Sabtu, 19 November 2016

Bos! Dia Anak Mu

“Duuhh!! Sial!! Telat dah gue!” Aku menepak jidatku setelah melihat angka di jam yang melingkar manis di pergelangan tanganku.
~23:15~
Aku membetulkan posisi kacamataku. Dan menstarter motor matic merah jambuku.
“Arrgghh!! Nih motor kenapa pake acara mogok segala sih!” Aku mengambil semua berkas kontrak yang ada di box motor dan bergegas menuju halte. Kost-anku memang cukup jauh dari pusat keramaian. Semoga saja ada kendaraan umum jam segini.
HOSSHH… HOSSHHH…
Aku berlari terengah-engah. Sepertinya asmaku kambuh. Aku memperlambat langkahku, untuk mengatur napas. “Hiiihh… Serem banget. Semoga aja gak ada setan yang demen sama gue.” Aku melirik pada jam, 23:25. Aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas. Jalan sempit nan gelap jarang dilalui orang pada malam hari. Tapi mau apa lagi! Yang penting cepet nyampe halte. “Duh… Rese emang ya punya bos botak! Merintah seenak jidat. Gimana bisa gue nyampe bandara dalam waktu satu jam coba, kalau keadaannya kayak gini!” Aku berlari kecil setelah ku rasa napasku sudah mulai teratur.
“Ganggu orang lagi ngorok aja. Pake acara meeting dadakan segala. Bisanya gue betah jadi sekretarisnya, dih. Lihat aja, pagi ini surat pengunduran diri gue bakal hinggap di meja ker–” Aku berhenti mengumpat, ketika tiba-tiba suara bising di pojokan jalan membuat bulu ketekku merinding.
BUGH!! BUGHHH!!!
Aku memeluk erat tubuhku, ketika berjalan mendekati suara bising itu. Seorang pria malang tengah dikeroyok tiga orang pria berbadan besar. Ah, ya ampun! Di mana nilai keadilan? TIGA-LAWAN-SATU?! Aku harus melakukan sesuatu. NGIUNG…. NGIUNG…. NGIUNG….
“Pak polisi!! Di sini!! Cepat tangkap para begal item ini!!!”
“SIAL! Polisi! Cabut, cabut!” Kata salah satu dari mereka. Kemudian ketiganya melesat cepat dengan sepeda motor besarnya. “Haha… Sama Alarm aja keok!” Aku mematikan bunyi Alarm di HP-ku. Kemudian mendekati pria malang yang terkapar bak duyung nyasar.
“Oh, dear!! Lo gak apa-apa kan? Sini biar gue bantuin.” Aku membantunya berdiri. Aku tidak tahu seberapa parah lukanya. Di sini gelap banget.
“Lo ada nomor yang bisa dihubungin? Kayaknya luka lo parah banget. Biar gue lihat bentar.” Aku menyalakan flash HP-ku, dan mengarahkan pada wajah pria itu. Dan OMG!
Sumpah demi apa pun! Caesar Yunani, kah? Dia ganteng bangeettt. Lensa matanya berwarna Amber. Coklat keemasan yang memikat. Rahangnya tegas. Alisnya tebal bak artis korea. Bibirnya tidak tebal, tidak tipis. Sempurna. “Eh–” Dia memegang pergelangan tanganku.
“Gue gak apa. Mobil gue di sana.” Katanya seraya mengedikan dagu pada sebuah mobil di sebrang jalan ini. Aku membantunya berjalan sampai ke mobilnya. Dan sepertinya mobil merah itu dapat mencolok mataku seketika.
“Wah… Ini kan mobil yang dipake sama David Beckham. Yang ada di majalah si Bos Botak itu.” Kataku tanpa sadar.
Drrrttt… Drrrttt. HP-ku bergetar. Pesan masuk dari Bos-ku.
“15 menit gak muncul, tamat riwayatmu!”
“Dasar Bos botak!! lihat aja, gue bakal ngundurin diri secepatnya! Rasanya gue pengen menguliti kepala botaknya itu!” Kataku sebal.
“Lo masih bisa nyetir kan? Anter gue ke bandara sekarang!” Kataku tanpa izin duduk di samping kemudi pria itu. Pria itu mengerutkan dahi tanda bingung.
“Oh, ayolah. Aku cuma punya waktu 10 menit dari sekarang! Anggap aja ini balas budi karena aku udah tolongin kamu tadi. Ya… Pleaseee…” Aku memasang wajah memelas andalanku.
“Dasar cewek aneh. Pasang sabuk pengaman lo!”

“Whoooaaaa!!! Ghighi ghue rohntohk!!!” Kataku histeris. Pria ini mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rasanya bulu ketekku bertebaran sepanjang jalan. Semilir angin malam seperti menampar keras wajahku. Aku bersumpah, tak akan ku beli mobil tanpa atap. Masuk angin yang ada!
“Turun lo! Nyampe nih!” Katanya setelah mobil berhenti di sebuah bandara. Aku menggeledah isi tas kecilku dan mengambil inhaler asma ku. Kuhirup dalam-dalam. Setelah kurasa aman, aku segera turun dan berlari mencari bos ku itu. Tak ku hiraukan pria itu meneriakkan sesuatu padaku. Aku terus berlari.
“BOS!!” Hoshh… hoshhh… Aku memegang perutku, dan terbatuk kecil. Malam ini, aku benar-benar diuji fisik yang menguras tenagaku.
“Mana berkas kontraknya!” Kata Bosku to the point. Benar-benar! Gak lihat apa keringet gue segede-gede gundu? Suruh duduk apa!
“Saya dengar itu, Melody!” Bosku berkacak pinggang. Ah, tanpa sadar aku menyuarakan apa yang ku pikirkan.
“Sekarang serahkan berkas kontraknya!” Katanya lagi. Aku berdecak sebal dan menyerahkan berkas- Oh tidak! Di mana berkas terkutuk itu?! Aku memandang tangan kosongku.
Berkas itu tertinggal di mobil pria tadi. Kelarlah hidupku detik ini juga. “Nona Melody! Di mana berkas kontraknya?!” Suara Bosku menggelegar sampai ke penjuru bandara yang mulai sepi. Aku meremas ujung bajuku. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Hei!! Cewek aneh!! Punya lo ketinggalan nih!” Aku mengerjap. Sekali. Dua kali. Pria itu datang membawa berkas kontraknya! Entah apa yang ada di pikiranku, aku mendekati dan memeluknya. Dia benar-benar Pangeran berkuda mesin penyelamatku.
“Eh… Lepas! Lo apa-apaan sih!” Pria itu mendorongku pelan. Aku lantas tersenyum. Dan mengambil berkas kontrak terkutuk itu dari genggaman pria itu.
“Afisena! Sedang apa kamu di sini?! Ada apa dengan wajahmu?” Bosku menghampiri pria itu -yang ia sebut Afisena.
“Oh. Biasa lah, Pa. Anak muda. Oiya, cewek ini sekretaris Papa? Tadi dia nolongin Sena di jalan, jadi agak telat.” Kata pria itu menjelaskan peristiwa tadi. Tunggu dia bilang apa tadi?
“Papa mau ke Paris malam ini? Cewek ini gak ikut kan, Pa? Sena pinjam ya. Sepertinya Sena tertarik dengan sekretaris yang ingin menguliti kepala botak bosnya.” Lanjutnya, ia mengerling ke arahku. Aku bingung mencerna apa yang tengah terjadi saat ini.
“I…. i… ini Bos berkas kontraknya sudah lengkap di sini.” Tanganku bergetar menyerahkan berkas kontrak itu pada Bosku.
“Terima kasih Nona Melody. Anda sudah membantu anak saya.”
GLEK. ANAK SAYA? Bola mataku membesar. Aku dengar cekikikan dari pria itu -Afisena.
“Bos, dia anakmu?”
The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar