Sabtu, 19 November 2016

Masalah Sharmay

Matanya menjelajahi seisi rumah itu. Asri banget, pikir gadis yang tengah menunggu si empunya rumah. Ini pertama kali bagi Sharmay -anak kampung baru merantau ke kota- menduduki sofa empuk (kasihan banget ya?) di kediaman seorang ustadz yang baru dikenalnya beberapa pekan lalu saat mengikuti pengajian. Namanya Ustadz Boerhan Ibrahim. Jika Alm. Ustadz Jeffri populer dengan singkatan UJ-nya, maka Ustadz Boerhan Ibrahim ini terkenal dengan … (pembaca isi sendiri. Gak tega pencerita nulis UBI–eh…).
“Assalamualaikum!” Sesosok pria yang entah berapa umurnya datang menyapa Sharmay. “Maaf menunggu lama, Dek.”
Kaus putih dan sarung membalut tubuh pria itu. Tak lupa peci putih pun bertengger menutupi rambutnya yang sedikit beruban. Sharmay berdiri menyambut orang yang ditunggunya.
“Waalaikumussalam, Ustadz. Ah, nggak apa-apa, kok.” Seulas senyum membingkai wajah sang gadis berjilbab.
“Ada perlu apa, Dek?” Tanya sang Ustadz. Tidak biasanya ada remaja perempuan bertamu, mungkinkah dia meminta jodoh? Atau mungkin … dia ingin menjadikan aku jodohnya? (diprotes pembaca) Ralat. Menjadikan aku mertuanya? Pertanyaan-pertanyaan terus berseliweran di benak Ustadz Boerhan.
“Oya, nama saya bukan Dek, Ustadz. Panggil saja saya Sharmay.” Sejenak tercengang, lalu berkata, “Oh, itu taktik agar saya tidak usah bertanya siapa nama–”
“Sharmay, Ustadz!” potong Sharmay cepat.
“Hadeuuh…. Iya, saya tahu!” Ustadz Boerhan membuang napas, agak kesal. Gue emang udah berumur, tapi gak telmi juga, batinnya. (#pisss)
“Ada yang ingin saya tanyakan. Sebelumnya dua hari yang lalu saya ke sini, tapi katanya Ustadz sedang ke luar kota.” Gadis berjilbab itu mengutarakan maksudnya.
“Iya, semalam saya baru pulang, lalu istri menyampaikan ada gadis yang ingin bertemu saya. Memangnya apa yang ingin Sharmay tanyakan?”
“Begini ceritanya…” Mata Sharmay menerawang ke atas seolah menyaksikan cuplikan kisah yang diputar oleh memorinya. Pandangan Ustadz Boerhan latah mengikuti tingkah sang tamu.

Firasatku buruk! Sepertinya keberangkatan ke tempat perantauan tertunda beberapa jam karena kakakku kedatangan tamu dari jauh, katanya teman seprofesi. “May, keberangkatan kamu ditunda sampai teman Kakak pulang, ya, kasihan dia jauh-jauh ke mari. Hanya sebentar, kok. Jangan khawatir, nanti Kakak anterin kamu.” Kabar yang dibawanya cukup membuat hatiku dongkol. Aku terdiam di dapur, tiba-tiba kakak datang kembali, “Buatkan kopi Kereta Api dua!”
“Persediaan cuma ada satu lagi, Kak!” seruku sambil membuka lemari tempat menyimpan stok kopi sachetan [?].
“Ya sudah, buat satu saja untuk tamu,” tandasnya, lalu melenggang pergi ke ruang tamu. Kopi untuk tamu pun ku seduh. Saat akan mengaduknya, aku lupa belum membawa sendok. Padahal hanya sebentar kopi itu ditinggal. Ketika aku kembali, ada seekor cicak yang tercebur ke dalam gelas kopi! “Hei, cicak apa kau masih hidup?” tanyaku. Tak ada jawaban. Sepertinya cicak itu tewas seketika karena tak tahan berenang dalam air panas.

“Sebentar…,” Ustadz Boerhan menjeda kisah Sharmay. “Masa Sharmay nanya begitu sama cicak? Kenyataannya itu?” Kedua alisnya saling bertaut, heran.
“Nggak sih, biar agak keren ceritanya dikasih bumbu fiksi. Hehehe…” Pipi Sharmay bersemu merah dan terkekeh sumbang mendapati bola mata pria di hadapannya berputar malas.
Keren apanya? Ustadz Boerhan menggerutu dalam hati. “Lanjut ya?” Sang Ustadz mengiyakan.

Menyadari cicak malang tewas dalam kopi panas, segera ku evakuasi mayat itu dengan sendok, lantas berlari ke luar untuk memandikan, menyolatkan, dan menguburnya. Bohong! Aslinya langsung dibuang ke kolam belakang rumah. Saat kembali ke dapur, di meja ada keranjang belanjaan, itu artinya istri kakak sudah pulang dari pasar. Tapi … dimana gelas itu? Tadi di atas meja. Lenyap ke mana? Tak lama wanita yang dinikahi oleh kakakku datang dari ruang tamu membawa nampan. Celaka! “Kakak, gelas berisi kopi yang tadi di sini ke mana? Apa Kakak membawanya ke depan?” Dengan tempo amat cepat aku menghujaninya dengan pertanyaan, saking panik. Entah kaget atau apalah, istri kakak hanya menjawab dengan anggukan saja. Tapi, dari tatapannya meminta penjelasan, ‘Kenapa memang?’ Kedua tanganku membekap mulut yang menganga. Aku tak percaya ini! Sampai tamu itu pulang, aku tak berani ke luar kamar. Syok!

“Makanya kemarin sepulang dari kampung, sorenya saya langsung ke rumah Ustadz, mengabaikan rasa lelah demi menanyakan hukum kopi itu. Halal atau haram, Ustadz?”
“Hmm…,” tangan kiri sang Ustadz memainkan jenggotnya sembari memejamkan mata. Memang Ustadz Boerhan ini ketika mengisi pengajian sering membahas persoalan yang berkaitan dengan ilmu Fiqih. Maka dari itu Sharmay menemuinya.
“Hukumnya bisa halal bisa haram,” lanjutnya.
“Loh, itu bangkai kecebur ke dalam kopi, Ustadz! Kok bisa halal?”
“Bisa, walaupun terkena bangkai. Asal bangkainya itu sejenis hewan yang tidak mengalir darah banyak ketika sebagian tubuhnya dilukai. Seperti cicak, lalat, lebah, semut dan semacamnya. Kalau kopi itu kecebur bangkai ayam jadi haram, sebab ayam adalah jenis hewan yang ketika dilukai darahnya akan keluar banyak,” papar Ustadz Boerhan.
“Oh … saya mengerti, tapi kalau ayam kecebur ke dalam gelas sepertinya mustahil, Ustadz!” Sharmay protes, “Mana ada! Gak muat!” Lagi, Ustadz memutar bola matanya malas dan membatin, hadeuuh!
“Ya … misalkan! Bukan air kopi saja, pokoknya setiap air yang kurang dari dua qullah: mau seember, sebaskom ketika kejatuhi bangkai ayam atau hewan semacamnya menjadi najis dan haram diminum, apalagi dipakai bersuci.” Begitu seriusnya Sharmay memerhatikan penjelasan dari pria itu. Entah benar-benar paham atau … entahlah! Pencerita juga bingung.
“Kalau begitu, kasus cerita dari kopi saya itu tidak najis dan boleh diminum, ya, Ustadz Boerhan?”
“Betul, tapi dengan syarat air kopi itu rasa, warna, dan aromanya tidak berubah, Sharmay,” tambahnya.
“Ng… kalau aroma … waktu itu masih khas kopi, warna tetap hitam pekat. Nah, kalau rasa saya nggak nyoba. Terlanjur dihidangkan. Kalaupun belum dihidangkan, saya mana mau nyicipin air yang tercebur bangkai cicak. Hueekk!!” Tubuh Sharmay bergidik jijik membayangkan dirinya meminum kopi itu.
“Satu lagi, bangkai cicak itu tercebur bukan perbuatan manusia secara sengaja,” Ustadz Boerhan mengambil napas sejenak, lalu, “meski kopi itu tidak berubah warna, rasa dan aromanya, kalau sengaja tetap najis, haram diminum.”
Sharmay termenung. Ustadz Boerhan mengamatinya dan bergumam, anak ini terlihat lebih baik kalau diam daripada berbicara dan memotong ucapanku. Aku harus memakluminya, dia kan masih remaja labil. “Sudahlah, yang lalu biarlah lalu, Sharmay. Mudah-mudahan rasanya pun tak berubah walau bangkai cicak pernah berenang di dalamnya.”
“Semoga saja. Kalau tamu itu tahu pernah ada cicak tercebur dalam kopi yang diminumnya, saya tak sanggup melihat mimik wajahnya.” Sharmay dan Ustadz Boerhan tertawa berbarengan.
Hening sejenak. Sharmay memulai kembali pembicaraan, “Kalau boleh tahu, Ustad ke luar kota ngisi ceramah ya?”
“Nggak, saya silaturahmi ke beberapa teman sesama penulis, ke Jakarta, Bogor, Cianjur, dan terakhir ke Banjar, di sana paling lama. Eh, sebelum singgah di Banjar saya ke Italy dulu,” katanya dengan mata menerawang mengingat perjalanan yang cukup melelahkan, namun menyenangkan.
“Hebat!” Sharmay berdecak kagum, “Ustad silaturahmi ke Italy!”
“Indonesia bagian Tasikmalaya maksudnya.” Sang Ustadz terkekeh.
“Dua hari yang lalu saya baru pulang dari Tasik juga, Ustadz! Tepatnya dari rumah Kakak saya.” Perasaan bahagia mencuat dalam dada, ternyata orang yang dia kenal pernah singgah di kota kelahirannya.
“Sayangnya di Italy hanya sebentar, karena teman saya hendak pergi ke terminal. Tapi, saya bersyukur dapat buku karyanya berjudul NEGERI PENCURI PARFUM.” Ustadz Boerhan menyeringai. Sedangkan lawan bicaranya menampilkan ekspresi wajah yang sulit diterjemahkan. “Kenapa Sharmay?”
“I-itu judulnya seperti novel milik Kakak saya, Ustadz, namanya Bangmo Muhammad Ridwan!”
“Jadi.. kopi itu…??” Ustadz Boerhan permisi untuk pergi ke belakang.
Sharmay bergeming, matanya tak berkedip beberapa detik. Apakah pikirannya tak salah menyimpulkan. Sharmay pun mengikuti sang Ustadz karena masih ada yang mengganjal dalam benaknya. “Hueeekkk…. Hueeeekkk!” Duh Gusti, lebih baik aku tidak tahu kalau kopi yang kuminum tercebur cicak mati. Batin Ustadz Boerhan menjerit.
Dengan polos Sharmay bertanya, “Ustadz, waktu itu rasa kopinya gimana?”
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar