Yosi bangunnnnn. Jam 6 lebih banyak banget nih. Kakak mau upacara. YOSI!… YOSI!…”
“YOSIIIIII.” Teriakku sambil berjalan ke kamar. “KEBLUK! YOSI! Bangun! Jam 6 lebih nih kamu belum mandi juga, cepetan atau ga kakak tinggalin nih!”
“Ah ka, kemarin Yosi baru pulang kemping, masih ngantuk. Kakak duluan aja deh.” Jawabnya enteng tanpa beranjak dari bantalnya.
“Euh.. Dasar kebo. Tau gitu kakak berangkat aja dari tadi. Mana telat lagi!” Ucapku sambil melengos pergi ke lantai bawah.
“Mah kakak berangkat.” Pamitku pada mamah.
“Sendiri kak? Mana Yosi?”
“Kebluk. Udah ah mah kakak udah telat. Berangkat dulu ya mah. Assalamualaikum.”
06:20. Kuhidupkan motorku di antara gempuran kekesalan di awal hari. Sudah seharusnya hari ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Selain karena hari ini adalah hari senin, juga karena hari ini aku harus menjadi pengibar bendera. Bagaimana ceritanya pengibar bendera bisa datang terlambat, sungguh terlalu.
Pagi ini, pagi yang lumayan melelahkan, lumayan dingin juga, pas sekali seandainya kuputuskan untuk tidak berangkat sekolah dan tetap berada di rumah, bersemayam di bawah selimut tebal yang hangat. Ah sudahlah, angan kosong tak usah dipelihara, nikmati saja apa yang ada walaupun sebenarnya aku tak bisa menikmati suasana pagi ini. Gas motor maticku kupacu cepat dikisaran 50 km/jam. Tapi itu hanya berlaku untuk beberapa menit saja. Sisanya jalanan sudah nampak penuh dan tak bisa lagi ku konstankan kecepatan tadi. Susah payah ‘nyelempet’ sana sini sampai akhirnya aku bisa keluar dari hiruk pikuk kendaraan senin pagi.
Kulirik kembali jam di tangan kiriku, hanya 20 menit lagi menuju jam 07.00 sementara masih tersisa setengah jalan lagi untuk sampai ke sekolah. Kulihat di depan banyak orang yang memutar balikkan motornya ke arah berlawanan. Pengalamanku yang setiap hari melewati jalan yang sama mengisyaratkan beberapa meter di depan ada genangan banjir. Dan ternyataaaa itu bukan banjir, itu adalah genangan sisa banjir kiriman yang sudah surut dan menyisakan lumpur licin berwarna coklat. Kuteruskan saja perjalananku menembus sisa banjir itu, karena memang tak ada waktu lagi mencari jalan alternatif yang kering.
Dengan sangat hati-hati kukendarai motor agar tidak tergelincir dan mencipratkan air ke baju seragam yang baru kuganti. Hati-hati, pelan-pelan, dan ‘clupppp’ tepat di pertigaan jalan kakiku yang telah dipasangkan sepatu untuk upacara harus kurelakan masuk air karena terpaksa menahan motor dan kalah dengan seonggok bus tua yang membelokkan badannya menghalangi jalanku.
TIDAKKKKKKK!
Sepatuku yang kanan habis tercelup air, termasuk kaus kaki putihku ikut-ikutan ‘nyemplung’ dan kini keduanya sudah berwarna lumpur alami. Hanya sisa 15 menit lagi menuju jam 07.00, sepanjang jalan aku memikirkan jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini, dan hanya ada dua pilihan. Pulang kembali dan beralasan sakit atau meneruskan perjalanan dan menjadi pengibar dalam keadaan seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk menepi dan membuka sepatu kanan beserta kaus kakinya. Kuletakkan keduanya di atas pijakan kaki motor maticku, dengan harapan semoga saja saat sampai di sekolah keadaannya sudah berubah lebih baik, tak terlalu becek dan basah. Kuputuskan meneruskan perjalanan ke sekolah, karena aku tak ingin dicemooh kawan dengan alasan meninggalkan tanggung jawab. Ini resikonya, aku harus hadapi dengan penuh tanggung jawab! MERDEKA! Semangat upacara bendera hari senin mengalir lewat aliran banjir dan merasuk dalam sampai jiwa.
Keep fighting. Motor melaju gagah, kaki kiri bersih utuh didandani kaus kaki dan sepatu hitam berkilau, kaki kanan bersih polos tanpa ada sepatu ataupun kaus kaki yang mendadaninya, tekad kuat, semangat 45 dalam setiap tarikan gas motorku. Kunikmati perjalanan sambil sesekali menginjak sepatu untuk mengecek keberadaannya. Aman. Ada. Perjalanan lurus dan mulus tanpa terlihat adanya kemacetan di depan, kubelokkan stang ke kiri menembus sebuah jalan kecil, kaki kanan mengecek sepatu dan aman. Beberapa detik kemudian kubelokkan stang ke kanan menembus jalan kecil berpolisi tidur, kaki kanan mengecek sepatu dannn
“Loh? Mana sepatu?” aku menepi dan melihat ke bawah tak ada sepatu kanan di motorku, kulihat kaki kananku, tak ada sepatu terpasang, ku tengok belakang tak juga ia menampakkan batang hidungnya. Ku tengok ke kiri hanya nampak batang hidung seorang lelaki muda seusiaku. Ia memperhatikanku dan tampak seperti menahan tawa geli di mulutnya. MALUUUUU! Ku belokkan motorku ke arah berlawanan. Tak seperti beberapa menit lalu, kini semangat patriotismeku turun. Tekadku yang kuat untuk tetap berangkat sekolah dan mengibarkan bendera merah putih harus surut.
Kawan, bayangkanlah waktu tersisa beberapa menit lagi, aku harus membuat keputusan cepat dan tepat. Sepatuku hilang sebelah, bagaimana bisa aku tetap bersikukuh mengibarkan bendera merah putih dengan sepatu sebelah atau tak memakai sepatu, jika ini hari biasa mungkin aku masih bisa meminjam sepatu teman yang lain, tapi ini hari senin, semua memakai sepatunya masing-masing saat upacara.
Akhirnya kuputuskan memilih rencana cadangan yaitu pulang dan beralasan sakit. Ya ini terpaksa kulakukan karena bisa terbayangkan teman satu sekolah akan mentertawakanku dan sudah tak ada guna jika kupaksakan tetap berangkat, takkan bisa mengibarkan bendera upacara tanpa pakaian yang lengkap. Semoga akan ada anak paskibra yang menggantikkan posisiku, semoga pula teman-teman tak mengutuki tingkahku.
Baru beberapa meter ban menggelinding, di arah berlawanan kudapati sebuah sepatu seakan melambaikan tangan mencari tuannya. Senangnya hati ini, ‘tenang nak, aku datang’. Kujemput ia, tengok kanan, tengok kiri, seberang jalan, belok, menepi dan parkir. Tengok kanan, tengok kiri, kuhampiri ia ke arah tengah jalan dan mengambilnya. Aku berbalik dan TIIITTTTTT… bunyi klakson menyeru.
“Woy hati-hati bang.” teriakku sebal karena kurasa ia yang salah dan tak fokus sampai hampir menabrakku. Sekilas kulihat helm dan motornya “Oh God itu tadi Kak Rian.” Kakak kelas kece. Aku harap ia tidak melihatku tengah beralas kaki sebelah di jalan raya, kalau iya bisa malu berat aku.
10 menit lagi, kuputuskan untuk bergegas kembali meneruskan perjalanan menuju ke sekolah, tak jadi pulang ke rumah. Sesampainya di sekolah, barisan peserta upacara sudah nampak penuh dan sekitar 5 menit lagi upacara akan dimulai. Setelah memarkirkan motor segera kuberlari menuju toilet terdekat dan membersihkan sepatu seadanya, kemudian memakainya. Tapi, kenapa rasanya beda dan aneh. Bukan hanya basah rasanya, tapi ada hal lain.
Alhamdulillah, upacara berjalan dengan lancar walaupun ditemani sepatu kanan yang basah kuyup. Sementara peserta dan pelaksana upacara yang lain masih sibuk di lapangan, aku segera berlari ke kelas dan melepas sepatuku yang terasa tak seperti biasanya. Aku membuka keduanya “Astagfirullah ini bukan sepatuku. Pantesan gak enak.”
Kejadian tadi pagi melukiskan sejarah yang super memalukan dalam hidupku. Habis parah aku menjadi bahan tertawaan teman sekelas. Dasar Dio, berani-beraninya dia menceritakan kejadian ini pada semua orang di kelas. Untunglah sepotong roti coklat bisa kumasukkan ke mulutnya yang ‘lemes’ itu dan menjambaknya sebelum ia berlari lepas dari kelas. Dio itu cowok, tapi entahlah kelakuannya memang begitu, caper dan suka mencari sensasi. Jika saja Bu Tini tadi tak memanggilku, mungkin hal ini takkan terjadi, aku tak akan meminjam sepatu Dio.
Pagi tadi saat yang lain sibuk berhamburan ke luar kelas mencari sesuap jajanan, hanya ada aku dan Dio yang tersisa di kelas. Sampai akhirnya, Vina, anak kelas sebelah –bukan berarti kelasnya cuma sebelah- datang menghampiriku di kelas.
“Ri dipanggil Bu Tini suruh ke ruangannya”
“Oh oke sip Vin, makasih ya.” Vina pergi dan kembali tersisa aku dan Dio di kelas. Aku menghampirinya, ia masih tetap anteng ditemani headphone putihnya, polem –poni lempar- nya yang panjang hampir menutup penuh sebelah matanya yang terpejam menikmati alunan lagu.
“Yo” tak ada respon.
“Yo” ulangku sekali lagi.
“Dio” ulangku lebih keras.
“Budeg!” ulangku lebih keras sambil membuka headphonenya. Ia masih tetap mengangguk asik seakan masih terputar lagu padahal headphone telah terlepas.
“Situ lagi ngapain sih? So asik banget, hp lu sono gak kepasang kali.” Ucapku sambil menunjuk handphone yang tergeletak tak terpasang headphone di mejanya. Ia yang tengah duduk sendiri di pojok hanya menatapku sekilas dengan gayanya yang sok cool dan masih tenggelam dalam imajinasi nyanyian kosong di telinganya.
“Dio ganteng, liat aku deh bentar.” Ucapku seolah merayu padahal dalam hati kesal minta ampun. Ia mengarahkan pandangnya padaku kali ini, poninya ia lemparkan, mata sok cool ia pamerkan kemudian ia picingkan tanpa sepatah kata.
“Dio cakep aku pinjem sepatu kamu ya, boleh kan?” peraturan di kelasku semua siswa tidak diperbolehkan memakai sepatu di kelas kecuali guru dan tamu, artinya aku hanya bisa meminjam sepatu Dio untuk pergi ke ruangan bu Tini karena hanya ada sepatu dia yang sedang tidak dipakai. Sedangkan sepatuku yang basah kubiarkan ia bersemayam sendiri menikmati hangatnya sinar mentari di tempat tertinggi dan jauh dari keramaian.
“Hooh” jawabnya sambil memandangku dengan cuping hidung yang dibukanya lebar-lebar, menyebalkan.
Aku segera berlari ke ruang Bu Tini, singkat cerita setelah mengobrol panjang lebar dengan Bu Tini, ia menyuruhku mengantarkan setumpuk buku ke kelas XII IPA 3. Dalam hati aku mengumpat ‘Ah bu kenapa gak ke kelas XII IPA 2 aja sih bu, biar ketemu kak Rian’.
“Oh ya Ri, tolong sekalian panggilin Miranda XII IPA 5 ya suruh menghadap ibu sekarang.”
“Baik bu.” Aku langsung berbalik dan ke luar ruangan Bu Tini disaat yang sama pula Dio berlari ke arahku.
“Ri copot dong, gue mau pake sepatunya.”
“Yah yo, tunggu sebentar deh. Lo gak liat napa gue harus nganter segini buku ke kelas orang. Bukannya bantuin ngangkat, kan berat. Emang situ mau kemana?”
“Maen bola.” Jawabnya cepat dan singkat.
“Ya bentar deh. 5 menitan paling.”
Setelah melewati negosiasi yang cukup sengit dan singkat akhirnya…
“Ya udah deh gue aja yang nganter.” Sahut Dio
“Gak usah ah, gue mau sekalian modus ke XII IPA 2. Hihi…”
“Ya udah gue bantuin lo aja biar cepet. Sini.” Akhirnya hati Dio luluh untuk tetap meminjamkan sepatunya dan membantuku.
-Perjalanan di lorong menuju XII IPA 3-
“Yo, situ mau nyeker aja?”
“Ya abis gimana lagi, masa gue biarin cewek yang nyeker.”
“Hihi.. lo kadang baik juga ya. Makasih ya.”
Hingga akhirnya sampai di kelas XII IPA 3 dan menyerahkan setumpuk buku titipan Bu Tini.
“Eh bentar yo, gue disuruh manggil kak Miranda XII IPA 5 dulu, tunggu ya.”
“Oh ya udah sana cepetan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar