Sabtu, 19 November 2016

Bunga Abadi

“Ra..” bisik lelaki dengan air mata yang mulai mengalir. Ia tak mampu lagi menahan rasa sakit karena ditinggalkan. Lelaki itu sangat mencintainya. Sangat. Bahkan, lelaki itu terus saja berbisik memanggil namanya. Meskipun ia tahu tidak akan mendapat sahutan. Ia tak juga beranjak meski sekelilingnya sudah tak ada orang, meski hanya bertemankan nisan-nisan yang hanya akan terus diam, meski langit mendung memayungi. Tanpa menyadari ada seseorang yang sedari tadi menatapnya di kejauhan dan ikut menangis bersamanya.
“Ram, sampai kapan kamu akan terus duduk di sini dan menatap nisannya? Aku tahu ini berat, tapi cobalah untuk mengikhlaskan. Doa tulus darimu dan keikhlasanmu yang ia butuhkan saat ini. Istirahatlah, kamu bisa mengunjunginya lagi besok.” Ujarku mencoba menguatkan dirinya yang kutahu ia sangat rapuh saat ini.
“Kamu pulang saja lebih dulu. Aku masih ingin bersamanya” Ujarnya masih menatap nisan yang bertuliskan nama MIRA ANDANI. Nama yang sudah 3 tahun mengisi hati Rama.
“Tapi kamu sudah duduk di sini berjam-jam. Sebentar lagi malam, lagipula hari sudah mendung. Ayo, kita pulang sebelum hujan turun.” Aku masih berusaha membujuknya.
“Biarkan saja aku kehujanan dan bermalam di sini. Aku tidak peduli! Kalau kamu mau pulang, pulang saja!” suaranya meninggi.
“Kamu pikir dengan duduk di sini semalaman dan berhujan akan membangunkan Mira? Kamu pikir dia senang kalau kamu sakit? Rama, sudahlah. Aku yakin Mira ingin kamu tidak terlalu larut dalam kesedihan seperti ini.”
“Apakah pernah kamu kehilangan orang yang sangat kamu cintai? Apa pernah, heh? Tidak, kan? Kamu tidak tahu rasanya!” Rama benar-benar keras kepala. Tapi, aku tidak menyerah untuk membujuknya.
“Tidakkah kamu tahu bahwa semua orang juga sangat kehilangan Mira? Tapi mereka tetap melanjutkan hidup. Bukan karena mereka sudah melupakan Mira, tapi mereka tidak ingin Mira sedih. Pulang dan istirahatlah. Kirimkan doa untuknya.” Aku memegang pundaknya, ia menatapku. Kulihat matanya memerah. Ah, hatiku ikut sakit melihatnya seperti ini.
“Kamu mencintai Mira, kan?” Ia menangguk pelan
“Kamu yakin ia juga mencintaimu, bukan begitu?” Lagi-lagi ia mengangguk
“Kalau begitu, sehatlah. Hiduplah seperti Rama yang dicintai Mira. Kamu tahu Mira takkan membiarkanmu sakit, kan?” Ia menangguk lagi. Ya, aku sangat mengenal Mira yang sangat memperhatikan kesehatan orang-orang di sekitarnya. Dia akan sangat sedih jika tahu ada orang yang ia sayangi jatuh sakit.
Akhirnya bujukan itu mampu membuat Rama luluh. Ia berjalan dengan lemas. “Apakah sebegitu berartinya seorang Mira untukmu?” Gumamku dalam hati. Seketika aku merasa ikut melemas.
Hari ini tampak sama, langit begitu cerah. Cahaya matahari begitu hangat menyentuh kulitku. Namun, ada seseorang yang telah berubah. Ia tak lagi hangat seperti cahaya matahari, tak lagi kulihat ia menarik kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan ke atas. Ya, ia tak lagi menjadi Rama seperti dulu yang kukenal. Bertahun-tahun mengenalnya, menjadi teman yang selalu ada di sampingnya, selalu menjadi penghiburnya serta semua nasihatku tak menjadi motivasi Rama untuk bangkit dari patah hatinya. Padahal, ia sudah berkali-kali patah hati sebelum ini. Tapi, tak pernah sehebat ini.
Lagi, kaki ini tetap melangkah padamu. Meski aku tahu akan mendapatkan perlakuan yang sama seperti kemarin. Meski takkan kurasakan hangat tatapanmu, walaupun takkan ada senyuman untukku. Setidaknya aku telah mencoba, bukan?.
Seperti kemarin, hari ini aku hanya duduk di sampingmu. Duduk menatapmu yang sedang menatap kosong dinding kamarmu. Keluar sebentar hanya untuk memasakkan makan siang untukmu dan terus-terusan mencoba membujukmu untuk memakannya. Walaupun hanya satu atau dua sendok saja. Itu sudah cukup untuk memberimu energi untuk tetap hidup. Karena menangis saja juga membutuhkan energi, benar kan?.
Untunglah saat ini sedang libur panjang sehingga aku bisa seharian duduk di sampingmu yang hanya membisu. Berbagai cara kulakukan untuk menghiburmu. Mencoba mengajakmu berbicara, melontarkan teka-teki yang akhirnya kujawab sendiri, menceritakan sesuatu yang lucu meski hanya aku yang tertawa. Tapi kamu masih diam, sejak aku datang hingga berpamitan untuk pulang. Seorang penghibur juga perlu istirahat, kan? Karena untuk menjawab pertanyaan sendiri dan untuk menertawakan lelucon sendiri juga memerlukan energi, ya kan?
“Bayanganku sudah memanjang. Tidak terasa, ya? Kalau begitu aku pamit pulang, ya? Besok aku akan ke sini lagi.” Pamitku lalu melangkah ke luar dari kamarnya yang di setiap sudutnya seperti tertulis hampa dengan cetak besar dan tebal.
“Pulanglah. Jangan pernah kembali.” Ucapnya menghentikan langkahku. Sejak hari pemakaman itu ia tak sedikit pun mengeluarkan suara. Tapi, kenapa saat ia membuka mulut malah kalimat menyakitkan itu yang keluar?
Aku berbalik dan menatap laki-laki yang berat badannya sudah menyusut dengan drastis itu. Menatap matanya yang terlihat begitu menyayat. Ah, bukankah laki-laki di hadapanku ini adalah insan yang sedang patah hati?. Wajar saja ia berkata seperti itu.
“Apa yang lagi yang kamu tunggu?” ucapnya dingin.
“Uh, kamu tahu? Kalimat itu barusan menyakitkan. haha” Ucapku yang masih berpikir ia bergurau
“Kamu mencoba membuat lelucon, Ram? Leluconmu masih kurang lucu. Besok aku akan kembali membawa buku kumpulan cerita lucu, mungkin itu akan membantumu.” Sambungku
“Aku bilang jangan pernah kembali! Apa kamu tuli, Fya?” aku tersentak, aku sama sekali tak menduga kalau yang diucapkannya bukanlah sebuah lelucon. Bahkan ia tak pernah menyebut namaku. Selama ini ia selalu memanggilku ‘adik kecil’ yang membuatku tak pernah bisa mengatakan apa yang selama ini memenuhi ruang hatiku, siapa yang selalu menjadi pemeran utama dalam pikiranku.
“Tapi, kenapa? Aku hanya ingin menghiburmu.”
“Untuk apa menghiburku? Bukankah kamu senang atas kematian Mira? Tidak perlu berpura-pura peduli!” Ucapnya dengan tatapan menuduh.
“Kenapa aku harus senang? Jadi kamu berpikir bahwa aku hanya pura-pura peduli? Baik, terserah kamu mau menilaiku serendah apapun itu. Aku akan mencoba tidak peduli dan tidak akan pernah menemui lagi.” Ucapku sambil berlari menjauh. Tidak kusangka orang yang selama ini kusayangi tega menuduh dan menilaiku serendah itu. Aku mencoba menahan tangisku. Tapi tidak bisa, kali ini Rama benar-benar menyakitiku.
Aku menangis di depan nisan berukirkan nama seorang wanita yang memang tiga tahun ini selalu membuatku cemburu. Bagaimana tidak, jika wanita yang baru saja mengenal Rama bisa dengan mudah mencuri hatinya. Sedangkan aku yang telah berusaha mati-matian sama sekali tak pernah disadari kehadirannya.
Meski cemburu, aku tidak pernah membencinya. Apalagi senang atas peristirahatannya yang untuk selama-lamanya ini. Sama sekali tidak.
“Ra, maafkan aku yang selalu mencemburuimu. Tapi, percayalah padaku bahwa aku tidak pernah membencimu. Aku sama sedihnya seperti orang lain ketika dirimu pergi. Maafkan aku juga karena tidak bisa membuat Rama hidup seperti dulu. Ia berubah, Ra. Ia dingin, bahkan tega menuduhku. Aku mengikhlaskan hati Rama untuk mencintaimu. Tapi, biarkan aku menjaga raganya. Karena itu, kembalikan Rama yang dulu. Hanya kamu yang bisa menasehatinya. Kumohon.” Bulir-bulir bening terus saja berjatuhan membasahi tanah.
“Apa kamu sedang menertawakan nisannya Mira?” suara bas yang sangat kukenal memecah keheningan tempat pemakaman.
Aku hanya bergeming mendengar pertanyaan Rama yang menusuk jantungku itu.
“Kamu menangis? Untuk siapa? Mira? Memangnya sejak kapan kamu dekat dengan Mira, heh? Hapus saja air mata palsumu itu. Aku tahu perasaanmu padaku, maka dari itu aku memanggilmu ‘adik kecil’ agar kamu tak pernah memiliki nyali untuk mencintaiku. karena itu, kamu pasti senang orang yang kucintai pergi, kan?” Ucapnya ketika duduk di sebelah kiri makam Mira dan berseberangan denganku yang berada di sebelah kanan makam, dari sini ia bisa melihat tangisku. Aku mengepalkan tanganku erat hingga buku-buku jariku memutih. Rama benar-benar keterlaluan. Ia menanggap remeh perasaan orang lain.
“Memangnya siapa yang tiga tahun lalu memperkenalkan Mira sebagai kekasihnya kepadaku? Kamu harus tahu, Ram. Aku menyesal mencintai orang yang tidak menghargai perasaanku.” aku menatapnya sinis lalu melangkah pergi.
Setelah beberapa langkah, aku berhenti.
“Aku akan benar-benar pergi kali ini, Rama. Jaga dirimu, jangan sampai sakit. Mira, tolong lindungi ia.” Ucapku dalam hati. Aku tidak bisa berbohong, aku sangat mencintainya meski hanya luka yang terus ia torehkan.
Malam itu sesuai harapannya, Mira menemuinya setelah beberapa minggu tak pernah hadir dalam mimpinya.
“Ram, aku memang pulang lebih dulu. Maaf, jika aku meninggalkanmu. Tapi, aku menunggumu di sini. Aku masih sangat mencintaimu. Kamu tahu, Ram? Aku sangat sedih melihat hidupmu yang begitu hancur sepeninggalku. Aku merasa menjadi kekasih yang tidak baik. Rama, bersyukurlah karena masih diberikan Tuhan kehidupan. Hiduplah dengan baik. Cintailah orang lain yang juga mencintaimu, berbahagialah bersamanya, bentuklah sebuah keluarga. Tak apa, karena aku tahu bahwa aku tetap menjadi orang yang paling kamu cintai. Aku mungkin adalah bunga abadi yang tidak akan pernah terganti. Tapi, ada orang lain yang mencintaimu sebesar aku mencintaimu. Aku percayakan dirimu bersamanya.”
Rama terbangun dari mimpinya, ia termenung memikirkan mimpinya. Semua seperti nyata. “Orang lain? Mencintaiku?” gumamnya pelan. “Fya!”
Pagi-pagi sekali Rama sudah berangkat menuju rumah Fya. Rama tahu, ia begitu kejam pada orang yang telah tulus mencintainya. Ia sangat malu untuk meminta gadis itu menemani sisa hidupnya. Tapi, ia tidak ingin kehilangan lagi orang yang sangat mencintainya.
Setelah mengetuk pintu dengan tidak sabar. Akhirnya pintu rumah dibukakan oleh ibu Fya yang sudah dikenal baik oleh Rama.
“Eh, Rama. Tumben bertamu sepagi ini. ada apa?” Ucap ibunda Fya ramah, mungkin beliau tidak tahu apa yang telah dikatakan laki-laki yang ada di hadapannya ini kepada putrinya.
“Fya ada, Bun?” Ya, karena sudah lama saling mengenal. Rama pun ikut memanggil beliau dengan panggilan Bunda.
“Lho, memangnya Fya tidak bilang ke Rama kalau dia akan melanjutkan pendidikannya ke Amerika? Dia sudah berangkat tadi malam.” Rama kecewa, kecewa pada dirinya sendiri karena terlambat menyadari. Ah, tidak. Terlambat menghargai perasaan Fya padanya.
“Kapan Fya pulang, Bun?” ucapnya lesu
“Wah, Bunda kurang tahu. Dia hanya pamit untuk pergi. Tidak tahu kapan pulang.” Ucap Bunda yang heran dengan perubahan Rama yang datang dengan semangat tiba-tiba berubah seperti kehilangan tenaga.
“Ya, sudah. Aku pulang saja. Tolong hubungi Rama ketika Fya sudah pulang, ya Bun.” Bunda hanya mengangguk lalu tersenyum. Rama berjalan dengan lemas.
“Aku akan menunggumu, Fya. Meski harus selama kamu menungguku.” Gumam Rama.
Patah hati memang menyakitkan, terutama patah hati ditinggal untuk selamanya. Tapi, coba lihat sekelilingmu yang dipenuhi orang-orang yang menyayangimu dan mencintaimu sebesar kamu mencintai orang lain. Meski kamu mencintai orang lain, cobalah untuk menghargai perasaan mereka. Karena mereka sama sepertimu, sama-sama patah hati namun dengan kisah dan orang yang berbeda. Kamu patah hati karena orang lain, mereka patah hati karenamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar