Sabtu, 19 November 2016

Jamrijan

Tubuh malam yang gelap telah meniduri bumi Rasianja. Jarum jam yang tertatih-tatih menunjukkan waktu yang tepat untuk manusia normal terlelap di atas kasur kesayangan mereka masing-masing. Benar, manusia normal. Jika kita melirik ke salah satu rumah di dusun ini, yaitu rumah yang berteman dengan semak belukar, pintunya kaca, dinding-dindingnya rata dan kuat bagai perut Shahrukh Khan setelah fitness, tapi atapnya aneh: payung raksasa. Bertubuh batang besi tebal, menancap jauh dalam tanah dan kepala plastiknya membentang lebar merangkul rumah yang terlalu mencari-cari perhatian orang tersebut.
“Kalau ingin merasakan rumah tanpa atap, tinggal pencet tombol ini. Slep! Payungnya kuncup deh.” Tukas Jamrijan, pemilik rumah aneh itu saat diwawancarai di suatu acara televisi berjudul “Sang Pencari Perhatian”. Cukup sekian dulu perihal rumahnya, mari kita lihat dulu lelaki cungkring ini sedang berbuat apa di saat manusia lain sedang melayang di alam mimpi. “Halo! Ini siapa sih? Dari tadi ganggu aja. Aku lagi sibuk. Kalau mau nelepon, permisi dulu dong!” Suara amarahnya itu juga terlalu mencari perhatian. Sampai Pak Haji -bukan gelar, namanya Suhaji-, tetangga sebelah terbangun dari tidurnya. Dengkurannya yang telah memiliki aransemen itu pun dibuyarkan oleh suara cempreng Jamrijan.
Selang beberapa waktu, pintu kaca Jamrijan pecah tertembus peluru AK47. Itu bukan milik Pak Haji, pikirnya. Ia sudah hafal kejadian seperti ini: pintunya pecah ditembak salah seorang mantan perwira militer. Wajahnya garang seperti macan hutan, tubuhnya tegap, juga tidak bisa kita pungkiri kala melihat tatapan matanya, pastilah ia ingin membantai Jamrijan. Kaki kanannya yang dibalut sepatu kulit impor, menapak masuk melewati beling-beling bekas pintu rumah tadi. Tampak datar memang wajah tirus Jamrijan. Semakin dekat mantan perwira tersebut, semakin menjadi masam wajah Jamrijan. Tak ada satu kata pun terlontar dari mulut mereka walau wajah keduanya sudah sedekat mata kanan dan mata kiri. Namun, kita tidak mungkin tidak menduga kalau dilihat dari ekspresi mantan perwira tersebut, ia sangat ingin meludahi wajah Jamrijan.
“Apakah kau terkejut?”
“Cih, kalau aku tertidur, mungkin aku tidak akan terbangun!” Jawab Jamrijan berlagak hebat.
Mereka menyadari bahwa di balik tingkap-tingkap di luar sana, berpasang-pasang mata menyoroti aksi mereka. Namun tidak untuk wanita secerdas Rosania, seorang guru honor di sekolah negeri terdekat. Paling juga si cungkring lebay dengan teman tentara bodohnya, gumamnya dalam setengah kesadaran. Upah guru honor dan perjuangannya untuk menjadi PNS tidak membuat otak ibu satu suami itu tumpul. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa di rumah Jamrijan tadi bertanya-tanya, mau apa mereka ke belakang.
“Kalau mereka melakukan hal yang tak senonoh, aku akan membakar rumah itu!” Tegas salah seorang warga yang ikut mengintip. “Terima kasih, Pak. Ini upah Bapak malam ini karena sudah membuat saya keren di depan para warga.” Jamrijan mengecilkan volume suaranya sambil menyuguhkan kopi kepada temannya itu. “Terima kasih, Jam. Kamu sudah banyak membantu saya beberapa bulan ini. Siapa lagi coba yang bisa membuat saya dipecat dari angkatan darat kalau bukan kamu!”
“Bapak bisa aja. Anu, Pak Lek, maaf. Saya belum merebus air, jadi kopinya gitu dulu.” Kata Jamrijan menyengir. Mata Pak Lek membelalak dan langsung memandang ke dalam sebuah gelas yang hanya berisi bubuk kopi dan gula. Oh, ternyata sudah ada beberapa semut yang bermalam di gula itu. “Lagi pula mencari air itu gampang sih, Pak. Kurang lebih delapan puluh persen tubuh kita mengandung air!” Sambung Jamrijan sambil mengunyah tempe yang sudah berjamur. Barangkali itu tempe dua tahun lalu dimana itu adalah masa-masa terakhir ibu Jamrijan memasak, di dunia.
“Terus bagaimana menggunakan airnya?”
Jamrijan memberi isyarat jari telunjuk yang artinya “tunggu sebentar” atau “lihat ini”. Ia seperti menyiapkan sesuatu dalam mulutnya. Pak Lek hanya bisa melongo bingung melihat aksi Jamrijan. Cuih! Jika dilihat ke dalam gelas Jamrijan, maka segumpal ludah kental -barangkali juga terikut dahak- tergenang di atas bubuk kopinya.
“Nah, kalau airnya kurang banyak, bisa ditambah lagi sesuai selera. Setelah itu baru diaduk!”

Matahari telah mengintip di ufuk timur. Dusun Rasianja telah bermandikan sinarnya, yang membuat kuncup-kuncup bunga bermekaran, ayam jantan berkokok, dan nuansa pagi mulai terasa kala banyak anak-anak sekolah bertebaran di jalan. Di jalan yang masih beraroma embun pagi ini kita juga dapat menemukan Jamrijan dengan Rosania, berdua di atas sepeda motor yang ban depannya sudah baling.
“Kenapa ya Mas Nomo belum memecat kamu? Aku heran.” Ketus Rosania kesal.
“Kamu kok gitu? Kamu tuh bersyukur dong punya supir ojek pribadi kayak aku.”
“Bersyukur karena apa? Karena aku sudah malu dianter dengan motor baling? Karena aku sering terlambat gara-gara kecepatan motor kamu sama aja kayak jalan kaki?” Berpasang-pasang mata kini kembali menyoroti Jamrijan dengan mantan kekasihnya itu.
Ini kesempatan lagi untuk mencari perhatian, pikirnya. Seluruh penduduk Rasianja memang telah mengakui kecantikan guru muda tersebut. Aroma wewangian dari pakaiannya juga menambah daya tarik Rosania. Bahkan, sebelum ia menikah, pernah ada dulu muridnya yang ingin mengajaknya berciuman. Aneh memang, jangan tanya itu anaknya siapa. Alangkah buruknya, kejadian ini diketahui Jamrijan yang saat itu masih hangat diputuskan oleh Rosania. Keesokan paginya, jasad anak SMA itu ditemukan mengapung tanpa bibir. Tergurat di dahinya tulisan “Jamrijan” dengan huruf kapital. Tapi entah mengapa tak ada satu pun warga yang menuduh Jamrijan melakukan pembunuhan tersebut.
“Aku akan buktikan kalau cintaku lebih besar daripada cinta suamimu!!” Teriak Jamrijan dengan tangan mengacung seperti Bung Tomo ketika berpidato. Rosania terkejut dan langsung terjatuh dari motornya. Saat itu juga, para warga yang melihat langsung menyerbu Jamrijan untuk menghajarnya. Jamrijan mencoba membuat perlawanan dengan jurus silatnya yang ia pelajari di SD dulu. Ternyata hanya menonton Bruce Lee bertarung tidak cukup membuatku jago berkelahi, pikirnya ketika sedang diamuk massa. Merasa tidak punya banyak waktu untuk menikmati pukulan-pukulan warga, ia pun langsung berlari menuju lokasi di mana Rosania terbaring pingsan. Eh, maksudnya mati.
“Rosania! Maafkan aku! Aku nggak tahu kalau kamu punya penyakit jantung!” Rosania hanya diam dengan bibir rapat seperti terkunci. Jamrijan tak pernah menyangka kalau tingkah lakunya yang suka mencari perhatian ini bakal membunuh orang yang dicintainya. Ya, Jamrijan benar-benar mencintainya. Tiba-tiba, seorang lelaki besar yang tak lain adalah Purnomo, suami Rosania, memukul kepala Jamrijan dengan balok kayu yang ada pakunya. Dunia seakan-akan jungkir balik di mata Jamrijan, mulutnya ingin menjerit namun tak bisa. Mati pun tak apalah, pikirnya.

“Bangunlah, Jam. Waktumu belum tiba.”
“Rosania? Kamu masih hidup?”
“Walaupun mati, kita tak sungguh mati.”
“Aku nggak ngerti.”
“Ya sudah! Kamu kembali saja! Kamu belum pantas mati dengan otak yang masih belepotan!”
Mata Jamrijan terbuka. Pupilnya meloncat-loncat dan ia menemukan Pak Haji sedang bermain-main dengan kepulan asap rok*k yang ia keluarkan dari lubang hidungnya.
“Pak Haji? Ngapain?” Jamrijan masih bingung walau ia tahu ia baru kembali dari kematian.
“Astagfirullah! Kamu hidup lagi, Jan? setelah tujuh bulan lamanya, rencana saya gagal.” Pak Haji menjambak janggutnya sendiri karena kesal.
“Tujuh bulan? Kok nggak Bapak kuburkan saja saya?”
“Itulah dia! Saya juga ingin menjadi orang yang suka mencari perhatian seperti kamu! Mana tahu saya bisa masuk acara tv yang isinya tentang yang unik-unik gitu. Apa namanya?”
Jamrijan keheranan. Ia berpikir kalau orang yang terlalu mencari perhatian itu seperti orang gila. “Lupa saya, Pak. Maklumlah, sudah tujuh bulan mati. Yang pasti ada spot-spotnya gitu namanya.”
Pak Haji mengangguk. Ia langsung beranjak pergi meninggalkan Jamrijan. Berantakan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi rumah, hati, dan pikiran Jamrijan. Ia pun melangkah turun dari ranjangnya. Diraba-raba kepalanya, tak ada rasa sakit, tapi seperti ada lubang kecil bersemayam di situ. Ia tak peduli. Jalannya sempoyongan, tubuhnya kering seperti halnya tulang dibalut kulit. Seketika hujan turun dengan lebatnya. Akibat tak ada lagi payung raksasa yang melindungi rumahnya dari hujan dan panas -tak tahu kemana hilangnya, sudah pastilah yang namanya banjir akan menghiasi lantai rumah Jamrijan.
“Halo? Pak polisi? Saya Jamrijan. Maukah Bapak memasukkan saya ke penjara yang banyak orangnya? Saya kesepian di sini.” Jamrijan mulai berpikir bahwa ia mencari-cari perhatian dulu karena ia kesepian. Namun kini jemari trauma mencengkeramnya. Lebih baik aku pergi dari sini, pikirnya. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, lalu ia…
Dor!
Sebuah peluru AK47 menembus tepat di ulu hatinya. Rasanya sakit dan mengejutkan.
“Jamrijan! Sudah tujuh bulan, kenapa kamu belum juga memasang pintunya?” Pak Lek menghampiri Jamrijan yang sudah terkapar di lantai. Senyuman jelek terpampang di wajahnya. Menjelang kematiannya pun ia sempat berbuat sesuatu yang sungguh ingin mencari perhatian. Telunjuknya mencolek lumuran darah di dadanya dan ia menulis di lantai: hidup untuk mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar