Jumat, 18 November 2016

Gara Gara Amplop


“hei, hei, anak baru, siapa nama lo?”
“nathan”
“setan? Buset dahh, yang gue tanya nama bukan wujud lo.”
“nathan woi, nathan”
“oh, santan, lo blasteran, ya?”
“iya, ayah gue dari inggris, ibu gue dari madura, takye”
“pantesan muka lo mirip mr.b ean gitu”
“lucu, ya?”
“idiotic”
“jangan mengobrol di jam pelajaran saya”. Seketika itu gue pun terdiam, tertunduk malu, membisu. Terdengar kikikan kecil menahan tawa.
“kikikikik” tawa kecil yang seakan sedang mengamatiku, menunggu gue lengah dan menerkam.
“eh santan, nama gue nico, salam kenal, ya”
Gue masih terdiam, tak mau menatap, gue seakan lagi bermain pura-pura mati yang sedang berhadapan dengan seekor harimau buas yang sedang lapar, gue harus fokus dan mendalami karakter gue sebagai.. Orang mati agar gue tak dimangsa olehnya, tak percuma gue pernah main film layar lebar, walau Cuma jadi maling ketangkep. Gue angkat tangan gue menandakan oke ke nico. Tak ingin gue abaikan senyuman manis di bibirnya.
Belum genap satu jam gue berada di ruangan ini, gue sudah mengalami dua nasib yang berbeda. Gue Tak menyangka akan berhadapan langsung dengan guru terkiller dalam sejarah ketamandunan sekolah ini. Sekolah negeri acak adul. Takdir memaksa gue untuk selama 3 tahun kedepan harus mendiami sekolah busuk ini, busuk? Kenapa busuk? Gue gak tahu, mungkin karena gue sudah muak dengan namanya sekolah dan rutinitas yang mengkungkung gue dalam kebosanan sebagai seorang pelajar. Tapi hari ini berbeda, hari ini begitu cerah, begitu sejuk. Senyuman ketusnya yang membuatku merasa sekolah busuk ini seakan taman penuh bunga yang harum mewangi. Takdirlah yang memaksa orangtua gue untuk menetap di sini, takdirlah yang membuat gue berada disini, takdirlah yang menuntun gue agar masuk ke sekolah ini, dan oh takdir kenapa kau buat perut gue seperti ini disaat yang tidak tepat, saat senyumannya hadir menyapa. Oh iya, nasi goreng tadi pagi, nasi goreng tak biasa dari bu yanti, tempat sarapan biasa gue, beliau sedang uji coba resep dari chef juna dan gue yang pada awalnya merasa bangga menjadi pelanggan pertama mencicipinya harus menanggung akibatnya sekarang, perut gue membludak bak krakatau yang tak kuat menahan gejolak magma di dalamnya. Ini tak bisa dibiarkan, rasa tak tahan ini perlahan menjajah gue, dan ini harus segera dihentikan, sebelum keceplosan.
“bu saya mau izin keluar, darurat”
“emang kamu mau ngapain?”
“please bu, jangan kepo, ini darurat” entah apa yang telah gue lakukan, gue seketika menjadi alay, apakah ini dampak kalo kita sedang dalam kondisi kritis? gue tak bisa mengkotrol apa yang gue katakan, kata-kata itu terlintas begitu saja.
“oh begitu, ya sudah, kamu gak saya izinkan”,
“waduh bu tapi”,
“gak ada tapi, kamu gak boleh ke luar sebelum jam pelajaran selesai”,
Tamat. Hidup gue tamat. Sampai kapan gue bisa menahan panggilan ini? Konyol, ini konyol sekali dihari pertama sekolah gue harus melakukan perbuatan mengerikan seperti ini.
“hei, santan, emang lo mau ngapain? Kebelet ya? Hihi”. Gue mencoba menjawab sebisa gue, mengaturnya agar tak terjadi tindakan kriminal yang membuat hidup gue gawat. Gue Cuma bisa mengangguk. Gue Cuma bisa mengharapkan mukjizat datang sehingga ibu guru yang tak berprike-belet-an di depan ini bisa pergi menjauh dari hadapan gue.
“anak-anak buka buku halaman 171, dan kerjakan tugasnya, ibu mau ke ruang kepala sekolah”, apa ini? Miracle macam apa ini? Sejenak setelah gue memikirkannya kenapa kejadian ini terjadi? Kesempatan ini tak boleh gue lewatkan. Secepat kilat setalah dia pergi, gue pun langsung ngacir keluar kelas. Layaknya seorang tentara yang sedang diberi mandat untuk menyelesaikan misi, misi penting bagi gue. Namun sayangnya tentara tak seharusnya pergi tanpa peta. Gue baru di sekolah ini, dan gue tak pandai dalam membaca tempat, sekolah ini cukup luas buat gue untuk tersesat dan lupa jalan pulang.
“kalo wc ada di bawah sana” tanpa basa-basi lagi gue langsung menuju tempat yang ditunjukkan olehnya. Gue bahkan tak menoleh saat dia memberi petunjuk tadi, sungguh tak sopan perbuatan gue.
“gimana? Lega, ya?”
“lega! nico? Ngapain lo disini? Lo ngintipin gue ya?”
“enak aja, gue juga punya selera kali, lo harusnya terima kasih” oh iya, gue memang tak menoleh tadi, tapi suara lembut itu gue ingat.
“oh iya, thanks ya, gak masuk?”
“sudahlah, kita ke kantin yuk, lo kan gak baru disini jadi biar gue kasih tau tempat makan yang asik”
“lah, tapi guru tadi?…” tak selesai gue berbicara gue langsung diseret olehnya, sungguh perempuan yang energic. Gue pun terpaksa mengikutinya.
“nih, lo harus coba nasi goreng disini. Tjakep dah pokoknya”.
“nasi goreng? Oh no, gue troma, ntar kebelet lagi”
“haha beda lah, ini lebih super lagi”
Dari kejauhan gue merasakan there’s something special yang lewat, dan dia pun menghampiri gue, gue gugup, siapakah sebenarnya dia? Tak pernah gue lihat parasnya. Namun, hati ini langsung berdetak, ya, itu karena gue masih hidup, tapi detakkannya begitu berirama bukan dangdut bukan pula seringai, inikah nada cinta?
“hei, lagi ngapain”
“lagi boker!” jawab nico ketus ke cewek itu, mereka saling kenal? Sepertinya iya, siapa yang tak kenal nico, cewek tomboy di sekolah ini, kebanyakan pria takut dengan dia. Bukan karena dia kuat, tapi lebih karena pesonanya, mungkin begitu, dan gue harap begitu.
“ih, jorok deh, hei, kenalin gue sarah, lo anak baru itu ya? lo temannya nico?” tanpa babibu cewek itu langsung menodong gue dengan sederet pertanyaan itu, gue terdesak, gue Cuma bisa mengangguk pelan. Seketika itu gue salah tingkah, sial, kenapa kebiasaan ini tak bisa hilang. Yang gue lakukan sekarang hanya melahap makanan yang terabaikan tadi. Gue merasa saat itu sekolah tak semenyeramkan yang selalu gue bayangkan. Dua peri cantik sedang berada di hadapan gue. Mimpi apa gue semalam.
“lo nanya mulu, kayak pembantu baru aja, nathan kenalin ini, sarah, sarah ini nathan”
“yo” jawab gue cuek, sambil masih mengunyah nasi goreng yang mantep itu. gue sebenarnya gak lapar, tapi kalo lagi grogi gue makannya suka banyak. Atau mungkin gue doyan. sarah merupakan teman baik dari nico, mereka selalu bersama dalam suka duka, berbagi segalanya. *quotedbyceribel
“nic, lo ingat kan boneka suju yang kemaren, itu lucu banget, gue pengen beli…” tak lama kemudian, pembicaraan beralih dari nasi goreng menjadi gosip tentang siwon dan konco-konconya itu. agak risih sih gue dengarnya, soalnya gue gak terlalu suka suju.
“suju itu keren, ya, soalnya kalo mereka konser pasti panggung rame, kayak lagi demo hehe” kata gue garing,
“oh” respon mereka berdua hampir bersamaan, gue merasa nasi goreng di depan gue sedang mentertawakan gue. Langsung saja mereka gue makan, ato mungkin gue doyan.
“oh iya, kita gak masuk nih?” tanya gue ke nico, karena gue baru sadar kalo gue udah setengah jam meninggalkan kelas, bisa-bisa mati gue diremuk ama guru killer itu, kalo ketahuan gue lagi nongkrong disini.
“ah tenang aja, gak usah takut, ibu itu lagi sama pacarnya, biasanya sih lama, tuh liat” kata nico sambil menunjuk ruang guru, terlihat ibu itu sedang bersama seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas rapi, lengkap dengan dasi khas seorang eksekutif muda, tak lupa ramput yang diatur bela pinggir style andika kangen band, sungguh gaul.
“kok lo bisa tau?” tanya gue bingung
“ya iya lah, yang nyuruh cowok itu datang kan gue, dia itu sepupu jauh gue, gue sering nyuruh dia kesini kalo gue lagi bete di kelas”.
“lo ngelakuin ini buat gue?”
“jangan ge er an deh, kan dah gue bilang kalo gue bete”
“waduh thanks berat yah, gue traktir deh hari ini.”
“beneran? Bu, bungkus dua ya?” sarah langsung mengambil kesempatan.
Pembicaraan ini pun berakhir seiring bunyi bel msuk pun berbunyi.
Setelah beberapa hari disekolah ini, gue mulai membiasakan diri dengan lingkungan, dengan tingkah nico yang sering keluyuran pas jam pelajaran, dengan obsesi si centil sarah sama suju yang buat kepala gue pusing, sampai amukkan beringas dari si guru killer, gue udah mulai terbiasa sekarang.
“nic, udah belajar belom buat ujian besok?”, tanya gue ke nico
“emang ada ujian apa?”, sungguh polos tampangnya disaat akan ujian dari guru terkiller, dia bahkan tidak tahu itu ada.
“yaelah, pulang nanti kita belajar dulu lah”
“oke, tapi lo harus ikut gue ya”
“kemana?”
“want to knowww, aja hihi” kalo udah ngeliat nico seperti itu gue hanya bisa nurut apa keinginannya. Tak mau gue kacaukan kebahagiaannya.
Sepulang sekolah, anak-anak sudah pulang, tapi tidak untuk gue dan nico yang masih sibuk dengan soal-soal materi ujian dari si ibu killer.
“ah bete nih, gue ajak sarah yah”,
“bawa makanan”
“makan aja pikiran lo”. Nico memang tak terlalu pandai dalam bidang akademik, makanya gue harus menolongnya, tapi di sisi lain dia cukup jahil untuk melakukan perbuatan aneh yang menarik. Dan gue tak terbayangkan saat nico berimajinasi mau mencuri soal-soal ujian si ibu killer. Ah, what kind a joke is it.
“gimana, mau gak? kita pinjam sebentar doang, ambil soalnya, foto kopi, belajar di rumah, terus besok balikin, gampang, kan? Ibunya juga gak tau, kalo dia marah, kan gue bisa panggil om gue buat ngademinnya hehe, gimana?” liar sekali pikiran perempuan ini, tak sanggup belajar dia ajak gue untuk mencuri. Dan gue pun tak tahu kenapa menyetujui rencana itu, karena gue lihat itu cukup menarik, gue ingin melakukan sesuatu yang belum pernah gue lakuin sebelumnya. Tapi gue gak menyangka kejadiannya bakalan menjadi serumit itu.
“sekarang kita harus mengambil soalnya tanpa harus ketahuan oleh penjaganya” jelas nico layaknya seorang komandan perang yang sedang menyusun rencana penyusupan.
“lo pernah ngelakuin ini, nic?” tanya sarah khawatir, wajahnya pucat.
“belum” jawabnya polos.
“muke gile, lo mau nyari mati, kita masih amatir nih, ntar kalo ketangkep gimana?” gue mulai merasa pesimis,
“gue kasih tau ya, kalo mau dapat sesuatu yang belum pernah lo dapatkan, lo juga harus ngelakuin yang belum pernah lo lakuin” kata nico sembari membaca tulisan yang tertera di dinding kelas, gue sampai lupa slogan itu memang terpampang disana sejak gue masuk disini. Benar juga apa yang dikatakannya. Akhirnya gue pun hanya bisa pasrah dan mencoba optimis rencana ini akan berhasil. Sarah yang tadi pucat tiba-tiba menjadi bersemangat, tak gue sangka kata-kata nico bisa membangkitkan semangat kami, nico pasti punya gen mario teguh.
“lo pada tau kan apa yang harus lo lakuin? Nathan lo jaga pintu, kalo ada yang mendekat sebisa mungkin lo halangin, bagaianapun caranya”
“walau harus mati?”
“iya”
“siap kapten” gue sudah seperti seorang pasukan berani mati yang siap bertempur
“sarah, lo awasin nathan ntar dia kebelet lagi, hihi dan gue yang akan mencari dan mengambil soanya, oke?”
“oke kapten” gue gak tau kenapa sarah sangat bersemangat mengawasi gue,
Lima belas menit saat itu merupakan lima belas menit terlama sepanjang hidup gue, kalo nico ketahuan, gue mati. Penuh keringat gue demi tugas yang sepele ini. Dan akhirnya nico pun ke luar dengan dua amplop berada di tangannya. Dia berhasil, tapi kok ampopnya ada dua?
“kok dua?”
“gue gak tau yang mana, gue ambil aja dua-duanya yang ada di meja beliau, ya udah simpan nih dua-duan, kita tinggal balikkin dua-duanya kan?” nico mengatakan itu seolah semuanya segampang itu, tapi untuk saat ini, gue pikir tugas ini memang gampang. Setelah itu, kami bertiga berniat merayakan keberhasilan ini dengan makan siang bersama di kafe dekat sekolah, tempatnya nyaman, murah dan pastinya, wi-fi gratis. Setelah asik mengobrol, makan dan wi-fi gratisan di kafe tersebut kami pun pulang untuk mengerjakannya di rumah.
Namun, kebodohan gue membawa malapetaka, gue menghilangkan amplop berisi soal-soal tersebut.
“apa!!?” teriak mereka hampir bersamaan, dan gue yakin ini bukan saatnya untuk cengengesan gak jelas,
“sorri, gue lupa naronya dimana, kayaknya ketinggalan di kafe tadi deh, tenang-tenang, kalo hilang, lo bisa minta om lo buat ngobrol sama ibu killer itu kan, nic?” tanya gue mencoba menenangkan mereka.
“masalahnya, om gue lagi di luar kota, gak lagi disini”
“waduh gimana nih? Ini semua salah elo, kenapa lo bisa seteledor itu sih, kita kan jadi dalam bahaya gini” sarah pun semakin panik.
“sori sori, gue gak sengaja, kalo masalah ini selsai gue beliin lo boneka suju deh” bujuk gue agar sarah berhenti khawatir.
“ini bukan masalah boneka suju nathan”
“plus nasi goreng?”
“lo gak salah kok” muka sarah pun langsung berubah senang.
“ya udah sekarang gimana caranya tuh amplop balik lagi, kita cari di cafe itu dulu” gue pun mencoba menebus dosa gue dengan berusaha mncari amplop penuh masalah itu.
“mbak, lihat dua amplop warna cokelat gak tadi?” tanya gue ke pelayan di cafe tersebut
“oh amplop cokelat, yang ini mas?” dari kedua amplop yang dibawa nico satunya berisi soal, tapi yang satu lagi gue gak tau karena kami gak pengen bukanya, tapi amplop yang itu bukanlah yang kami cari, sepertinya tertukar. Disana tertulis nama seseorang, Jack, dan tiket kereta api keberangkatannya.
“ini plan b kita karena kita telah gagal menjaga amplop itu, plan nya kita harus ambil kembali amplop itu, kita sudah punya nama orang tersebut dan tujuan dia sekarang” kata gue meniru kata-kata di film-film laga, bukan laga indosiar.
“dimana?” tanya nico
“disini tertulis, kampung rambutan, bali”
“haaah? Kita akan mengejar dia sampai ke bali?” sarah yang tadi keliatan panik malah tambah panik, gue sekarang tahu gimana ekspresi orang panik yang lagi panik, sungguh aneh.
“oh, sori, itu tempat dia lahir, lo ada peta gak?” tanya gue serius ke nico
“ada nih, untung gue bawa” gue juga enggak tau kenapa gue bawa peta.
“kayaknya dia bakalan pergi kesini deh” kata gue sambil menunjuk satu kota yang namanya sama seperti tiket yang tertera di dalam amplop itu. untungnya keberangkatannya jam 8 malam, jadi kami masih memiliki waktu untuk menjemputnya dan menukarnya.
“oke jam 7 kita sudah kumpul disini, terus kita ke stasiun kereta api ini, terus temui orang itu”
“terus cara kita mengenali orangnya?”
“gampang, tulis aja di karton nama orang itu, terus lo jalan-jalan nyari orangnya, kayak orang bego, siapa yang mau peran itu?” tanya gue. mereka berdua tersenyum.
“siapa lagi, yang punya tampang idiotic” kata nico ngeledek gue.
“okelah, gue yang nyari nya, puas lo”, kami pun tertawa, lalu gue tertegun
“apa lagi yang lo pikirkan?” tanya nico yang sudah gak sabaran.
“plan ini namanya apa ya?” kata gue bego
“yaelah, gak penting juga kali, dasar idiotic” kami bertiga pun cengengesan kembali.
Setelah rencana tersusun rapi, kami pun berangkat ke stasiun yang dituju, gue sudah siap terlihat bego untuk malam ini, yah semua itu demi gue gak diremuk sama si ibu killer itu.
Setelah setengah jam muter-muter gak jelas, gue masih saja belum menemui orang tersebut, lalu gue melihat pacarnya si ibu killer, dengan nametag masih tergantung di leher layaknya mahasiswa baru di opdik, gue menghampiri dia.
“lah, kenapa ada nama saya disana?”
“lah, ini nama bapak? Beneran ini nama bapak? Bapak tadi makan di cafe dekat sekolah acak adul?” gue langsung membombardir bapak itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan bernapas pun dia tak gue beri kesempatan. Karena takut beliau sesak nafas akhirnya gue diam, memberi ruang dia berbicara.
“iya, itu saya, emangnya kenapa?”
“haduh, syukur pak, saya sudah mencari bapak dari tadi, ini, amplop saya ketukar sama amplop punya bapak” lalu gue menukar dua amplop itu dengan punya bapak itu, dan anehnya bapak itu pun tak menyadari bahwa amplopnya ketukar. Tak lama berselang, sarah dan nico datang
“sori, nath, gue telat. Eh, om J” kata nico
“lah, nic, lo kok gak kenal sama om lo sendiri” tanya gue kesal
“kan udah gue bilang om j ini saudara jauh gue, mana gue tahu nama lengkapnya jackurudin” dan akhirnya kami pun dapat membawa amplop itu ke rumah dan belajar untuk ujian besok.
Keesokan harinya gue dapat kabar kalo si ibu killer gak masuk hari, dia lagi cuti ada urusan mendadak ke luar kota. Dan ujian pun dibatalkan.
“ah sial, udah capek-capek kita ngambil soalnya eh malah dibatalin” kata nico bete
“ahah yah inilah akibatnya kalo mau berbuat curang” kami pun cengengesan,
“eh iya, amplop yang satu lagi itu isinya apa sih? Udah pada lo liat belum sih?” tanya sarah
“nah iya, gue juga belum liat tuh” kata gue dan nico hampir berbarengan
“kok barengan gitu? Ciyeee” muka gue pun memerah.
“sudahlah kita liat aja, nath, mana amplopnya?” nico pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
“iye sabar, gue ambil dulu.” Gue pun mencari-cari amplopnya di tas gue
“eh, mana yah, kok gak ada?”
“APAAA”
Gue cuma bisa cengengesan gak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar