Sabtu, 19 November 2016

Jooo, Samijo

“Joo…” suara mesra terdengar.
“Ya, Mi…” Jo menjawab sambil tetap menyantap pecel lele kesukaannya.
“Jo, kamu tahu. Mmm… sudah lama aku menaruh perhatian dan tertarik sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku, Jo?” suara lirih perempuan itu berbicara lagi.
“Hah!” Jo kaget mulut menganga dengan kepala lele yang dikunyah masih di mulutnya.
Jo jadi salah tingkah tidak bisa diam seolah ada seonggok “sesuatu” yang mengganjal di atas tempat duduknya.
“Bisa diulang lagi? Aku kurang jelas mendengar omonganmu tadi, Mi.” Jo meminta re-wind kalimat.
“Ah kamu mah, sudah lama aku menaruh perhatian dan tertarik sama kamu. Kamu mau jadi pacar aku, Jo?” nada bicara perempuan itu agak sedikit meninggi.
“Mmm… gimana ya, Mi. Aku itu sebenarnya sudah punya pacar, yaa cuma, pacarku itu sekarang masih di luar negeri.” Jo akhirnya menjawab curhat perempuan itu.
“Ya nggak apa-apa, Jo. Di sini kamu sama aku, dan kamu juga tetap ‘jalan’ sama pacar kamu itu.” Darmi menjawab di luar dugaan Jo. Jo melongo sejenak lalu sadar dan cepat-cepat mengeluarkan kepala lele dari mulutnya dan mengambil gelas minuman teh –yang rupanya masih panas–, dan meminumnya. Air teh itu dimuntahkannya lagi setelah mulutnya nggak tahan dengan panasnya air teh, seperti “panasnya” jawaban Darmi yang di luar dugaan.
Darmi yang periang, mandiri, berani dan suka bicara apa adanya. Dan Jo, lelaki cuek, apa adanya. Mereka berkenalan akibat saling pandang dalam satu supermarket. Jika lelaki dan lelaki saling pandang, biasanya berujung percekcokan, biasanya loh ya. Tapi jika lelaki dan perempuan saling pandang, biasanya berlanjut dengan jabat tangan (hehehe). Ya begitulah, setelah mereka berdua berjabat tangan, biasanya sang lelaki sedikit membuat “sensus” berupa pertanyaan-pertanyaan kecil –tapi bermanfaat– kepada sang perempuan, untuk kelangsungan perkenalan mereka. Yah, namanya juga lelaki. Setelah Jo selesai dengan “sensus”-nya, perkenalan mereka berdua berlanjut lebih akrab. Keakraban mereka berdua ya sampai sering janjian makan bareng di warung pecel pinggir jalan. Ditambah sedikit keberuntungan Jo yang kebetulan searah jalan dengan Darmi setiap kali hendak pulang dari tempat mereka bekerja. Mereka berdua tinggal di desa dan bekerja di satu kota besar yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah mereka.
“Joo…” Darmi merajuk, “gimana jawaban kamu?”
Jo berpikir beberapa saat, akhirnya. “Ya… di sana ya di sana. Di sini kamu sama aku.” jawab Jo.
Wajah Darmi berubah sumbringah. “Ayo kamu makan itu pecel lelenya.” Jo mengingatkan Darmi. Karena sejak tadi berbicara Darmi terlihat hanya mengaduk-aduk pecel lele tanpa sedikit pun ada daging lele yang masuk ke mulutnya.
“Ah… Mi sudah kenyang,” kata Darmi lalu melanjutkan, “kenyang karena sudah mendengar jawaban Mas Jo.” sambil menyodorkan piring nasi pecel lele ke hadapan Jo dengan sedikit senyum tertawa. “Nih Mas Jo yang makan aja.” Darmi mulai menambahi nama Jo dengan kata “Mas”. Sebagai tanda jadian.
“Hehehe, beneran nih?” Jo menggoda.
“Iya… beneran.” Darmi tak tergoda.
“Nggak nyesel?” Jo memastikan omongan Darmi sekali lagi.
“Nggak, baweeel. Makan… nanti keburu mengkeret lelenya.” jawab Darmi sambil senyum.

Sebenarnya apa yang ada di pikiran Jo saat “menerima -mengiyakan” permintaan Darmi untuk menjadi pacarnya? Mari kita coba masuk ke pikiran Jo dan bertanya langsung kepadanya.
Penanya bertanya, “Jo, apa kabar?”
Jo menjawab, “Baik sih, cuma agak sedikit gamang aja.”
“Gamang karena apa, kalau boleh tahu?” tanyanya lagi.
“Ya itu, kok ada ya perempuan model seperti si Darmi?” lanjut Jo.
“Maksudnya?” heran si penanya.
“Ya, kebanyakan, kan perempuan justru nggak mau di ‘dua-in’ –dimadu– sama laki-laki, tapi kok Darmi ini beda ya… apa pikirannya kesetrum pas dia nge-charge hp ya, jadi korslet terus koclak isinya. Ckckckck.” tukas Jo.
“Iya juga sih. Tapi apa yang bikin kamu mau ‘jadian’ sama Darmi, Jo?”
“Mmm… apa ya… mungkin saya ‘kesetrum’ Darmi. Maksudnya, saya ikut kepengaruh dan akhirnya berani mencoba menjadi petualang cinta –meski belum lolos training–”
“Wah, rupanya kamu sudah ter-koclak-an juga ya akibat keberanian Darmi ‘nembak’ kamu duluan.”
“Mmm… sepertinya begitu.”
“Lalu gimana kamu dengan pacar kamu yang sedang di luar negeri?”
“Iya ya, gimana ya? Ada saran?”
“Jo… Jo, bener-bener koclak kamu Jo. Meneketehe (mana ku tahu)!”

Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil si Jo.
“Joooooo!!!” suara itu berteriak.
“Di mana kamu, Joooo…” semakin keras suara itu berteriak.
Lalu terdengar suara benda jatuh –lebih mirip seperti suara nangka mateng jatuh–, GEDEBUK! Si Jo terkaget-kaget hingga jatuh dari kursi di mana ia ketiduran siang ini karena cuaca yang mendukung untuk terlelap dan… ler. Sambil bangun tergopoh-gopoh dan menyeka “camilan lelap” (iler), Jo menjawab teriakan itu.
“Iya Miiii… ini Jo,” membalas teriakan suara, “ada apa Mi?”
“Itu ada tamu ketuk-ketuk pintu, coba tolong dibuka.” Mami menyuruh (Jo agak sedikit “kota” dalam bahasa panggilan “mami” untuk si Mbok meski tinggal di desa) Jo. Lalu Jo berjalan menuju pintu depan ruang tamu, membuka pintu dan perlahan dan mengangkat kepala melihat siapakah gerangan tamu itu. Dan…
“Mas Samijo.” seorang perempuan tersenyum manis setelah pintu terbuka.
Mata Samijo terbelalak dan berkata, “Juminten.” Lalu mereka berdua berpelukan melepas kangen. Saat berpelukan itu, Samijo membatin, “Hmm… untung cuma mimpi di siang bolong ‘jadian’ dengan Darmi.” Ya, Darmi –meski si Jo nggak tahu namanya, perempuan yang hanya sempat saling bertukar pandang ketika mereka kemarin berpapasan di supermarket.
Penanya bertanya, “Lalu Juminten itu siapa, Jo?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar