Takdir selalu memberi kejutan. Kalian percaya kan? Kuatkan hati untuk menghadapi kenyataan yang tak sejalan dengan dugaan.
—
Farihah, “perempuan yang berbahagia”. Begitu kedua orangtua menyematkan doa dalam nama, agar hidupku bahagia. Tapi, aku hanya tersenyum getir. Mengingat nama tak senada dengan nasib yang menimpa. Rasanya, dunia benar-benar tidak punya sepetak tanah untuk kebahagiaan. Yang tampak hanya lautan kesedihan. Aku pikir menjadi wanita yang telah menikah adalah sebuah kebahagiaan. Akan dihadiahi senyum manis suami setiap pagi, ada tempat bersandar kala duka, menghadapi rintangan hidup bersama-sama, dan lainnya. Ah, itu hanya takdir sebagian wanita yang beruntung. Aku? Haha aku bukan bagian dari mereka. Tapi aku percaya, Tuhan Maha Adil.
Jujur, mengalami manisnya menjadi pengantin baru aku pernah. Tidak dipungkiri, yang pernah menikah pasti merasakannya. (Jomblo yang sabar ya!). Tapi, semua itu berubah saat Negara Api menyerang -no, no, no! Ini bukan Avatar. Benar, semuanya hanya bertahan beberapa bulan. Keramahan dan kasih sayang suami memudar. Waktu seolah melucuti topeng sandiwaranya. Dia menjadi pribadi, “Sahaok kadua gaplok katilu endog diceplok.” [1]. Seharusnya aku tidak berkelakar dengan menambah, “katilu endog diceplok”. Pasti tidak akan ada yang percaya bahwa hidupku menderita.
Perlakuan kasarnya padaku kebanyakan gara-gara hal sepele. Beruntung saat dia marah tidak menyetrika tubuh ini, seperti nasib segelintir TKW di negeri orang. Bersyukur kami tidak punya setrika. Apa jadinya aku? Sekujur tubuh bisa gosong. Ini kesekian kali dia berlaku garang, padahal kami baru menikah dua tahun lalu. “Hah!” teriak lelaki itu memanggil. Ku tegaskan, namaku FARIHAH. Tidak adakah panggilan yang lebih baik daripada “HAH” Saat itu aku tengah mencuci di belakang. Selain menjadi istri dari SYTD (suami yang tak dirindukan), aku juga bekerja sebagai buruh cuci tetangga. Upah yang didapat tidak besar, hanya Rp. 5000 per ember.
“Iya, Kang?” Tergopoh-gopoh menghampiri lelaki berkulit sawo terlampau matang.
“Aku lapar. Mana? tidak ada makanan? Jadi istri tak becus melayani suami!” hardiknya.
Ingin sekali aku bertanya balik, “Akang sudah becus jadi suami, belum?” Pertanyaan itu tak sampai ke kerongkongan. Takut. Bagaimanapun, dia suamiku. Harus aku hormati.
“Maaf, Kang, upah mencuci tidak cukup beli beras.”
“Hah, kau cuma beralasan! Aku tak peduli, yang penting perutku terisi saat ini!” Dia meneriakiku.
Matanya melotot, menginstruksiku membawa apa saja agar perutnya terisi. Sebenarnya, banyak yang bisa memenuhi perut lelaki berambut ikal kusut itu. Batu atau cucian yang masih di ember, setidaknya agar mulut yang menghitam karena rok*k itu berhenti meneriakiku. Tapi itu mustahil. “Kapan terakhir Akang memberiku uang hasil mengojek? Kapan?!” Lagi-lagi perkataan itu hanya bergemuruh dalam dada. Takdir menjadi istri yang malang sedikit pun tak terbersit! Sungguh, hal itu tak ada dalam daftar mimpi-mimpiku. Upah tak seberapa, untuk sekali makan pun tak cukup. Ditambah lagi, katanya rupiah melemah. Imbasnya? Yaa… harga kebutuhan pokok naik. Hidup sebagai manusia di bawah rata-rata kefakiran memang sulit. Teramat pelik!
“Kenapa malah diam, Hah?!” Suara menggelegarnya mengejutkanku. Sadar, dari tadi aku hanya mematung -sibuk meratapi nasib- di hadapannya. Aku menatap takut.
“Oh…,” Suamiku menyeringai dan berjalan mendekat, “mau aku pukul?!” Dia bukan saja mengancam. Tangan kekar itu benar-benar terangkat mengambil ancang-ancang sebelum mendarat di pipi. Aku memejamkan mata. Berharap ada orang yang menyelamatkanku seperti dalam adegan sinetron.
Plak!
Tidak ada yang mencegah tangan itu untuk melukai. Perih. Pipiku terasa terbakar. Sadar, aku hidup bukan dalam sinetron. Bulir air mata meluncur tiba-tiba. Sudah ku bilang, dia “Sahaok kadua gaplok” dan tanpa “katilu endog diceplok”. Mungkin setelah bertingkah garang membuatnya kenyang. Lihat! Suamiku melenggang pergi. Menurut pemikiran yang waras, tenaganya terbuang sia-sia. Andai tenaga itu disalurkan bekerja -membantu memeras cucian atau apa sajalah- lalu upah itu dibelikan gorengan, mungkin perutnya benar terisi makanan.
Dan yang teramat sakit ialah perasaanku. Memimpikan menjadi istri yang disayang bukan ditempeleng garang. Teringat nasihat mendiang kakek, “Sabar, sabar, sabar! Meski hidup lebih pahit dari empedu. Percayalah Allah Maha adil!” Ya, sepertinya kakek telah memprediksi bahwa aku, cucunya akan bernasib begini. Perihal perlakuan suami yang tidak manusiawi, aku tidak berdoa agar dia tersambar gledek atau terjungkal saat mengojek. Tidak. Jika aku memanjatkan doa seperti itu, kesabaran yang ku lakukan tiada artinya.
Mengadu? Kepada siapa? Hidup sebatang kara. Bapak ibu sudah tiada. Tak ada sanak saudara. Terdampar di wilayah asing mengikuti suami tercinta(?) Hallaaah… Malah bermain rima. Bagaimanapun jua, aku meminta kepada Allah agar dia sadar dan mendapat hidayah, serta memperlakukanku selayak istri tercinta. Hari itu aku larut dalam segara air mata. Ya, memang tak akan mengubah takdir yang menimpa. Tapi, setidaknya berton-ton beban di dada sedikit terasa plong macam mulut lepas sendawa.
—
“Euleuh, deudeuh teuing incu abah…, [2]” lirih kakek, jemari tangannya tak henti mengusap rambutku yang tergerai. Aku terduduk di lantai menyenderkan kepala pada lutut lelaki sepuh yang berada di atas kursi. “Keun nya, ulah sedih deui. Kanalangsaan maneh geus teu kudu diceungceurikan. Allah maparin kaadilan ka maneh, [3]” lanjutnya lagi. Aku menatap kedua mata yang sendu, namun ada sebercak kebahagiaan terlukis di sana.
“Ngadeg! [4]” perintahnya. Aku menuruti apa yang dikata kakek.
Ada kain putih. Putihnya secemerlang di iklan deterjen. Kain kafan kah? Secepat ini aku mati? Padahal bekal akhirat belum dipersiapkan. Kakek membungkuskan kain itu ke tubuhku. Aku merasakan sesuatu yang menjalar di seluruh tubuh. Kesedihan yang ku alami dan terpendam di dasar hati terasa luruh. Jasadku teramat ringan dan… jiwa ini seolah melayang. Kain putih semakin memendarkan cahaya, memenuhi seluruh ruangan. Oh, silau men! Tiba-tiba kakek menuntunku menyusuri jalanan yang cukup ramai. Di mana ini? Aku merasa tak asing. Dalam gejolak kebingungan itu, kakek menunjuk ke sebuah warung makan di pinggir jalan.
“Kau lihat itu?” tanyanya kini dengan bahasa Indonesia fasih. Aku mengangguk.
Lelaki berkofiah merah ala Aladin ini melanjutkan ucapannya, “Dia jodohmu!”
Lalu menatapku sambil tersenyum meyakinkan. “Loh? Aku sudah menikah, Abah,” tukasku.
Sejenak, aku amati lamat-lamat sosok yang tadi ditunjuk kakek. Cantik! Senyum terkembang di bibir ini. Hei, apa kataku? Cantik? Tunggu, ada yang salah denganku. Apa aku l*sbi?
Aku memalingkan muka ke hadapan kakek.
“Ada yang salah?” Alis kakek terangkat sebelah.
“Dia perempuan!” Wajahku merengut. “Tentu salah, Abah!”
Kedua lengannya memegang bahuku, lantas menghadapkan pada sebuah cermin besar milik penjual mainan.
“Tidaaaaaak!!!”
—
Seketika aku terlonjak. Napas tersengal. Seperti sehabis dikejar babi hutan. Mimpi yang aneh! Mataku melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul 2 dini hari. Mungkin karena perut selalu keroncongan, jadi tidak sulit untuk bangun sepagi ini. Segera aku bergegas ke WC di belakang. Jangan bayangkan WC yang full kramik! Tempat ini lebih elit, beratap langit. Lantainya tersusun dari beberapa bambu yang memiliki panjang 2 meter. Dinding-dindingnya terbalut karung dan sarung butut. Air amat melimpah. Fantastis bukan? Dan yang paling unik WC ini berada di atas kolam. Di daerahku dinamai “bagbagan”. Segera aku melepas pakaian, hendak mandi. Bagiku mandi dini hari adalah membuat tubuh ini fresh mendekati beku. Astaghfirullah! Tulang lutut terasa lolos dari persendian. Lemas. Aku tidak percaya ini! Mimpi itu…. Alhasil, mandi pun ku urungkan.
—
Aku benar-benar menjadi manusia terlahir kembali. Ya, walaupun rutinitas masih mencuci pakaian orang. Kali ini ku tuntaskan lebih cepat. Ada seseorang yang akan aku kunjungi. Benar-benar kalut. Mungkin orang itu dapat memberi solusi. Perasaan ragu menyelinap saat memandang benda yang selalu membungkus tubuh ini. Daster kumal, dan kerudung. Bergegas mengganti pakaian, lalu aku mematut di depan cermin.
“Benarkah ini diriku?”
Beruntung kediamannya tidak jauh dari rumahku, ralat. Gubuk sepertinya lebih cocok, karena kondisi rumahku sudah reot. Aku tak bisa membayangkan jika jaraknya jauh, bisa-bisa aku pulang ngesot. Maklum tenaga dihabiskan untuk mencuci beberapa ember. “Assalamualaikum, Ajengan!” sapaku saat sampai di tempat tujuan. Ajengan adalah sebutan yang setara dengan ustaz. Dia sedang duduk di halaman bersama istrinya. “Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokaatuh…,” jawab mereka serempak. Aku mengutarakan maksud, lalu ajengan itu mempersilakan masuk.
Di ruang tamu
“Ajengan, percaya sama takdir dan rahasianya?” tanyaku membuka pembicaraan, tanpa basa-basi. Kebanyakan basa-basi jadi basi beneran. Jujur aku tak suka yang basi-basi. Hueeks.
Wajah yang hampir tua itu merengut. Mungkin menebak ke mana arah pembicaraanku.
“Tentu saja, atuh, Neng Farihah.” Dia mengulum senyum. “Kalau tidak percaya… ya kafir. Dan bagi seorang mukmin mesti ridho menerima yang baik juga yang buruk dari ketetapan Allah, sekali pun mengejutkan. Takdir memang penuh misteri.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju bukan karena leher pegal. “Apakah yang menimpa saya adalah bukti Allah Maha adil dengan…,” Suaraku tercekat. Seperti ada yang menyangkut di kerongkongan. Aku tidak percaya akan mengatakan ini. Lelaki yang ada di hadapanku memerhatikan dengan saksama. Menghela napas sekejap, lantas mulutku begitu saja terbuka seolah membacakan kisah kelam yang terjadi dalam catatan takdir. Tentang perlakuan suami selama ini, mimpi aneh itu dan hal yang tadi malam ku alami di bagbagan (bukan tentang mandi yang urung ku lakukan).
Ajengan terkesiap, lalu ia memekik tertahan, “Masyaa Allah… Benarkah?” Pandangannya menyoroti ujung kepala sampai kakiku. Aku tak merasa risih atau kikuk. Segera aku pamit setelah dirinya memberiku solusi.
—
Dini hari selalu membuatku terbangun. Entah kenapa, mungkin sudah menjadi kebiasaan. Saat hendak bangkit, ada sesuatu yang baru aku sadari. Suamiku pulang setelah seminggu menghilang. Tangan kanannya melingkar di pinggangku. Seharusnya hati ini berbahagia, tapi sekarang tidak. “Maafkan aku, Farihah,” gumamnya masih dengan mata tertutup. Mungkin dia tahu aku terbangun. Ingin sekali menangis, tapi air mata ini tak kunjung ke luar. Mungkinkah mengering? Aku benar-benar tak seperti dulu. Pasrah. Tetap di posisi awal, tidur menyamping. Biarlah untuk terakhir kalinya ia memelukku.
Pagi ini aku masak spesial. Yang namanya spesial di kamusku itu yaa… nasi hangat, bakar ikan asin, sambal, dan lalapan. Maklumlah… upah dari buruh cuci ya alakadarnya. “Aku mah sakieu ge uyuhan.” [5] Bersikap senormal mungkin di hadapan suami. Tekad sudah bulat. Setelah mendeklarasikan diri, penampilanku akan segera berubah. Sekarang masih setia dengan daster kumal. Dia makan dengan lahap. Ralat. Rakus! Berbeda denganku, makan sesuap-sesuap. Sesekali menatapku, lalu senyum miliknya terkembang. Semoga saja dia benar-benar berubah.
“Enak, Kang?”
Suamiku mengangguk.
“Aku punya permintaan,” kataku setelah beres makan.
“Apa itu, Istriku?” serunya. Setelah sekian lama, mungkin berabad-abad rasanya ia baru memanggilku dengan dengan kata itu. Kalut! Mencoba mengumpulkan tenaga yang tercecer seperti remah-remah nasi di dekatnya, aku mengatakan hal yang amat sakral, “Ceraikan aku, Kang!”
“Uhuk! Uhuk! Air… minum!”
Dia tesedak saking kagetnya mungkin.
Melihat itu aku panik, “Maaf, aku baru ingat tidak masak air!”
Saking asyik masak makanan spesial lupa masak air. Kacau!
Alhasil, dia mengambil mangkuk di dekatnya, lalu meminum air kobokan yang belum dikobok.
“Hah, eng, maksudku… Istriku, aku tahu selama ini telah berbuat kasar padamu….”
“Tidak manusiawi,” tambahku.
“Ya, ya, tapi aku telah tobat dan berjanji akan menyayangimu sepenuh jiwa raga. Dulu aku suami bodoh,”
“Sekarang?”
“Masih bodoh.” Getar sesal terdengar dari ucapannya. Dia memasukkan suapan terakhir.
“Kang,” dengan nada lembut aku berujar, “istri yang meminta cerai tanpa alasan syar’i tidak akan mencium wangi surga. Sedangkan, aroma surga itu tercium dari jarak 70 tahun perjalanan. Tentu aku tidak mau hal itu menimpa diri. Tapi aku punya alasan mengapa Akang wajib menceraiku.”
“Tidak! Pokoknya akang tidak akan menceraikanmu!” ucapnya tegas.
“Aku bukan Farihah yang dulu,” timpalku. Sebetulnya aku tidak ingin dia tahu tentang apa yang menimpa.
Dia tak mau kalah, “Aku bukan Yaya yang dulu juga, aku telah insyaf.”
“Aku bukan wanita lagi.”
“Aku juga bukan–” Ucapannya menggantung, lalu menatapku tak percaya, seolah mengatakan, “Jangan bercanda! Mustahil!”
Kejadian di luar kebiasaan itu ku ceritakan. Mimpi dengan kakek dan genderku yang berubah. Semua itu atas saran ajengan yang tempo hari ditemui. Lelaki yang sebentar lagi menyandang mantan suamiku itu menekuri tikar tempat kami duduk. Hening!
—
Setelah mendeklarasikan sebagai Abdul Ridho, hidupku benar-benar berubah. Aku mulai dikenal banyak orang karena peristiwa ajaib itu. Alhamdulillah, profesi bukan buruh cuci lagi, beralih membuka warung makan. Dari mana uangnya? Tentu dari takdirku. Begini, untuk pertama kalinya aku dimuat di koran. Jangan berpikir di kolom orang hilang atau kolom orang meninggal (arbituary). Tidak! Aku diundang untuk menceritakan kisah yang pernah terjadi. Sampai diriku menjadi bintang tamu di televisi pada acara “Hitam Kelabu”. Kini kebanjiran rejeki.
Semenjak Yaya -sang Mantan Suami- menceraiku, dia tak pernah terlihat. Entah ke mana. Menurut kabar, dia juga telah berubah. Bukan, bukan berubah gender. Tapi perilakunya. Warung makan sederhana ini kami kelola bersama. Aku lupa belum membahas istriku, namanya Zulaikho. Dia gadis yang ada dalam mimpi. Ajengan membantuku mencarinya. Dan aku menemukan tulang rusuk itu di pasar minggu. Di lokasi yang persis dalam mimpi. Satu hal lagi, dia tidak mempersoalkan masa laluku. Kini, aku benar-benar akan menjadi lelaki yang bergelar “bapak”. Ssst… istriku tengah mengandung empat bulan. Gahgahgah. Zulaikho tidak akan merasakan kepedihanku dulu sebagai istri. Tidak akan! Karena aku akan menyayangi dan menjadi pelindung bagi dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar