Terlihat Hasan sedang melompat-lompat mirip kanguru yang menggendong anaknya. Padahal dia tidak menggendong apa-apa, cuma perutnya saja yang melampaui SNI (Standar Nasional Indonesia). Dia berusaha dengan lincah menghindari genangan air yang menyebar di seantero jalanan komplek rumahnya. Gara-gara hujan deras tadi sore. Tujuannya adalah rumah Satria, sahabat karibnya. Hap! genangan air yang besar dapat dilalui dengan sukses. Hap! genangan air yang kecil dapat dilampaui dengan baik. Kini tinggal satu genangan air berukuran sedang, berbentuk Danau Toba, yang berada tepat di depan pintu pagar rumah milik Satria, yang harus dia taklukkan.
Hap! Yesss… Sukses! Hasan bahagia, dia mengepalkan kedua tanganya ke udara. Syuuttt, brukkkk!! Tiba-tiba saja Hasan terpeleset dan ambruk ke belakang. Tepat di dalam genangan. Satria yang saat itu sedang berada di dalam kamarnya sempat mendengar, dan beranjak menuju ke luar. Wah, ada mangga jatuh nih! Asyik!! Pikirnya saat itu. Tapi bukankah saat ini bukan waktunya musim mangga? Kreeek! Satria membuka pintu depan, terlihat Hasan masih terduduk ditengah genangan air.
“Ngapain kamu di situ?” tanya Satria.
“Aku mau meminjam gitarmu!” kata Hasan sambil bangkit dari kuburnya eh jatuhnya. Lalu memasuki rumah Satria. Bagian punggung sampai kaki Hasan penuh noda lumpur.
“Nih! Gitarnya! Awas, jangan sampai rusak!” Pesan Satria pada Hasan.
“Oke! Tenang saja sobat! Aku mau pulang dulu! Makasih..” Jawab Hasan lalu melangkah pergi. Satria menutup pintu rumahnya. Klik! Lalu terdengar suara gaduh dari luar rumahnya. Syuutt! Bruukk!! Prakk Jrenggg!!!
—
Satria ada di rumah Edo, sahabat dan teman sekolahnya. Dia melihat Edo sedang menulis cerpen, untuk lomba cerpen tingkat nasional di salah satu media cetak terkenal. Satria sempat membaca, dan protes, “Masa judulnya Semut Ngantuk Do? Realitasnya mana? Kamu suka mengada-ada kayak koruptor saja!” Edo diam saja, jarinya terus menari-nari di atas papan kibor dengan gaya 11 jari! Hebat! (ups! telunjuk + telunjuk). “Ini sih bukan cerpen Do kalau aku baca, ini namanya cerpan.” (cerita panjaaang sekali). “Lagian plotnya cuma muter-muter saja seperti kincir anginnya kompeni.” kata Satria sambil makan pisang goreng di meja yang disuguhkan mamanya Edo diatas piring.
“Huss! Berisik!” kata Edo memperingatkan sambil menaruh jari telunjuk di depan bibir.
“Ciahh, gaya kamu kayak orang hebat saja! Eh dengar ya Do, mending kamu tulis cerpen judulnya tanda baca titik (.) terus kamu tulis ceritanya cuma tanda titik saja (.).. lalu Ikutin lomba tingkat internasional, dijamin kamu bakal masuk ‘Rekor Dunia’ sebagai penulis cerita terpendek di dunia. Kamu pasti dapat hadiah banyak, seperti Kunto Hartono dari Indonesia yang pernah memecahkan rekor main drum paling lama di dunia!” kata Satria mirip dosen baru kalau lagi ngajar di kampus.
“Hm.. Terus maknanya apa cerita itu kalau cuma tanda titik doang? kan semua ada aturannya!” Edo memberi penjelasan. Satria mengambil pisang goreng lagi dan memasukkannya ke mulutnya, seraya berucap, “Kamu ahli sastra tapi tidak ngerti seni, Do.. Maknanya ya tanda baca titik itu! Kalau dijabarkan ya luas, mulai asal muasal tanda titik, pertama kali titik dipakai, dan seterusnya dan sebagainya! Kamu harus melawan arus Do!” kata Satria dengan suara seperti bebek makan kodok kecil.
“Ah, masa bodo! Ngikutin kamu malah puyeng kepalaku!” Edo mengetik dengan cepat menggunakan dua jari telunjuknya. Bahkan dia sesekali melakukan manuver dengan menggunakan satu jari saja, yaitu jari telunjuk kanan. Tidak disangka pisang goreng di piring habis oleh Satria, tangannya menggapai-gapai cuma menemukan ‘cuilannya’ saja. Ah! daripada tidak kebagian sama sekali, pikirnya.. Aem nyam nyam!
Jam sembilan Satria pulang ke rumahnya. Sampai di rumahnya dia teringat ponselnya tertinggal di atas meja Rumah Edo. Akhirnya dia balik ke rumah Edo. Dia pulang lagi, eh ternyata ponselnya Rini adik Edo yang masih SMP yang dia bawa. Ah!
—
Di luar sekolah SMA Masa Depan ada seorang pak tua penjual mainan anak-anak. Satria tahu, dan dia kasihan melihat pak tua itu. Sepertinya dagangannya kurang laku. Lagian jual mainan anak-anak kok di sekolah SMA.
“Jualan apa pak?” tanya Satria.
“Ini den, mainan anak-anak! Mau beli den? Dari pagi saya jualan belum laku! Tadi saya jualan di SD Mini Mungil eh anak-anak disana mainannya PSP, i-pad dan lain-lain. Tidak laku den! Siapa tahu saja di SMA ini bisa laku!” kata pak tua itu menghiba. Sebab pak tua itu punya anak dua, putri semua, dan butuh biaya sekolah. Satu SMP, satu SD. Belum uang sakunya, belum belanja di rumah, ahh miris!! “Satu berapa pak? Nih saya beli dua puluh ribu!” kata Satria. “Terima kasih den, dapat empat!” kata pak tua itu gembira sembari memberikan empat bungkus mainan anak-anak pada Satria.
Pulang sekolah Satria menyusuri jalan belakang di kompleknya. Sebab di sana banyak anak-anak kecil yang sedang bermain. “Hai bro! sini aku kasih mainan!” Satria memanggil mereka. Enam anak kecil datang, mainan dibagikan. Yang dua anak tidak kebagian, menangis dan lapor ibunya. Dua orang ibu-ibu datang, yang satu di kanan yang satu di kiri, langsung menjewer telinga Satria satu-satu.
“Kalau ngasih orang itu yang adil!”
“Aduh!!”
“Yang lain dikasih anakku tidak!”
“Aisshh!”
“Kalau tidak ngasih ya jangan dipamerin!”
“Atahh!”
“Jangan sombong!”
“Assshh!”
Uhuhhhh (telinga Satria jadi panjang mirip kelinci). Itulah orang yang berbaik hati, harus rela berkorban!
—
Di depan rumahnya Satria menemukan sebuah gulungan kertas usang. Dia buka gulungan kertas yang telah robek itu, ada tulisannya, jelek banget! Lalu dia baca: “Peta Duit Karun! Start dimulai dari perempatan patung pahlawan kota atap!” Satria langsung melangkah menuju ke perempatan yang dimaksud peta itu, yang ternyata ada di kotanya. “Kedua, langkahkan kaki maju ke depan sebanyak sepuluh langkah! Ada pohon jambu, panjatlah! Ambil sebanyak-banyaknya! Dan makan! Sebab orangnya pelit! Namanya Pak Sudi!” Satria melangkah sepuluh langkah kedepan menyeberangi jalan. Dia memang ingat dulu ada orang yang namanya Pak Sudi ditempat ini. Tapi sekarang sudah pindah, dan pohon jambu itu kini sudah berubah menjadi mini market.
“Lalu masuklah gang komplek, setelah masuk beloklah ke kiri dan berjalan sepuluh langkah ke depan, dijamin nabrak tembok!” Ah, ngaco nih peta! Satria menuruti saja perintah peta itu. Tapi tidak dengan nabrak temboknya. “Dan berjalanlah ke timur sepuluh langkah! Di mana matahari terbit, nah itulah arah timur! Lalu carilah rumah mungil yang asri dan pemiliknya seorang yang imut! Di pojok pagar duit karun itu ditanam! Selamat dan sukses selalu!”
Satria melangkah sepuluh langkah ke timur, ternyata dia balik lagi ke rumahnya! Dia cari di pojok-pojok pagar rumahnya. Dia kais-kais tanah yang agak keras itu, dan dia menemukan sesuatu! Sebuah celengan ayam jago dari tanah liat. Satria ingat, ternyata celengan itu adalah celengan yang dia tanam di sana waktu dia masih SD! Dia takut celengan itu habis buat jajan, lalu dibuatnya sebuah peta harta karun. Tapi berhubung masih kecil jadinya Peta Duit Karun. Dan kertas peta itu ada di depan rumah, mungkin ibu Satria yang menemukan kertas itu lantas dibuang di depan rumah. Dengan hati yang berbunga-bunga dan berbuah banyak, Satria membawa celengan itu ke dalam kamarnya. Asyik! (tapi dia tidak tahu uangnya masih laku apa enggak!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar