Sabtu, 19 November 2016

Pirouette Kue Ulang Tahun

Sara keluar dari stasiun dengan langkah ringan, merasa senang bisa lepas dari sesak kerumunan penumpang Jumat sore. Tumit sepatunya berkeletak-keletak tiap kali menapaki trotoar yang masih basah setelah hampir seharian diguyur hujan. Dia mengecek jam tangannya dan segera mempercepat jalannya. Sebelum pulang ke rumah, dia masih harus mampir di toko kue untuk membeli kue ulang tahun keponakannya, sesuai dengan yang diperintahkan ibunya tadi siang lewat telepon.
“Sebelum pulang ke rumah kamu harus mampir di toko kue untuk membeli kue ulang tahun Kanda.” Ibunya berkata.
“Eeh? Kenapa nggak Ibu aja yang beli? Aku belum tau bisa pulang jam berapa.”
“Ogah. Hujan.” Jawab ibunya santai.
“Kakak gimana?”
“Jangan ganggu kakakmu dulu. Dia baru balik dari pengadilan, mood-nya lagi jelek.”
“Yalah…” Sara menghela nafas.
“Beli kue yang banyak krim dan pakai stroberi di puncaknya itu ya.”
“Emang Kanda suka strawberry shortcake?”
“Ibu yang suka. Ssshhh, udah jangan bawel,” potong Ibunya saat dia hendak protes, “Lagian anak umur tiga tahun belum ngerti juga hal semacam itu.”
“Yalah…” Katanya sembari menghela nafas untuk yang kedua kalinya dalam satu menit terakhir.
Setelah beberapa menit berjalan melewati gang-gang sempit dan tembok-tembok tinggi perumahan, mulai terlihat bangunan-bangunan ruko yang berderet di kedua sisi jalan. Ada masanya dimana tempat itu ramai dikunjungi pembeli, mulai dari anak-anak mencari mainan terbaru sampai para paruh baya yang ingin mengganti lensa kacamata. Sekarang deretan ruko ini lebih sering terlihat sepi dan muram. Dari sepuluh petak yang ada hanya tinggal tiga yang masih buka. Dan salah satunya adalah Downtown Cake and Bakery, toko kue yang sudah menjadi langganannya sejak dia masih kanak-kanak. Dia menggeser pintu kacanya terbuka dan langsung disambut oleh senyum ramah Kakek Penjual Kue.
“Ah, nona wanita karir kebanggaan bangsa. Apa gerangan yang membawamu mampir ke toko kecil pinggiran kota ini?”
“Oh kakek tua nan baik hati, hamba kemari bermaksud hendak membeli kue ulang tahun.” jawab Sara.
“Siapa yang ulang tahun?” Kakek itu kembali bertanya.
“Kanda. Ulang tahun ketiga.”
“Ah, rasanya baru hari kemaren kakakmu menikah. Tapi sekarang sudah punya anak, dan berumur tiga tahun pula.” Kakek itu terdiam sejenak. “Gimana kabar kakakmu? Sudah tuntas?”
“Kayaknya belum. Tadi masih ke pengadilan dan Ibu bilang mood-nya lagi jelek.”
“Hm…” gumam Kakek Penjual Kue, “Kuenya yang mana? Black forest?”
“Bukan, yang ini,” Sara menunjuk strawberry shortcake di dalam etalase.
“Sebentar kakek ambil kotaknya dulu ke belakang.” kakek itu berkata sambil berbalik.
“Mungkin ini cuma pikiran egois kakek tua,” terdengar Kakek Penjual Kue berkata dari belakang. Suara seraknya teredam oleh dinding pemisah, membuatnya seolah sedang berbicara dari dalam air di kolam yang tenang. “Ada baiknya juga kakakmu kembali tinggal disini. Rasanya sudah lama sisi kota ini tidak mendengar teriakan anak-anak.”
Sara berdiri bersandar ke lemari pendingin dan memperhatikan seisi toko kue, menyadari betapa tempat ini tidak banyak berubah. Tata susunnya, dan lemari-lemari kacanya, dan lantai keramiknya dan celemek merahnya yang sudah pudar, tergantung lesu di dinding di belakang meja kasir. Juga donat gula favoritnya, bertumpukan di dalam keranjang rotan di atas kaca etalase, yang dia yakin kalau rasanya pasti masih sama dengan donat gula yang pertama kali dimakannya dulu.
Tidak lama kemudian Kakek Penjual Kue kembali dengan membawa nampan berisi kue pesanan Sara. Lengkap dengan lilin berbentuk angka empat menyala di atasnya. “Sori, kehabisan kotak.” Kakek itu meletakkan bawaanya di atas meja kasir. “Tapi jangan khawatir, Kakek punya ide lain.”
Sara mendadak merasa khawatir.
“Baiklah, harga kuenya tiga ratus ribu.”
“Busyet mahal!”
“Jangan protes dulu, ada tapinya ini.” kata si kakek sambil menggoyang-goyangkan jari telujuknya ke arah Sara. “Kakek akan beri kue ini secara cuma-cuma, asal kamu bisa membawanya sampai rumah dengan lilin tetap menyala.” Kakek itu menambahkan.
Nah kan, pikir Sara, ide si Kakek memang lebih sering konyol dan merepotkan. “Jadi kalau berhasil kuenya gratis, dan kalau gagal Sara harus bayar tiga ratus ribu, gitu?”
“Klop.” Kakek itu menjawab sambil mengacungkan jempolnya.
“Oke, klop.” Sara menyanggupi. Kemudian mereka bersalaman sebagai tanda sepakat. “Ngomong-ngomong kek, lilinnya angka empat nih.”
“Yang ada cuma itu. Udah sana, anak tiga tahun juga, belum ngerti sama hal semacam itu.”
“Orang tua-tua semua sama aja emang.” gerutu Sara sambil beranjak pergi.
“Eh tunggu,” Kakek itu memanggilnya kembali. “Sini dulu tas kamu. Kakek mau periksa jangan-jangan kamu punya korek api atau semacamnya disana. Kamu merok*k kan?”
“Uenak aja!” kata Sara sambil menyerahkan tas jinjingnya. “Udah boleh cabut nih sekarang?” tanyanya begitu Kakek Penjual Kue selesai memeriksa tasnya.
“Dengan segala hormat.” Kakek itu mempersilahkan.
Tapi Sara tetap berdiri di depan meja kasir. Menatap diam ke arah lantai di bawahnya. Dia merasa masih memiliki sesuatu untuk diucapkan, hanya saja tidak bisa menemukannya di dalam benaknya. Di dalam hati dia berharap kalau tempat ini tidak akan pernah berubah. Sepetak kenangan di sisi kota yang belum dijemput masa depan. Namun dia juga sadar sepenuhnya kalau itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karena pada akhirnya semua yang ada di dunia pasti akan tunduk pada waktu. “Kek, donat gulanya satu.” akhirnya cuma itu yang bisa diucapkannya. Dia merogoh saku celananya dan menyerahkan selembar uang lima ribu.
Kakek Penjual Kue mengambil sebungkus donat dan menyerahkannya pada Sara. “Terima kasih.” kata kakek itu dengan suara pelan.
Perjalanannya ke rumah tidaklah jauh. Tinggal melewati dua gang, lalu menyeberangi jalan, dan masuk di gang berikutnya. Kemudian setelah tiga atau empat rumah, dia tinggal melewati pagar depan, membuka pintu, dan meminta ibunya menelepon toko kue untuk mengklaim kue gratisnya. Yang menjadi halangannya saat ini adalah angin dingin yang suka bertiup mendadak, jalanan yang masih basah dan licin, dan awan mendung yang masih menggantung di langit, tenang dan siap membuncah kapan saja seperti kemarahan terpedam seorang wanita. Sara berjalan dengan lambat dan hati-hati. Dia merapatkan kue ke tubuhnya, membungkuk waspada melindunginya seolah itu adalah peti rahasia berisi mahkota raja Majapahit. Kebetulan sekali saat ini tidak ada orang lain di jalanan. Gadis itu tidak tahu akan kemana mau dilempar rasa malunya jika ada yang melihat.
Enam jam kemudian, setidaknya selama itulah yang dirasakannya, dia pun sampai di tempat penyeberangan. Garis-garis putih pendek berjejer diatas aspal hitam. Dia ingat waktu kecil dulu, ayahnya suka menakutinya dengan mengatakan kalau Mister Zebrah akan bangun, dan menggigit, siapa saja yang menyeberangi jalan saat lampu tanda penyeberangan masih menyala merah. Dia melangkah menapaki punggung Mister Zebrah dengan senyum tipis di bibirnya. Dan langsung dikejutkan oleh suara klakson yang nyaring membahana.
Segera dia menoleh dan melihat sebuah sedan hitam datang entah dari mana. Yang dengan sekekelebat cahaya melaju kencang hanya beberapa langkah di depannya. Melindas sebuah genangan becek dan mengirim butiran-butiran air beterbangan ke semua arah. Secara refleks Sara membuat gerakan memutar dengan bertumpu pada ujung kaki kanannya, sebuah pirouette setengah lingkaran! Dan berhasil melindungi nyala lilin di atas kue dari percikan-percikan air dengan mengorbankan punggungnya sendiri. Mobil nggak sopan! umpatnya dalam hati. Semakin hari mesinnya dibuat semakin tidak bersuara! Tapi dia juga sedikit jumawa dengan kelincahan gerakannya, siapa sangka dia masih memilikinya. Begini-begini dia pernah ikut kursus balet sampai kelas lima SD. Lalu berhenti saat dia naik kelas enam. Dia mencoba mengingat-ingat alasan kenapa dia berhenti, tetapi tidak bisa. Padahal dia ingat tentang tata susun toko kue, juga lelucon ayahnya tentang zebra cross. Bagaimana sebenarnya ingatannya bekerja? Dia merenung sambil lanjut berjalan, lalu mendadak teringat kalau sekarang dia punya blazer kotor yang harus segera dicuci. “Mobil nggak sopan!” umpatnya sekali lagi.
Sampai di teras depan Sara disambut suara bising televisi yang diikuti oleh gelak tawa ibunya. Beliau pasti sedang menonton Komedi Sore. Acara komedi yang menurutnya sama sekali tidak lucu karena lawakannya terkesan terlalu dibuat-buat. Dia mengecek kue di pegangannya, api lilinnya menyala-nyala seperti semangat juang empat-lima. Dia tersenyum penuh kemenangan. Lalu dia mengangkat kue itu tinggi-tinggi di atas kepalanya, dan dengan lincah membuat gerakan berputar dengan bertumpu pada ujung kaki kanannya, sebuah pirouette! Dan kali ini sepenuh lingkaran! “Yahuuu!” dia berseru. Dan dengan segera dia merasa pusing, seolah bumi berputar berbalik arah secara mendadak. Dia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya oleng dan dia terjatuh dan terjengkang dengan bokong duluan menghantam lantai. Kue ulang tahun beserta lilin angka empat serta buah-buah stroberi melayang sesaat di udara, sebelum kembali ditarik gravitasi dan berhamburan di sekitarnya. Sekarang Sara ingat kenapa dia berhenti kursus balet. Waktu dulu naik kelas enam tiba-tiba saja dia mudah terserang pusing. Dia pusing saat melihat ke bawah dari lantai dua, pusing kalau naik kendaraan, dan tentu saja, pusing saat dia melakukan pirouette! Dokternya bilang itu karena masalah hormon atau semacamnya dan akan membaik seiring dengan berjalannya waktu. Dia mungkin sudah tidak ada masalah dengan tempat tinggi dan kendaraan, tapi tidak dengan pirouette! Dan sekarang bokongnya sakit!
Kakaknya yang pertama kali keluar. Dia langsung tertawa terbahak sampai jongkok dan memegangi perutnya. Kemudian ibunya menyusul, berdiri di bawah pintu dengan Kanda di gendongan.
“Apa-apaan lagi ini Sara?”
Sara tidak menjawab. Dia hanya meringis dan mulai terisak.
Ibunya menurunkan Kanda dari gendongannya dan melihat sekeliling dengan sekali pandang. Sebutir stroberi menggelinding lambat keluar dari bawah pot bunga. “Sekarang kue ulang tahunnya gimana?”
Sambil terisak Sara merogoh ke dalam tas jinjingnya dan mengeluarkan sebungkus donat gula dari sana. Lalu dia menjangkau lilin angka empat dan meletakkannya di atas donat. “Ini aja nggak papa kan? Lagian anak umur tiga tahun juga belum ngerti hal semacam ini.”
Kakaknya yang tadinya hampir berhenti tertawa kembali terbahak-bahak.
“Jangan seenaknya ngomong bawel!” hardik ibunya. “Beli lagi sana!”
“Haaaa…” Sara mulai merengek, lalu tiba-tiba berhenti karena kembali teringat sesuatu. “Minta duit tiga ratus ribu.”
“Heh? Apaan? Udah sana, hush,”
“Hyuss…” keponakan kecilnya ikut membeo.
Jauh di atas langit angin bertiup menghalau awan-awan mendung menjauh. Menyibak cercahan cahaya matahari senja, menerangi Sisi Kota dan sedikit orang yang masih menetap disana, untuk terakhir kalinya sebelum malam tiba. Dibawah tatapan kesal ibunya dan diiringi lengkingan tawa kakaknya, Sara perlahan bangkit berdiri sambil merengek dan meringis memegangi bagian belakangnya yang masih berdenyut menusuk-nusuk.
“Hyuss…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar