Sabtu, 19 November 2016

To Whom May It Concern

Tak habis pikir aku merasakan tak enaknya menjadi pengangguran intelek. Kau tahu pengangguran intelek itu apa? Ya, seorang sarjana muda yang tidak punya pekerjaan. Peraih predikat terancam cumlaude saat masih kuliah, kini, setelah lulus, aku terancam nganggur. Rasanya semakin perih ketika aku juga menderita patah hati tingkat dewa. Lantaran perempuan yang aku incar selama hampir 2 tahun terakhir akan dilamar oleh orang lain. Lengkaplah batin ini tersiksa.
Shinta Naomi perempuan itu. Gadis kelahiran Malang 21 tahun silam. Perempuan yang ingin aku temui saat ini untuk mendengarkan langsung dari mulutnya bahwa Rizal Abraham tak jadi melamar. Paling tidak Rizal itu bicara padaku empat mata menunjukkan sedikit simpati atas hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun yang telah kami lalui bersama. Atas nama cinta pertamaku pada Naomi dan menunjukkan sedikit rasa penghormatan untukku terakhir kalinya.
“Ku dengar Naomi sudah dilamar Rizal, anak Pak Samsul yang kaya itu.” Begitu kabar tunangan itu muncul pertama kali dari mulut Gilang.
Seketika itu pula leherku seakan terjerat tambang jangkar perahu tangker. Beberapa detik kemudian kaki lemas, tubuh seperti tak punya tulang, lunglai. Aku mencoba untuk sangsi, namun perasaan jatuh ini sudah terlanjur dalam. Sangsi itu naik menjadi frustasi, lalu menjadi putus asa, kemudian menjadi marah. Marah pada diri sendiri karena telat langkah. Marah pada Rizal yang merebut Naomi secara halus dari keadaanku yang terpuruk ini. Marah pada situasi yang runyam, entah perasaan apa lagi selanjutnya yang harus aku jelaskan di sini.
Seperti sebuah skenario dalam sebuah telenovela. Seorang kekasih direbut oleh seorang antah berantah, lantaran dijodohkan, soal derajat dan martabat, atau perkara utang-piutang, warisan dan harta benda semacamnya. Atau seseorang yang sudah mengincar seorang perempuan, menahannya bertahun-tahun, lalu malah nikah sama orang yang baru dikenalnya tiga bulan yang lalu. Atau yang lebih mirisnya lagi, sepasang kekasih yang sudah berikrar membangun rumah tangga, tahu-tahu bubar lantaran sang mantan tiba-tiba muncul di pasar baru. Pertemuan itu biasanya ketika ban mobil pecah dan seorang montir jalanan yang gantengnya tak masuk akal, lalu benih-benih cinta muncul perlahan, menghanguskan butiran cerita indah di belakangnya. Aku perhatikan setiap ada prahara cinta macam ini, minimal si perempuan meninggalkan sepucuk surat sebagai pesan terakhir untuk orang yang selama ini dekat dengannya.
Saat ku tanyai kabar lewat sms, bbm, whatsup, line, we chat, facebook, twitter, instagram, dan friendster, tak sepatah kata pun ku dapati pesan itu dari Naomi. Perasaan marahku itu kini naik kelas lagi menjadi hampa. Hampa itu sepi. Sepi seperti kuburan. Sepi bisa berarti kosong. Sekosong balon gas yang diisi oleh helium di pasar malam. Aku menjadi penasaran pria macam apa sih yang bernama Rizal Abraham itu? Ku tanya Gilang tentang tempat tinggal orang ini. Karena dari dialah kabar lamaran itu muncul, setidaknya Gilang tahu di mana Rizal tinggal. Lalu ku pacu sepeda motorku sekarang juga.
Satu-satunya informasi yang aku hafal adalah Rizal anak orang kaya. Informasi itu sekaligus meruntuhkan semangatku untuk melabraknya. Dalam benakku sekarang ini Naomi, anak pertama dari 4 bersaudara, pantas menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya. Perempuan itu adalah anak dari pasangan guru. Ayahnya adalah pengajar Matematika di SMA di mana kami bersekolah dulu dan ibunya adalah seorang guru SD. Yang gajinya cukup untuk menyekolahkan keempat anaknya sampai SMA. Naomi mampu kuliah karena ia mendapat beasiswa dari salah satu perguruan tinggi, sama sepertiku. Justru kami diketemukan dalam program beasiswa itu. Menikahkan Naomi dengan orang kaya mungkin pilihan paling rasional untuk mengurangi beban ekonomi keluarganya. Jadi ku rasa pantas-pantas saja Rizal melamar Naomi, terlebih bila Naomi menerimanya.
“Aku penasaran, Rizal itu pekerjaannya apa sih?” tanyaku.
“Katanya sih, dia mewarisi usaha keluarganya.”
“Usaha apa?” tanyaku selanjutnya.
“Entahlah.”
Lalu apa hakku untuk menghentikan peristiwa ini. Inilah yang ku maksud aku marah pada diri sendiri. Aku tak bisa berbuat apa-apa bahkan tak punya pekerjaan. Itulah mengapa Naomi lebih memilih orang lain yang pantas. Setidaknya orang itu punya usaha. Satu jam aku mencari rumah Rizal. Mengacu pada arahan Gilang, akhirnya kami dapati alamat rumah sederhana di ujung komplek. Rumah itu tak seberapa besar. Halaman depannya hanya sepetak untuk parkir satu buah mobil. Dan besi bermesin itu terparkir di sana. Beberapa langkah ke utara sebidang tanah ditanami berbagai tumbuh-tumbuhan semacam kebun mini di depan rumah. Di sebelah utaranya lagi, berdiri bangunan sederhana yang oleh pemilih rumah dijadikan toko. Ku lihat toko itu menjual sembako. Aku akhirnya berkesimpulan bahwa Rizal dan keluarganya memiliki usaha warung sembako.
Aku melewati pagar kayu toko itu. Mengucapkan salam, alih-alih seperti orang mau membeli sembako, aku mengamati perlakuan toko ini. Di etalase depan berjejer produk beras. Beras-beras itu dibuat menggunung di tempatnya masing-masing. Beras-beras itu dikelompokkan berdasarkan jenis. Beras lokal berada di barisan paling pertama, seperti: Beras Rojolele dan Beras Cianjur. Sementara Beras Saigon dan Beras Ramos ditempatkan terpisah. Aku melirik meja pajangan di barisan kedua. Di meja itu berderet-deret wadah-wadah. Di dalamnya tersimpan bermacam-macam rempah-rempah. Bumbu-bumbu dapur dari berbagai merek tergantung pada sebatang besi di atasnya. Sungguh tatanan etalase kelas kakap. Namun kekagumanku, tetap tak dapat meredakan hatiku yang menyala-nyala.
Di ujung toko ini, mengerling sesosok pria berbadan tegap. Ia mengampiriku. Wajah pria itu terhalang oleh gantungan bumbu-bumbu tadi. Dari balik gantungan itu, pria ini menanyaiku, “Ada yang bisa saya bantu?” Suaranya. Ya suaranya, teman. Suara dan intonasi itu mengingatkanku pada seorang pembaca berita di televisi. Berat, merdu, dan berwibawa. Rata-rata pemilik suara indah itu, berbanding lurus dengan wajahnya. Benakku berkelebatan sesosok pria tampan macam Matt Damon, Nicolas Saputra, dan David Beckham. Benar saja, aku tergagap-gagap ketika pria yang wajahnya tertutup gantungan bumbu-bumbu tadi muncul. Pria itu ganteng bukan main. Aku lihat dari atas kepala sampai ke mata kaki. Makhluk ini jauh berbeda denganku. Ia memiliki postur tubuh bak pemain sepak bola, tinggi tegap.
Wajahnya laksana pemain telenovela yang sekali mengerling pada kamera, wanita-wanita langsung jatuh pingsan. Tatanan rambutnya seperti di-style oleh hair stylish terkenal dan pakaiannya kasual sengaja agar pembeli minat datang. Aku mulai paham. Mereka yang memiliki keelokan paras dan suara yang berkarakter dipadukan dengan kepribadian yang apik akan memiliki kesempatan lebih dalam mendapatkan cinta Naomi. Wujud yang ada di depanku ini tak tercela, tanpa celah dan aku merasa menjadi makhluk paling tak pantas mendapatkan Naomi. Berbanding terbalik denganku, sehingga keputusasaanku tentang mana lelaki yang disukai banyak perempuan dengan lelaki yang tidak semakin jelas.
Aku tak melepas pandangan getir ini di hadapannya, pria elok itu malah tersenyum padaku dan bertanya lagi, “Ada yang mau dibeli, Mas?” Akhirnya aku maklum bila Naomi menerima lamaran Rizal. Wong orangnya cakep, badannya bagus, senyumnya ramah, stylish, dan memiliki profesi. Walaupun aku masih tak percaya bahwa profesi makhluk seganteng dia adalah penjaga toko. Perlahan-lahan, lantaran tak mampu menjawab dua pertanyaan formal itu karena terpana pada kenyataan, aku melangkah mundur. Aku pamit, sementara pria gagah itu terbengong-bengong. Ku pacu sepeda motor ini. Kencang. Anginnya menerpa-nerpa tubuhku seperti rasa putus asa yang menampar-nampar batin ini. Berkecamuknya antara batin dan pikiran membuat daya ingatku menurun, aku lupa jalan pulang.

Setelah bertemu dengan pria elok nan rupawan itu, tiba-tiba aku merasa benci pada diriku sendiri. Tiba-tiba aku tersiksa karena aku sekarang membenci Naomi dan Rizal. Di samping aku membenci keduanya, aku menghormati kelebihan lelaki dan keputusan perempuan itu. Ah, pokoknya rumit. Akhirnya ku putuskan untuk melupakan perempuan yang aku sukai itu. Aku mencoba untuk melupakannya, Naomi malah menghantuiku. Makin aku berusaha melupakan gadis itu, semakin parah aku tersiksa menit demi menit. Seketika aku membandingkan dengan Rizal sang penjaga toko itu, kalah jauh. Jangankan postur tubuh atau pekerjaan, dari wajah saja aku.. ya sudahlah. Seketika itu pula aku berpikiran, kalaupun Naomi tak menginginkanku, ia harus mengucapkan kalimat selamat tinggal langsung di depanku. Tak apa. Aku siap mendengarkan semuanya darinya. Sekalipun aku mendengar pula kalimat paling klise di dunia, cinta tak harus saling memiliki.
Lalu aku benci lagi pada diriku karena aku tak bisa melupakan Naomi secepat itu. Tapi aku juga membenci diriku karena aku benci pada diriku yang tak bisa melupakan Naomi. Sungguh membingungkan keadaan ini. Malamnya aku bermimpi sangat ganjil. Ini mungkin dampak akut karena aku dan rasa benciku yang teramat sangat dalam. Dalam mimpiku, kedua variabel itu menjelma menjadi dua makhluk dengan kehendak masing-masing dan saling menyalahkan. Aku membenci diriku dan rasa benci itu membenciku. Aku yang mencintai Naomi membenci rasa benci yang membenci rasa cinta itu. Tiba-tiba kedua kebencian itu dilerai oleh dua sosok tak jelas yang mengaku mereka adalah penengah dari kedua masalah itu. Mereka bernama pekerjaan dan takdir.
Paginya aku terbangun. Mencoba mencerna mimpi ganjil semalam. Sosok pertama dalam mimpi adalah pekerjaan. Pekerjaan memang sedang kemarau panjang. Hampir 3 bulan setelah kelulusanku, aku belum mendapatkan pekerjaan. Masuk akal bila Naomi lebih memilih pria yang mempunyai profesi walaupun agak menutup mata pada profesi itu, mungkin karena Rizal adalah anak seorang yang kaya. Dan Rizal diwarisi usaha keluarga. Bisa menjamin masa depannya kelak. Tetapi aku ingin sekali lagi membuktikan bahwa aku masih layak untuk Naomi, aku harus mencari pekerjaan. Itu yang pertama. Yang berikutnya aku masih tak mengerti dengan sosok yang kedua dalam mimpi, yaitu takdir. Aku mencoba menerka bahwa berita lamaran itu adalah berita bohong. Kalau itu berita bohong dari mana Gilang mendengar berita bohong itu? Lalu kenapa ketika ku tanya kabar via jejaring sosial tak ada satu pun respon dari Naomi?

Satu per satu aku mengurai benang kusut ini. Aku mulai menyusun rencana sistematis. Urutan pertama aku harus berusaha sebisa mungkin mendapat pekerjaan tetap. Dengan pekerjaan masa depan keluarga ada di tangan. Dengan siapa aku akan menikah nanti akan mudah. Kalaupun takdirnya aku tidak dengan Naomi, dengan saudaranya, atau temannya, atau tetangganya, atau dengan orang lewat pun tak apa. Itu sudah sepahit-pahitnya nasib. Urutan kedua, aku harus bisa memastikan bahwa berita lamaran Rizal itu bohong. Dari mana aku memulainya, tentu dari kawan dekatku, Gilang.
Aku langsung bergerilya pada urutan pertama dan kedua. Aku mengirim banyak lamaran ke perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional. Sampai bosan rasanya aku menulis kalimat atas perhatian dan pertimbangan Bapak-Ibu, saya ucapkan terima kasih dan to whom it may concern. Sambil mengerjakan lamaran dan menunggu panggilan kerja, aku mencari tahu kebenaran berita Rizal melamar Naomi. Langsung ku kejar Gilang, entah itu anak ada di belahan dunia sebelah mana. Ternyata dia tidak di belahan dunia mana-mana –hanya ada di seberang rumahku, aku jejali dia dengan pertanyaan-pertanyaan macam reporter mengorek gosip artis ibukota.
Sampai pada pertanyaan klimaks, “Dari mana kamu dapat berita lamaran itu?”
Gilang menjawab tanpa tergagap, “Ibuku, mendengar dari tetangga sebelah yang saudaranya bekerja sebagai pembantu di rumahnya Pak Samsul.”
“Melamar Shinta Naomi?”
Gilang mengernyitkan alis, “Shinta Naomi?!”
Ada gejolak aneh dari tubuhku ini. Kernyitan Gilang menandakan sesuatu.
“Bukan Shinta Naomi, tapi Naomi Nur Dewinta.”
Hatiku berdesir, seolah air hangat merasuk kerongkongan yang sedang flu. Tak nyambung, tak apa. Jantungku hampir melompat keluar dari tempatnya. Rasa girang ini menuntunku pada kesimpulan, berita lamaran Rizal tidak bohong aku hanya salah orang. “Kemarin kau menanyakan alamat Rizal buat apa?” kata Gilang. Aku menerawang. Bayangan tentang pria ganteng bersanding dengan perempuan manis berubah menjadi pria ganteng bersanding dengan perempuan lain.
“Hei, malah ngelamun,” tegur Gilang.
“Orangnya ganteng, Lang. Ganteng bukan main.”
“Ganteng?!” alis Gilang mengernyit lagi. “Apanya yang ganteng?”
“Eh?” tiba-tiba aku menjadi kelihatan bodoh, bodoh yang kegirangan.
“Aku lihat sendiri orang yang namanya Rizal itu,”
“Ah, salah orang lagi..”
Ku kebut lagi motor ini meninggalkan Gilang tanpa pamit di belakang. Aku sekarang dihiasi perasaan berbunga. Pria yang aku temui tempo hari adalah bukan Rizal yang sesungguhnya. Dia bernama Egi. Ia adalah anak buah Rizal. Tugasnya ya menjaga toko sembako milik Rizal. Sementara Rizal merupakan anak Pak Samsul yang kaya raya itu. Perawakan Rizal, seperti yang dijelaskan Gilang, tidak lebih seperti polisi yang kegemukan, yang harus menjalani diet ketat lantaran perutnya menjatuhkan wibawa korps Polri. Membayangkan fakta bahwa aku salah orang, membumbunglah semangat hidupku. Rasa putus asa dan kebencian yang dulu merayapiku, tiba-tiba menguap cepat. Takdir itu, ya takdir itu mungkin yang dimaksud. Takdir bahwa Shinta Naomi tidak dilamar oleh Rizal yang atletis. Dan aku harus mengejar takdirku sendiri. Mengejar cinta Naomi sampai ke pelaminan. Tunggu aku Naomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar