena teman sekelasku ada yang tidak masuk sekolah. Aku berangkat sendiri karena Lian masih bersiap-siap. Aku berjalan menunduk melihat ke arah pasir-pasir yang kuinjak. Sampai di tengah jalan agaknya aku medengar seseorang menyapaku.
“Hey…” sapanya.
“Hah?” cengakku. dia tersenyum tipis padaku.
Aku menatapnya sejenak, namun langsung kutundukkan lagi. Aku mengingat-ingat siapa dia. Dan aku teringat nampaknya wajah itu bukan wajah asing bagiku.
Dan seketika aku teringat yang tadi menyapa adalah anak apatis itu. Aku berjalan dengan membawa hati yang kesal, mengapa aku mengabaikan sapaannya setelah selama ini aku menunggu-nunggu untuk moment ini.
Masih seperti pagi yang biasa, seragam yang biasa, jalan yang biasa dan sekolah yang biasa. Aku dan Lian pun berjalan seperti biasa, berjalan biasa-biasa saja dengan kecepatan yang biasa karena hari ini hari biasa. Hari ini seperti pada umumnya, setelah 7 hari berlalu, kembali dengan hari yang pertama, jam yang biasa. Mungkin yang sedikit berbeda adalah pembicaraan tentang anak “apatis” itu. Aku, Lian dan anak apatis itu seprtinya sekarang mulai akrab. Semenjak kejadian pagi itu yang kuceritakan terang-terangan kepada Lian.
Aku dan Lian tak segan-segan memaparkan senyum selebar-lebarnya kepada anak itu setiap pagi. Lian senang karena akhirnya kami berdua berhasil membuat anak apatis itu “tersenyum”. Senyumnya amat cantik, lesungnya menarik pipinya ke dalam, lekukan bibirnya melebar, bibirnya tipis, sangat manis. Kesantunanya dengan menundukkan wajahnya yang tajam itu membuat aku gembira melihatnya. Benar benar cantik.
Hari demi hari, kami bertiga semakin akrab. Tapi, rasa-rasanya masih ada yang kurang di antara kami. Aku dan Lian belum pernah mengobrol dengan anak apatis itu, Demikianlah masalahnya. Aku berfikir kalimat apa yang akan aku gunakan untuk membuka pembicaraanku dengan anak apatis itu. Apa aku harus bertanya alamat rumahya? Apa aku harus bertanya umurnya berapa? Atau aku harus bertanya diamana dia sekolah? Ah masih bingung.
Pagi itu, aku berjalan santai setelah aku memakai sepatu prolexus-ku. Aku dan Lian berjalan beriringan. Aku bercerita kepada Lian mengenai ideku tentang “mengobrol dengan anak apatis itu”, Lian pun setuju. Siap-siap kutarik nafas kencang-kencang dan memasang wajah paling cakap agar tak terlihat gugup. Setelah kulihat dia berjalan mendekati kami, aku membuka pembicaraan,
“Emm.. kamu kelas berapa?” tanyaku.
“Iya kak?” dia balik bertanya.
“Aku kelas 6 SD kak”, sambungnya.
“Aku kelas 6 SD mba.. hahaha” tawanya menggelegar, suaranya sekeras kembang api pada tahun baru. Aku tak mengerti mengapa dia tertawa tanpa sebab. Di wajah yang polos nan cantik itu, aku meihat pemandangan yang tidak enak menurutku. Aku dan Lian pun saling memandang dengan wajah heran, saling heran dan sangat heran. Jadi sekarang aku tahu, mungkin itulah satu-satunya alasan dia tidak mudah bergaul dan apatis, karena dia aneh dan giginya… ompong.
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar