Bu Fellin berdiri di depan kelas, “Selamat pagi Anak-anak!” Murid-murid menjawab, “Selamat pagi Bu!” Seisi ruangan kelas X-A duduk manis menantikan pelajaran pertama hari ini.
“Satria, maju ke depan! Tolong hapus papan tulisnya, sebelum kita mulai berdoa!” perintah Bu Fellin. Satria berdiri, dia melangkah ke depan. Aneh… Tiba-tiba saja seluruh penghuni kelas tertawa terbahak-bahak. Bahkan ada yang sampai gulung-gulung plus jumpalitan sambil sesekali ngegebrak meja.
Satria tetap cuek donal bebek dan menghapus papan tulis di depannya. Masa bodoh, pikirnya. Bu Fellin jadi heran melihat semua muridnya ramai dan terkekeh-kekeh mirip suarana Pasar Rebo. Bu Fellin menatap punggung Satria. Ah! Ternyata di punggung Satria telah ada sehelai kertas yang direkatkan dengan plester, bertuliskan ‘Jones (Jomblo Ngenes)’ dengan huruf kapital semua. Hurufnya besar banget. Bu Fellin mengambil kertas tersebut. Satria tersipu malu kupu-kupu berpipi semu merah jambu. “Siapa yang menempelkan kertas ini di punggung Satria?” Tanya Bu Fellin pada Murid-muridnya. Semua terdiam. Hening. Sunyi. Senyap, tak ada yang bersuara dan tak ada yang bergerak.
—
Jam empat sore di perempatan jalan komplek perumahan sederhana, nampak sesosok makhluk imut sedang berdiri acuh tak acuh. Seorang cowok. Senyumnya ditebar ke mana-mana. Baunya wangi. Terlihat jelas kalau dirinya barusan mandi. Cowok itu memakai sepatu sport warna hijau muda bergaris putih. Memakai celana jeans merek terkenal warna biru tua. Serta mengenakan kaus putih bertuliskan ‘Cerpenmu Dot Com’ di dadanya. Sesekali dia membusungkan dadanya agar tulisan itu terlihat. Nama cowok keren itu adalah Satria (ini lagi, ini lagi! Yang lain napa?).
Lalu melintaslah Nuri bersama motornya, cewek manis teman satu kelasnya. Dia berhenti tepat di depan Satria, “Bro! tumben dandan rapi banget? Lagi usaha ya? Biar gak jadi Jones… Hahaha.” sapa Nuri mirip burung Nuri kalau sedang berkicau. Satria cuek, tapi kali ini bukan cuek bebek, tetapi cuek wayang golek. Noleng ke kiri noleng ke kanan sambil bersiul-siul tapi gak ada suaranya. Belum sempat Satria menjawab, Nuri sudah berpamitan, “Aku mau belanja dulu ke toko grosir, disuruh Mama! Da daaa Jones!” Teriak Nuri lalu cabut pergi bersama motornya. Nuri tidak sadar, dompet yang di genggamnya jatuh. Satria mengetahuinya, lalu mengambil dompet tersebut. Dan berlari mengejar Nuri. Terjadilah kejar-kejaran.
‘Apaan sih? Satria naksir aku ya?’ pikir Nuri ketika tahu dari balik kaca spion Satria lari mengejarnya. Nuri tancap gaspol. “Nuriiii!! Tungguuu!” Teriak Satria yang berlari-lari mengejar sambil melambai-lambaikan tangannya (mirip uji nyali salah satu acara ditelevisi). Nuri berhenti. Satria hampir sampai. Tapi Nuri cabut pergi lagi. “Apaan sih? Aku terburu-buru disuruh mama belanja tauuu!” Nuri tancap gaspol lagi. Hingga gasnya tak tersisa. Satria yang hampir saja sampai padanya menjadi jauh lagi jaraknya.
“Wooyyy! Burung jeleekk… Dompetmu jatuh nih!” Teriak Satria keras banget sambil mencontongkan kedua telapak tangan di mulutnya, sembari terus berlari mengejar Nuri. Akhirnya Nuri benar-benar berhenti. Satria terus menghampiri, hosh, hosh, hosh suara napas Satria mirip suara angsa yang ketemu jodohnya. “Nih, dompetmu jatuh! Entar kamu pake apa kalau belanja gak bawa dompet.” Jelas Satria mirip dosen akuntansi. Oh So Sweet! Satria menyodorkan dompet itu. Nuri kaget dan menerimanya. “Makasih ya! Maaf aku terburu-buru nih. Da daaa Jones hahaha!” Teriak Nuri lalu tancap gas dan menghilang di antara kendaraan-kendaraan yang lain. Satria masih konsentrasi pada napasnya yang naik turun seperti lift di Mall Indonesia. Dia balik badan untuk melihat tempatnya semula berdiri. What? Ada nih sekitar dua ratus meter. Satria berjalan lunglai kembali ke perempatan. Jalannya pelan banget seperti seekor kura-kura. (Bantuin dong! Digendong kek!)
Satria kembali berdiri bagai patung pahlawan di perempatan jalan. Semenit kemudian berhentilah sebuah mobil sedan jadul buatan tahun 90-an. Warnanya biru metalik. Kelihatannya mobil tersebut sedang mogok. Ternyata pemilik mobil itu adalah Nazwa, teman sekelasnya juga. “Hai Nazwa, ada apa?” Tanya Satria sambil membusungkan dada agar tulisan di kausnya bisa terbaca. “Mobilku mogok nih, tolongin dong!” kata gadis cantik berkacamata tersebut. Singkat cerita, Satria mengajak dua sahabatnya Edo dan Hasan untuk mendorong mobil tersebut. Mereka bertiga sudah berdiri di belakang mobil.
“Semua siap!” perintah Satria, “Satu, dua, tiga!” Mereka bertiga mendorong mobil tersebut. Nazwa menstarter mobilnya. Drumm, drumm, dum dum, asap hitam pekat keluar dari knalpot dan menerpa wajah ketiga pemuda SMA Masa Depan itu. Tap!! Tapi mobil itu kembali mati. “Ulangi dong!” teriak Nazwa dari balik kemudi. “Ayo-ayo,, satu dua tiga hiyaaa!” Mereka bertiga mendorong dengan sekuat tenaga, drumm, drumm, dum dum, asap kembali mengepul dan kali ini lebih hitam dan lebih pekat. Uhuk uhuk. Mereka batuk. “Makasih ya teman-teman! Da daa…” Teriak Nazwa dari dalam mobil dan melaju zig zag meninggalkan ketiganya.
Sampai tiba di rumah, Satria dihentikan Bu Ratna di depan pintu.
“Kamu siapa ya?” tanya Bu Ratna.
“Saya Satria, Bu!” Jawabnya.
“Perasaan anak Ibu itu kulitnya putih, tapi kamu kok hitam legam mirip Mike Tyson gini?” kata Bu Ratna lalu meraih telinga putranya, dan dijewer.
“Cepat mandi!” Auh! (Kamu mau? Sini!)
—
Malam ini Satria termenung di kamarnya, pikirannya melambung tinggi ke angkasa, seperti balon-balon yang lepas dari genggaman tangan dan hinggap di kaki langit. Tok tok tok, suara pintu depan rumah terdengar diketuk orang. Satria beranjak membukakan pintu.
“Vania? Ada apa?” Tanya Satria.
“Malam, aku ingin belajar bersama di rumahmu.” Jawab Vania.
“Silahkan masuk! Kamu sendirian? Rin ke mana?” kata Satria.
“Tidak tahu, dia tidak ada di rumahnya.” jawabnya.
Bla bla bla bla mereka bercengkerama sambil belajar dan sesekali bercanda ria. Kadang cubit-cubitan pipi, jewer-jeweran telinga, lompat-lompat, main petak umpet, sampai main tebak-tebakan. Begini tebak-tebakannya Satria untuk Vania.
“Ikan apa yang tidak bisa bergerak ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang?” Vania garuk-garuk kepala.
“Ikan pepes!” jawabnya.
“Salah! Ini ikannya masih hidup kok.” terang Satria panjang kali lebar sama dengan luas.
“Nyerah deh!” kata Vania manja.
“Jawabannya adalah, ikan kejepit!” kata Satria kalem.
“Ihh! Curang…” protes Vania lalu memencet hidung Satria dan digoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
Ngik ngok ngik ngok! Sesekali Bu Ratna ibu Satria mengintip dari balik pintu dapur.
—
Setelah Vania pulang, Satria merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia pun terlelap. Satria sedang mandi di sungai dekat air terjun yang airnya sangat jernih dan dingin sekali. Di sekelilingnya adalah hutan yang sangat lebat, mirip hutan Amazon. Saat Satria main lompat-lompatan dari batu ke air sungai, tiba-tiba munculah ular Anaconda yang sangat besar sebesar pohon kelapa dari dalam air. Warnanya hijau tua. Ular tersebut langsung menggigit dan menelan tubuh Satria hidup-hidup. Aaaaaaa! Satria berteriak sangat keras dan…. Gluduk! Satria terjatuh dari tempat tidurnya. Ternyata dia bermimpi digigit ular. ‘Apa ya artinya mimpiku ini?’ Batin Satria. (Kasih tahu gak ya?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar