Sabtu, 19 November 2016

Bloody Shawl


Di malam Minggu, seperti biasa, warga-warga di kampung sayat selalu mengadakan pesta rakyat kecil kecilan di balai desa. Pada pesta malam ini makin menambah kemilaunya dengan beberapa penari ronggeng dari desa sebelah.
Di antara penari ronggeng yang tengah menari, ada seorang penari yang menarik perhantian salah satu pemuda dari desa sayat, dialah Rio. Pemuda itu senantiasa melirik wanita itu. Baginya wanita berbusana serba putih itu, sungguh menarik perhatiannya.
Setelah pesta rakyat berakhir, diperkenankan bagi para tamu untuk memakan hidangan yang telah disediakan. Tak terkecuali untuk para pengisi acara, mereka dipersilahkan untuk makan di ruang khusus. Salah satu penari ronggeng yang telah beraksi kini pergi tanpa memakan hidangan khusus. Satu satunya penari yang mengenakan busana serba putih itu berjalan melewati hutan bambu. Tanpa disadarinya, Rio telah membuntutinya. Angin tiba tiba berhembus kencang hingga menerbangkan kain selendang sang penari. Kain selendangnya terjepit di salah satu bambu. Sang penari berusaha mengambil selendangnya itu. Kini selendangnya berhasil jatuh, namun naas, kemalangan terjadi. Ketika ia melompat, ia terperanjat, tergelincir hingga kepalanya terbentur bambu dan banyak mengeluarkan darah, begitupun dengan selendangnya, selendang putih itu ternoda karena darah.
Rio mendekati wanita itu dan berusaha menolongnya. Namun, wanita itu menolaknya, ia malah berkata dengan nada orang sekarat “Tidak! Jangan pedulikan aku, ambillah ini, kumohon jagalah selendangku ini dengan baik! Aku sekarat, aku tak berdaya. Jangan risaukan aku. Aku tau kau adalah orang baik. Kumohon ini permintaan terakhirku!” Sang penari pun menghembuskan napas terakhirnya. Pemuda itu kebingungan, ia khawatir ada warga yang melihat, lalu menuduhnya membunuh penari itu. Ia berniat ingin pergi, namun ia ingat dengan selendang itu. Lalu ia berpikir, “jika aku mengambil selendangnya, orang akan mengira bahwa aku yang bertanggung jawab atas kematiannya. Tidak! Aku tidak membunuhnya tidak, tidak…” Teriaknya dan langsung berlari menuju rumahnya.
Sesampainya ia di rumah, ia panas dingin wajahnya memucat. Ia bergegas menuju kamarnya dan berusaha untuk tidur
Musik pengiring tarian ronggeng mulai berbunyi. Suasana di balai desa kembali ramai. Beberapa penari ronggeng dan salah satunya adalah wanita pujaan Rio. Wanita itu mengajak Rio untuk menari dengannya. Rio bagai terhipnotis olehnya. Rio mengikuti kemauan wanita itu. Wanita ia bahkan melilitkan selendangnya pada leher Rio. Lalu dengan ganas wanita itu menarik selendangnya hingga Rio tercekik
Rio berusaha melepas lilitan selendang itu dari lehernya. Disaat dia batuk, dia terbangun dari mimpi yang menyeramkan itu. Dia akhirnya dapat bernapas lega. Tapi, dilehernya merasa terganjal. Dilihat lehernya itu dan terdapat lilitan kain selendang putih dengan bekas darah yang telah mengering.
“Apa? Inikah kenyataannya?” Ucap Rio ketakutan. Lalu ia menaruh selendang itu di dalam laci.
Pada tengah malam, ibu Rio terbangun secara mendadak dan menceritakan mimpi buruknya pada orang orang di rumah, ia bercerita ada seorang nenek yang mengaku memiliki cucu dan meminta pertanggung jawaban atas segalanya. Rio sangat khawatir dengan hal tersebut.
Keesokan harinya, giliran sang ayah yang bermimpi. Ia didatangi seorang nenek yang menyuruhnya bertanggung jawab atas wasiat yang diberikan oleh cucunya. Mereka makin bingung dengan hal tersebut.
Keesokan harinya, ibu dari Rio menceritakan kepada tetangganya dengan maksud mencari jawaban bila salah satu tetangganya mengetahui tentang informasi tersebut. Tanpa disadari, orang tak dikenal tengah menguping dari belakang.
Di hari keenam, Rio yang bermimpi didatangi seorang nenek yang menyuruh Rio untuk membersihkan bekas darah di selendang itu dan mengancam jika sampai di hari ke tujuh Rio tidak membersihkan bekas darah itu maka ia akan membunuhnya.
Rio berusaha membasuhnya dengan air. Namun nihil, darah itu telah mengering dan sangat sulit untuk dihilangkan. Rio putus asa dan menyerah.
Hingga di hari ketujuh setelah kematian sang penari, Rio hanya ketakutan sambil menyendiri di kamarnya.
Di tengah malam mata Rio belum merasakan kantuk.
TOK!!! TOK!!! TOK!!! TOK!!!
Ada yang mengetuk pintu depannya dengan sangat keras.
Terpaksa, Rio harus membuka pintu itu. Setelah dibukanya, ia melihat seorang nenek dengan membawa sebuah bungkusan berwarna merah.
“S Siapa kau?” Tanya Rio ketakutan. Nenek itu melemparkan bungkusan itu ke arah Rio
“Apa ini” Angin berhembus kencang. Gemuruh petir menyambar. Nenek itu berkata
“Itu isinya RINSO CAIR untuk membersihkan selendangmu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar