Jumat, 18 November 2016
Am I Cinderella
Aku pun berlari melintasi lorong kelas XII, hingga akhirnya aku berdiri persis di depan pintu kelas XII IPA 5 yang tertutup. Terdengar pembicaraan dan tertawaan keras dari dalam.
“Hahaha… Wah seriusan Mir, lucu banget situ, kok bisa? Terus sekarang gimana? Ntar lo pulang gimana?”
“Ya tahu deh kaya gimana. Paling gue minta anter Rian aja kali.” Kata ka Miranda yang bisa kudengar jelas di balik pintu kelasnya.
Tok.. tok.. tok.. sosok wanita berparas cantik dan anggun membukakan pintu.
“Assalamualaikum kak, kata Bu Tini disuruh menghadap ke ruangannya sekarang.”
“Oh iya de. Makasih ya.”
“Iya kak, saya duluan. Wasalamualaikum.” Tapi ketika aku berbalik sosok tinggi berdasi tepat berdiri di depanku. Sempat kulihat sekilas wajahnya sebelum kumenghindar berjalan menjauh. ‘Kak Rian! ada apa dia disini?’ tanyaku dalam hati.
“Mir, gimana?” tanya Kak Rian kepada Ka Mira, aku yang tak ingin terlihat gugup dan modus langsung berjalan pergi menghampiri Dio yang sedari tadi menunggu.
“Lama banget Ri, ngapain aja sih? Nyusahin banget kerjaan lo, kenapa gak pake sepatu sendiri?” tanya Dio.
“Lagi dijemur.” Jawabku cuek dan singkat sambil terus berjalan kembali ke kelas.
“Apa? Wkwkwk.. Nyemplung Ri?”
“Hooh. Eh Yo sekalian gue minta tolonglah. Tapi jangan bilang siapa-siapa ini kata gue ya.”
“Gak janji. Emang apaan?” Ia langsung menghentikan langkahnya dan mukanya beralih serius.
“Tolong bantu gue cariin orang yang sepatu kanannya nomer 39 dong merek M****. Tapi yang kanannya doang bukan yang dua duanya nomer 39. Cuma sebelah, inget loh cuma yang kanannya aja. Kalo nemu lo kasih tahu gue ya. Lo kan banyak kenalan ade sama kakak kelas. Bantuin gue ya. Please.” Jelasku pada Dio.
“Loh emang buat apaan?”
“Sepatu gue ilang sebelah.”
“Apa? Wkwkwkwkwk. Tunggu menarik banget nih, kok bisa gitu sih.”
“Ceritanya panjang, bantuin aja dulu lah. Kalo udah ketemu baru gue ceritain.”
“Eh tapi kalo sepatu lo ilang, tadi pas upacara lo pake sepatu siapa?”
“Yang kiri sih punya gue, yang kanan kayanya ketuker sama orang pas jatoh di jalan. Mungkin bukan gue doang yang mengalami kejadian sial di hari ini. Jadi yang satu nomernya 37 yang satu lagi 39.”
“Wkwkwkwkwkwkkwkwkkw. Situ lucu banget. Yang sabar ya Cinderiri.” Ucap Dio sambil tertawa keras dan menepuk nepuk pundakku.
“Ah nyebelin deh bantuin napa bukan diketawain.” Balasku malu bercampur kesal.
Semuanya berjalan seperti biasa sampai pada saat bel istirahat berbunyi. Dio memulai aksinya dengan mengumumkan berita kehilangan di depan kelas. ‘Emang iya sih aku minta dia bantu, tapi bukan gini caranya.’ Umpatku dalam hati. Sontak semua tertawa, semua melihat ke arahku. Karena hanya aku yang terlihat gugup dan menundukkan kepala sementara yang lain tertawa geli. Aku mengutuki perbuatan Dio. Sejak saat itu aku benci Dio.
Cukuplah kejadian tadi jadi sejarah yang memalukan selama SMA, selebihnya aku tak ingin lagi mendekati atau bersangkut paut apapun dengan Dio. Si mulut ‘lemes’ itu berhasil membuatku menjadi badut tertawaan anak-anak kelas. Namaku kini buku Tari ataupun Riri yang sehari-hari menjadi nama panggilanku, semenjak tadi semua temanku kompak memanggil dengan nama panggilan Cinderiri.
“Hai Cinderiri.” Sapa Dio. Tentu saja aku masih sangat marah dan tak ingin merespon sedikitpun sapaannya. Aku berjalan cepat menuju tempat duduk seperti biasa tapi tetap mencuekkan Dio yang ku tahu mukanya kini mengarah padaku.
Dio berbalik. “Ri, liat gue dong, lo marah?” aku masih tak ingin menjawabnya, buku yang ada di tangan kubanting keras tepat di depan muka Dio lalu berlari pergi.
“Ri, mau kemana?” Dio mengejarku.
“Ri tunggu, dengerin gue dulu.” Ia terus mengejarku.
“Ri dengerin dulu.” Teriaknya sambil terus mengejarku.
“Ri dengerin gue dulu, gue tau lo marah dan gue minta maaf Ri.” Teriaknya semakin keras sambil terus mengejarku. Sontak hal ini menjadi tontonan semua siswa yang ada. Aku terus berlari sekencang-kencangnya, Dio pun melakukan hal yang sama. Sampai di belokkan yang sepi.
“Ri stop dulu Ri gue cape, gue mau minta maaf baik-baik sama lo.”
Terpaksa aku pun berhenti sebentar dan menjawabnya. “Ihhhh (geramku sebal) apaan lagi sih Dio, sekarang gue lagi gak ada waktu.” Kuberlari semakin kencang, Dio pun sama.
“Riri stop dulu gue mau ngomong. Lu bandel banget ya, gue cuma pengen minta maaf doang.”
“Situ yang stop. Gak usah kejar-kejar gue lagi.”
“Gue cuma mau minta maaf.”
“Gue mau ke WC, Dio. Kebelet. Udah lo gak usah kejar gue lagi.”
GUBRAK…
5 menit kemudian.
“Hehehe.” Dio tertawa menyebalkan dan menghampiriku.
“Ri..” bujuk rayunya memanggilku.
“Ri..” (tik tok tik tok) aku tak meresponnya.
“Ri..” (tik tok tik tok) aku tak juga meresponnya.
“Ri..” (krik.. krikk) aku benar-benar tak meresponnya.
“KAK RIAN!” teriak Dio persis di sampingku.
“Mana?” sontak akupun menjawab.
“Tau, di kelasnya kali.” Jawab Dio enteng. Sesaat kemudian tangannya merangkulku.
“Ri gue minta maaf ya. Masa gitu aja ngambek.”
“Ya.” Jawabku singkat sambil melepaskan rangkulannya dan berjalan cepat kembali ke kelas.
Sesampainya di kelas, pelajaran sudah dimulai. Bu Yeni, guru Bahasa Indonesia memang terkenal akan kedisiplinannya. Telat saja beberapa detik setelah Bu Yeni masuk kelas, semua siswa yang datang di belakangnya dianggap telat. Termasuk Aku dan Dio.
“Kalian dari mana saja?” semprot Bu Yeni saat kami terlambat 5 menit berada di kelas.
“Dari toilet, Bu.”
“Maksud kalian apa? Kalian ke toilet barengan?” tuduh Bu Yeni.
“Oh nggak bu, ibu salah faham.” Sanggahku cepat.
“Ya udah sekarang kalian pemanasan dulu ya sama kaya temen telat kalian yang lain. Karena kalian telat 5 menit, ibu rasa lari 5 keliling lapangan basket cukup buat kalian. Ayo mulai dari sekarang, gak pake lama.”
“Huh.. (menghela nafas). Iya Bu.” Jawabku dan Dio pasrah. Dalam hati aku terus mengutuki Dio dan semua tingkahnya. Tapi semakin aku kutuki dia, semakin banyak pula kesempatan yang memaksakan kami untuk bersama.
Thanks God, it’s a good time to run. Hari senin jam pelajaran terakhir, jadwal kelas Kak Rian olahraga. Dan benar saja kulihat Kak Rian tengah berlari kecil menuju lapangan. Ah.. fisiknya amatlah sempurna untuk dikagumi siapapun, tak salah jika Kak Miranda -seorang kembang sekolah- menjadi pacarnya. Meskipun aku mengagumi Kak Rian, tetapi jujur saja kuakui mereka memang cocok, pasangan cantik dan ganteng. Sedangkan aku? Ah standar anak kelas 11 SMAlah, gak pantes dibandingin sama Kak Mira. So, aku hanya bisa mengaggumi dalam diam tanpa berharap memiliki. Eh tapi ada sih angan untuk memiliki, tapi setelah dipikir-pikir, ah sudahlah dengan mengagumi saja aku sudah beruntung.
“Ri..” sapa Dio mengagetkanku. “Sehat lu Ri?” ucapnya sambil mengibaskan telapak tangannya di depan mukaku. “Ayo cepetan lari.” Sontak Dio membuyarkan fokus dan anganku.
“Oh iya iya.” Pandangku masih tetap pada sosok Kak Rian.
Aku mencoba fokus dalam tiap langkahku. Tapi Kak Rian makin dekat, makin dekat, dan makin dekat. Aku terus memperhatikannya sambil berlari kecil sampai tak sadar Dio telah jauh mendahuluiku. Hingga akhirnya…
GUBRAK… seseorang menabrakku. Aku tak begitu jelas melihat wajahnya karena kacamata tebalku telah terlempar saat tabrakkan tadi. Aku terjatuh.
“Kamu gak papa?” suara tegas seseorang yang aku tahu pasti itu bukan Dio, itu Kak Riannnn….
“Gak pap..” aku menjawabnya. Namun terpotong seketika saat suara halus seseorang kudengar menjawab hal yang sama.
“Gak papa kok.”
Aku segera memasang kacamataku. Oh Kak Mira. Ada malu yang kurasa, tapi semoga mereka tak mendengarku. Mereka sibuk berdua, aku pun berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun.
“Hahahahaha..” Dio datang dari arah belakang dan menepuk pundakku. “Lo gak papa Ri?”
“Eh sorry. Kamu gak papa?” tanya Kak Mira padaku.
Aku menggelengkan kepala. Sejurus kemudian ia memandangiku dari atas sampai bawah. Beberapa detik kemudian..
“Riannnnnnn.. itu sepatuku.” teriak Kak Mira tepat di depanku.
Oh My God. I’m not Cinderella. Cinderella tak seperti ini ceritanya. Ya sudah, Ikhlas sajalah.
-TAMAT-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar