Jumat, 18 November 2016

Peringkat 1 Part 2


Hari Minggu.
Tidak ada hari yang lebih baik selain hari minggu yang cerah di musim penghujan. Sebuah pemandangan biru terhampar luas di atas kepalaku. Awan-awan saling menunjukkan bentuk pola terbaiknya. Kurasakan kehangatan matahari sampai menembus Tulang rusuk ku. Kalau dipikir-pikir, dimanakah ujung dari langit ini berada?
Kuikuti setiap langkah dari gadis yang ada di depanku ini. Kusamakan ritme langkah kakiku dengan langkahnya. Angin laut bertiup ketika aku berjalan di belakangnya. Gadis ini memakai kemeja ungu berlengan pendek. Dua hal yang tak pernah kubayangkan dilakukannnya sekarang. Sebuah bando berpita biru terpasang manis di atas rambut hitam pendeknya dan rok cream berumbai selututnya seakan menari di dalam penglihatanku. Tas anyaman kecil yang tergantung di atas bahu kurusnya menambahkan kesan girly pada dirinya. Gadis yang selama ini kukenal seakan bertransformasi menjadi Makhluk indah dari planet lain.
“Hey wiki kemana kita pergi selanjutnya?” Tiba-tiba gadis ini menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku. Roknya berputar layaknya sebuah tarian Waltz.
Sudah 4 jam aku dan mila berada di taman hiburan ini. Mulai dari wahana Komedi putar, Mini Roller coaster, Giant swing, Rumah hantu dan wahana lain yang aku lupa namanya sudah kami coba satu-satu.Terakhir kali aku kesini mungkin saat aku kelas enam SD dengan kedua orangtuaku dulu.
Taman hiburan ini berada di daerah pinggiran pantai dekat mercusuar peninggalan Belanda. Perjalanan dari rumahku ke tempat ini jika menggunakan kendaraaan kira-kira menempuh waktu 1 jam. Di daerahku. Tempat ini sudah menjadi Ikon andalan untuk menarik wisatawan luar daerah datang kesini.
“Mungkin lebih baik kita mengunjungi wahana Pacific world atau Forest land.” Ucapku.
“Ah!” Dengan menaikkan suaranya, dia menunjuk ke arah biang lala raksasa yang letaknya tidak jauh dari posisi kami
Tanpa menghiraukan pendapatku. Dia menarik lengan jaket sweaterku dan berjalan menuju kesana. Aku seperti seekor anjing saja yang menurut kemana sang majikan menyuruhku.
Setelah membeli tiket, Kami naik ke atas pijakan dan menunggu kabin kami tiba. Kira-kira tinggi biang lala ini setinggi 50 meter. Ini adalah pertama kalinya bagiku naik sebuah biang lala sebesar ini. Perasaan gugup sekarang menyelimuti tubuhku.
Dan kemudian, horor pun dimulai.
“Menyeramkan..” aku mengatakannya dengan spontan.
Tetapi, aku hanya mengatakannya dengan suara yang kecil. Seorang pria sejati tidak akan ketakutan di hadapan seorang gadis. Ngomong-ngomong sekarang aku duduk bersebelahan dengan Mila. Dia duduk di sebelah kiriku. Hmm.. dia wangi.
“Whoaa, tingginya..! Wik, lihat! lautnya terasa lebih jelas kalau dilihat dari sini. Hey, lihat-lihat, mercusuarnya terlihat lebih kecil ya!”
Dia mendekati jendela di sampingku dan menempelkan tangan kirinya di depan kaca jendela. Wajah mila kini super dekat denganku. Ketika dia sibuk memperhatikan laut dan mercusuarnya. Aku disini hanya terpaku dan terperangah melihat wajahnya dari sudut pandang yang belum pernah aku tahu sebelumnya.
“Wik, kamu tahu enggak?”
Ketika dia membalikkan kepalanya ke arahku. Wajahnya dan wajahku hampir bersentuhan.
“…”
Mata kita sekarang saling bertemu satu sama lain. Kita berdua terdiam di posisi tersebut. Untuk sejenak kukira aku akan diitampar olehnya. Aku lalu berpura-pura melihat ke arah jendela. Sial, aku ketahuan..
“… ahhh benar, lautnya terlihat indah.”
“Benarkan..”
Aku merespon pertanyaannya yang tadi untuk basa-basi agar suasananya tidak awkward. Aku pun membetulkan posisi dudukku. Mila juga kembali ke posisi semula dan pandangan matanya mengarah ke arah lain. Kita seakan-akan tidak bisa menatap mata satu sama lain saat ini.
Di saat situasi yang dag-dig-dug seperti ini. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang ingin kutanyakan sejak tiba di taman hiburan ini. Apa tidak apa-apa ya menanyakannya sekarang? Aku mengumpulkan sedikit keberanianku yang tersisa. Aku membuka mulutku dengan perlahan.
“Mila, kenapa kamu mengajak ku kencan kesini?”
“Emangnya.. gak boleh.” Dia mengatakanya dengan ekspresi malu-malu. Suasananya jadi tambah aneh.
“Bukan begitu, maksudnya apa kamu gak masalah jalan berdua denganku? Maksudku, apa kamu gak masalah Jika ada orang lain yang melihat kita berkencan?”
Mendengar dia menjawab dengan ekspresi seperti itu membuatku tambah gugup dalam merespon jawabannya.
“jadi, kamu malu jalan-jalan berdua sama aku” suaranya tiba-tiba meninggi
“Tidak, bu..bukan begitu, kamu tahu kan orang-orang kadang suka menyebarkan gossip yang tidak-tidak.”
Mendengar suaranya meninggi begitu. Aku tiba-tiba panik. Pikiranku mulai kacau..
“jadi, Kamu gak senang aku ajak kencan”. Nada suaranya terasa lebih keras
“Salah, kamu tahu kan. Aku ini orangnya pernah ditolak gadis sebanyak 10 kali. Kamu tahu kan akibatnya jalan berduaan denganku”
Keringat dingin sudah bercucuran dari diriku. Aku tidak bisa berpikir dengan normal lagi.
“oh.. gitu ya. Kamu takut ketahuan sama cewek-cewek incaran kamu ya, kalau kita jalan berdua”
Aaaahhh.. kenapa yang dia tangkap berbeda dengan yang kumaksud?
“Bu.. bukan, begitu. Kamu kan cewek. Kamu gak takut apa kalau tiba-tiba cowok yang kamu suka ngeliat kita lagi berduaan seperti ini.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ku ini terasa tidak disaring dulu lewat otak tapi langsung keluar dari mulut. Otakku seakan mengalami crush di dalamnya.
Teett… Pintu kabin terbuka. Tak kusangka waktu bermain di biang lala ini sudah habis. Ternyata kekacauan tadi menguras banyak waktu. Selain waktu, Tenaga, PIkiran, dan keringatku juga tersedot habis dibuatnya.
“Bodoh… Aku mau pulang”
Tanpa kusangka matanya sudah dipenuhi dengan air mata sekarang. Pipinya sekarang basah oleh air matanya sendiri. Yang sekarang kurasakan adalah tatapan kekesalannya seakan menusukku dengan tajam. Dia berdiri, lalu berbalik arah dariku. Mila ke luar dari kabin. Dia pergi berlari meninggalkanku di dalam kabin sendirian.
Aku bodoh.. Apa yang kulakukan? sekarang aku malah membuat seorang gadis menangis.
“Hey, bagaimana dengan Pacific World sama Forest Land-nya!” Kataku dengan suara yang keras mencoba untuk menahannya pergi.
“Pergi aja Sendiri” Dia membalasnya tanpa menengok ke arahku dan terus berlari.
“Hey.. tunggu!” Aku keluar dari kabin mencoba untuk mengejarnya.
Astaga.. kenapa jadi seperti ini? Situasi yang awkward seperti tadi. kenapa berubah menjadi acara isak tangis begini? Rasanya aku ingin ikutan menangis juga.
Kejadian seperti ini, mirip sekali dengan adegan pada drama percintaan remaja murahan yang ditayangkan di televisi. Seharusnya saat ini aku menjadi tokoh utama laki-laki. Dimana sang tokoh utama laki-laki mengejar sang tokoh utama wanita. Kemudian memegang tangannya dan menjelaskan yang sebenarnya.
Tapi aku bukanlah sang tokoh utama laki-laki tersebut. Aku bukanlah seorang ksatria yang mengalahkan sang naga. Aku juga bukanlah seorang pangeran yang menunggangi kuda putihya. Orang yang melakukannya seharusnya adalah orang yang tampan dan berasal dari keluarga terpandang atau setidaknya pria yang baik kepada gadis-gadis dan memiliki janji kepada seorang gadis manis semasa kecil. Sayangnya, aku tidak memiliki ciri-ciri protagonis seperti tadi.
Meski begitu, pastinya ada satu alasan kenapa aku harus melakukannya. Kenapa aku harus melakukan adegan klise tersebut? Hanya ada satu. Meski aneh, tapi itulah alasannya.
Karena..
Aku menyukainya..
Aku tarik nafasku dalam-dalam. Ku naikkan bahuku untuk mencoba meneriakkan.
“MILA.. MENIKAHLAH DENGANKU!!”
Aku ini memang bodoh. Oleh karena kebodohanku itulah tidak akan kubiarkan kesempatan ini terbuang sia-sia. Orang-orang yang berjalan lalu lalang di sekitarku seketika terhenti. Untuk beberapa saat aku menjadi pusat perhatian dari orang-orang. Meskipun yang kulakukan tadi membuatku malu setengah mati. Aku tidak peduli. Itu adalah sebuah harga yang harus kubayar atas kebodohanku selama ini. Aku harap teriakanku tadi bisa sampai ke hatinya.
Langkah kakinya terhenti.
Mila berbalik ke arahku. Dia berjalan ke arahku dengan langkahnya semakin cepat. Apa berhasil? Kurasa sebuah pelukan yang manis akan membayar atas usahaku tadi.
Duaakkk!!!!… bruaakkk!!
Aku terpelanting jauh dari tempatku berdiri tadi. Kali ini sebuah pukulan roket berhasil mendarat di bawah pelipis mata dariku. Aku terkapar di atas tanah sekali lagi. Jujur, aku tidak bisa mengetahui perbedaan antara hidup dan mati sekarang. Sebenarnya, apa sih yang terjadi barusan?
Aku membuka mataku dengan perlahan. Mata kiriku terasa sakit dan perih. Kulihat langit sekarang berwarna orange keemasan. Ternyata hari sudah berganti menjadi sore hari. Apa aku ketiduran tadi? Aku masih mencoba mengingat kembali tentang kejadian sebelumnya. Tetapi, ingatan yang kudapat masih terasa samar.
“Syukurlah.. kamu sudah bangun sekarang.” Terdengar suara gadis yang familiar di telingaku
Aku mencoba untuk bangun dan mengangkat tubuhku. Sebuah tangan berusaha mendorong dan membantuku untuk membuatku bisa duduk dengan baik. Akhirnya, aku berhasil juga duduk dengan posisi yang benar. Aku sekarang duduk di atas bangku kayu panjang dan sebuah pemandangan laut berwarna merah terpampang jelas di depan mataku. Kulihat ada seorang gadis duduk di samping kananku. Apa aku tertidur di atas pahanya tadi?
Aku menatap wajahnya dengan seksama. Butuh 5 detik bagiku untuk bisa mengenali wajah gadis ini. Butuh 5 detik lagi bagiku untuk mengingat kembali tempat aku berada. Tambahan 10 detik lagi bagiku untuk mengingat kembali tentang apa yang terjadi sebenarnya. Totalnya, butuh 20 detik bagiku untuk mengetahui fakta bahwa gadis sialan ini memukul wajahku sampai pingsan.
“Hey, Mila.. Kenapa kamu memukul wajahku tadi?” Protesku.
Mila malah terdiam. Kemudian bibirnya bergerak untuk beberapa saat.
“Wik, Bisa kamu ucapkan lagi pernyataan yang barusan kamu ucapkan di depan biang lala tadi.” Bukannya menjawab pertanyaan ku tadi, dia malah balik bertanya.
Sebentar. Apa sih maksudnya tadi? Pernyataan.. di depan.. Biang lala…
Aku ingat. Apa karena itu jadi dia memukulku barusan? Tidak, Seharusnya tadi aku menembaknya bukan melamarnya. Sekarang malah aku yang dibuat malu olehnya. Wajah ku kini memerah sejadi-jadinya seperti buah plum yang baru masak. Aku memutar otakku untuk mencari-cari alasan yang bagus.
Aku berpikir.
“…Alasan.” Gumamku.
Ah..Alasan. kata ‘alasan’ membuatku memicu untuk mengingat momen yang terjadi tadi malam. Alasan aku berada di sini. Alasan kenapa aku mau berkencan dengannya. Alasan kenapa tadi aku melamarnya barusan. Mungkin itu jawaban yang sebenarnya.
Aku mengambil secarik kertas yang terlipat dari dalam kantong celanaku. Lalu aku berikan kertas tadi kepada Mila.
“Apa ini?” Wajahnya keheranan dan seperti ada sebuah lambang tanda tanya besar di atas kepalannya.
“Baca saja.”
Dia membukanya. Lalu, melihatnya dengan teliti dan seksama. Dia bolak-balik kertas barusan. Sebuah ekspresi kesal terlihat dari raut wajahnya. Kemudian..
“Apa maksudnya ini?”
“Itu adalah tabel peringkat klasemen 20 gadis tercantik dan termanis di sekolah. Selama ini aku selalu berbohong kepada diriku sendiri. Aku dari dulu selalu menyukaimu, bahkan sejak kita SD. Tapi, aku takut. Aku takut dengan apa yang kurasakan ini. Aku takut perasaan yang kupunya ini akan merusak hubungan yang sudah kita bangun selama ini. Selama ini aku selalu takut melewati garis batas yang kita buat. Aku bukanlah orang yang punya keberanian tuk melewati batas itu…”
Aku berhenti sejenak. Aku pilih kata-kata terbaik agar maksud dan tujuanku bisa tersampaikan padanya
“Mungkin. Mungkin alasan aku ditolak oleh para gadis selama ini adalah aku sebenarnya tidak benar-benar menyukai mereka. Aku berpura-pura menyukai mereka agar aku bisa melupakan fakta betapa besarnya aku menyukai dirimu. Aku lari dari kenyataan dan menciptakan ilusiku sendiri. Jadi, jika kamu mau memukulku. Pukullah aku sekarang.”
“jadi, Itu sebabnya. Kenapa nama Mila Aristi berada di Peringkat 1.” Ucapnya.
Aku mengangguk kecil.
“Sejak awal tabel itu dibuat nama Mila Aristi selalu berada di peringkat 1.” Tambahku.
Duk!
Dia benar-benar memukulku. Tapi, pukulannya tadi tidak bisa disebut dengan pukulan. Dia hanya mendorong tangannya dengan sedikit tenaga. Kepalan tangannya sekarang ditempelkan pada dada kiriku, lebih tepatnya ke arah jantungku. Wajahnya yang merah merona kini menatapku. Sekarang malah aku yang tidak bisa menatap wajahnya.
“Garis batas yang kita buat sudah aku hancurkan. Sekarang kamu bisa mengatakan pernyataan yang tadi sekali lagi.”
Aku terhenyak sejenak. Apa ini yang selama ini kucari? Tidak ada gunanya berpikir lagi. Bibirku sudah terbuka dan mengatakan…
“Ya.”

Langit orange-keemasan berubah warna menjadi merah. Warna merah ini layaknya api yang menyala dan menghanguskan atap-atap langit. Cahaya matahari yang lembut seakan membimbing kami di jalan yang terasa sepi. Kerlap-kerlip bintang terlihat jelas dari sini tidak seperti malam sebelumya. Terpaan angin laut seakan menari-nari di sekeliling kami. Langkah demi langkah telah kami telusuri. Ketika kedua mata kami bertemu. Genggaman tangan kami terasa lebih kuat dari sebelumnya.
“Wik, Bukankah anak SMA seharusnya tidak boleh menikah di usia seperti ini?”
“Memang tidak boleh. Mungkin aku akan menikahimu di usia 40 atau 50 tahun-an.” Candaku.
“Apa kamu tidak jera aku pukul tadi” Dengan raut muka kesalnya dia menjawabku. Sekarang level keimutan wajahnya naik derastis.
Aku tertawa.
Sekarang lembaran baru masa muda kami sudah terbuka. Tugasku yang sekarang adalah mewarnainya dan memberikan arti pada setiap langkah perjalanan kami. Perasaanya, seyumannya, tawanya dan kebahagiaannya kini menjadi sebuah tanggung jawab yang harus kujaga.
“Mil, Ngomong-ngomong yang tadi itu keras banget pukulannya tahu. Apa kamu mau bunuh aku tadi? Atau yang tadi itu namanya adalah pukulan kasih sayang.”
“100 untukmu. Itu pukulan kasih sayang dariku untuk dirimu.” Dia tersenyum manis. Lalu, dia melepaskan pegangan tanganya dan melangkah lebih cepat dari aku. Kini, jarak dia dan aku sekitar 3 langkah di depan.
“Apa yang kemarin juga pukulan Kasih sayang”
“Tentu saja!” Dia berputah arah dan tersenyum mengejek ke arahku. Dia lalu berlari sambil tertawa kegirangan menjauhiku.
Sialan gadis ini. Aku melihat wajahnya. Aku mendengar suaranya. Aku menyentuh kulitnya. Aku berbicara dengannya. Aku merasakan pukulannya. Dan begitulah aku jatuh cinta kepadanya.
Seperti itulah cerita kami berdua.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar