Sabtu, 19 November 2016

Jono dan Sekuntum Bunga Daisy


Asap dari soto panas menghembus muka Jono yang kusam. Dia menyeruput kuahnya dengan hikmat di pojokan. Bisingnya kantin tidak menghalangi keringat Jono untuk menetes dari dahinya. Sendok berisi kuah soto dia tiup perlahan, dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Mendadak dia mematung dan senyumnya mengembang saat melihat Dea sang pencuri hatinya, sedang melangkah masuk ke kantin. Rambutnya yang berdiri di atas bahunya menari mengikuti langkah kakinya yang perlahan.
Harum stroberi langsung memenuhi kantin dan perlahan membuat otak Jono konslet. Mata Jono hampir melompat ke luar saat melihat seorang pria klimis berjalan bersamanya dengan tangan saling menggenggam erat. Orang itu bernama Edo. Soto Jono langsung mendingin di tangannya. Jono menundukkan kepalanya tak berani menatap lagi. Kekayaan dan ketampanan Edo menginjak-injak rasa percaya dirinya. Dibandingkan dengan Edo, Jono hanyalah seekor kecoa yang doyan ngemil nasi aking.
“Kamu gak apa-apa Jon?” Tanya Erik.
“Aku minder. Sepertinya aku harus ngejauhin Dea sekarang juga.” Ucap Jono sambil mengaduk-aduk soto.
“Kamu harus tetep berjuang! Kamu mau kehilangan dia begitu aja? Jangan sampai suatu saat nanti kamu lagi sekarat sendirian di rumah sakit karena gak ada orang yang mau sama kamu, terus kamu bilang. Harusnya dulu aku dengerin kata Erik. Terus kamu mati.”
Jono terdiam. Dia berdiri dan melangkah ke ibu kantin sembari memberikan 5000 rupiah di tangan. Ia lanjut melangkah ke kelas dengan gontai meninggalkan soto yang tersisa separuh. Kata-kata Erik terus menghantui Jono. Ia tak mau kehilangan Dea tapi dia takut dan tak yakin bisa mendapatkan Dea. Dia terus melamun di pojokan kelas saat Pak Ical sedang membicarakan Sultan Hasanudin. Suara Pak Ical terdengar samar, dan Jono lebih memilih mengabaikannya. Tetapi walaupun sudah mengabaikan, masih ada satu kalimat dari pak guru yang mendadak terdengar sangat jelas.
“Walaupun dibuang, dicerca dan disiksa Sultan Hasanudin tetap berjuang demi sebuah kemerdekaan.”
Jono tercerahkan, dia harus memerdekakan perasaannya yang terjebak dalam relung dadanya. Cinta seharusnya bagai burung yang harus terbang melayang dan menari-nari di awan. Jono menganggukkan dagunya, dia sudah yakin untuk mengungkapkan perasaannya nanti setelah Dea selesai latihan paduan suara. Pertama, Jono membeli bunga sepulang sekolah dan lanjut nembak Dea sepulang dia latihan paduan suara. Dengan sekuat tenaga Jono menggenjot pedal menuju toko bunga. Sesampainya toko bunga tertutup rapat dengan tulisan TUTUP tertempel di depan pintu. Jono menggigit bibirnya dan memutar otak, karena sudah tak ada lagi toko dan taman di daerahnya.
“Bunga di sekolah!” teriak Jono bicara pada diri sendiri. “Tapi itu dilarang. Ahh, aku harus terus berjuang demi cinta!” Jono masih berbicara sendiri.
Jono lanjut pergi ke sekolah. Harum bunga Daisy menusuk hidung, terlihat setangkai bunga berwarna putih di dalam pot hitam besar. Di depan Pot tertulis “JANGAN DIPETIK!” Tapi Jono tetap memegang tangkai bunga itu. tangannya bergetar, keringatnya mengalir deras, dia menoleh kiri kanan tak ada seorang pun. Dengan satu tarikan napas Jono memetik dengan perlahan. “KAMPRET! BIASA AJA LO!” teriak Jono karena kepalanya dihantam sesuatu. Ternyata Kepala Sekolah berdiri di belakang Jono dengan menggenggam tas kerjanya. Tatapannya tajam mengiris Jono perlahan, Jono hanya bisa tersenyum pasrah.
“Eh Bapak. Bapak kelihatan keren banget hari ini, hehe.” Puji Jono mencoba menumpulkan tatapan Pak Kepsek. Tapi Pak Kepsek tetap menjewer kuping Jono.
“Mengapa bunga itu kamu petik?” Tanya pak kepsek tegas.
“Maaf Pak. Ini buat temen saya.” Jawab Jono sambil merintih kesakitan.
“Memangnya ucapan maafmu bisa menumbuhkan bunga itu?”
“Tapi Pak bunga bisa ditanam lagi, tapi tidak dengan hubungan saya ke dia. Bunga ini untuk teman terbaik saya Pak! Dan dengan setangkai bunga putih ini saya ingin mengungkapkan perasaan saya!” ucap Jono yang menatap Pak Kepsek dengan mata berkaca-kaca.
“Hahahaha!!” Pak Kepsek tertawa terbahak-bahak.
“Bapak gak marah lagi?”
“Bapak dulu juga pernah suka sama seorang wanita. Saat itu pula Bapak ingin memberikan hadiah, dan Bapak berilah dia pisang satu gepok. Pisang itu Bapak dapat dari mencuri di kantor Pak Camat. Sudah ambil saja bunganya. Besok Bapak akan tanam bunga yang banyak di sini, supaya kamu beri ke semua wanita. Hahahaha.”
“Makasih banget ya Pak!” Jono langsung meninggalkan Pak Kepsek yang masih sibuk tertawa dan berlari ke bawah aula tempat Dea latihan.
Para anggota padus turun bergantian, tetapi Jono masih tak menemukan Dea. Jono masih menolah-noleh mencari di bawah aula. Tiba-tiba sebuah mobil mewah merah berkilau hampir menabrak Jono. Kaca mobil terbuka dan rambut berkilau mebutakan mata. “Dea, Ayo!” teriak Edo kepada Dea yang sudah mulai turun. Dea membalasnya dengan senyuman lembutnya. Tapi Jono tak mau lagi kehilangan kesempatannya. Dia berdiri di depan Dea, Dea memandang Jono dengan rasa penasaran. Jono membulatkan tekad dan mengatur napas.
“Ada apa Jon?” Tanya Dea dengan mengkerutkan dahinya.
“Aku mau ngomong sesuatu Dea.” Ucap Jono Khidmat bagai membaca pancasila.
“Iya?”
“Aku mau…” ucap Jono perlahan. Dengan keras Edo mendorong Jono hingga tersungkur.
“Aku gak mau! Minggir kamu, dasar tolol! Dea udah cape dan mau pulang sama aku. Dengan mobilku!” teriak Edo di depan mobil mengkilapnya. Edo masuk ke mobilnya dan menyalakannya.
Dea beranjak pergi ke mobil Edo sambil memberi senyum. Jono menahan tangan kanan Dea, menatap matanya pekat. “Dea, dari semua obrolanku denganmu aku banyak merasa keanehan. Waktu melambat, pandanganku hanya tertuju pada keindahanmu, pandanganku selain kamu menjadi kabur dan semesta mendadak hening. Dan setiap saat itu, aku merasa utuh. Aku percaya kamulah tulang rusukku, dan maukah kamu mengisi lubang hampa di dada ini?” Jono mengatakan semuanya dengan lancar.
Bibir Dea tertutup rapat, pipinya memerah dan pupil matanya membesar. “Dan ini bunga yang tadi ku petik dengan segala kekuranganku. Aku ingin kamu memilikinya. Memiliki setiap keindahannya, setiap harum yang bertaburan, setiap warna yang memanjakan mata.” Ucap Jono sembari memberi Dea bunga daisy putih. Dea tersenyum lebar. Sedangkan Edo berlari ke Jono dan memukul wajahnya. Jono jatuh mencium paving.
“Edo! kamu jangan kasar begitu!” kata Dea sambil menarik tangan Jono untuk berdiri.
“Dia layak, karena dia gak tahu diri. Udah jelek dan culun dia masih berani deketin cewek cantik seperti kamu.” Ucap Edo dengan dagu terangkat.
“Kita putus!”
“Apa?! Kamu harusnya bersyukur punya pacar aku!” kata Edo kepada Dea, tetapi dia tak mempedulikannya.
“Ya udah kalau itu mau kamu, kamu akan nyesel!” Edo pergi menuju mobilnya dan menancap gas.
“Kamu baik-baik aja kan?” Tanya Jono khawatir dengan keadaan Dea.
“Kamu lucu ya! udah lebam begitu masih aja mikirin orang lain.”
Jono memberi bunga tadi ke Dea. Dia menerimanya dan sambil mencium bunga aroma bunga dia tersenyum.
“Ini buat kamu.” Dea menyentuh tulang rusuknya solah mengambil sesuatu dan menaruh tangannya ke rusuk Jono.
“Ini tulang rusukku. Cocok kan?” Tanya Dea dengan pipi yang memerah.
“Haha, aku akan selalu merawatnya, dan aku percaya itu akan melekat permanen.”
Jono dan Dea terpaku satu sama lain, waktu melambat bagi mereka berdua. Mereka saling menikmati setiap detik bersama sambil berbagi senyum kebahagiaan.
“Jadi kita pacaran?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar