Sabtu, 19 November 2016

Deman LGBT

Sederet tulisan di layar laptopku itu membuatku makin gelisah. Berita hari ini penuh dengan singkatan menakutkan yang menghantui kehidupanku akhir-akhir ini. Aku berusaha mengacuhkannya namun tidak semudah kelihatannya. Cemas ini semakin menggerogoti pikiranku. Ingin rasanya aku mengidap al-zheimer saja, biar lupa sekalian.
“Ayolah Bi, tolongin gue! Lo harus bikin gue jatuh cinta sama abang lo!” rengekku sembari memasang tampang paling imut yang pernah aku punya.
Bian hanya melirikku sekilas lalu kembali menyeruput italian soda di depannya sembari memainkan gadgetnya. Ya, Bian adalah sahabatku sejak SMA. Bisa dibilang aku dan dia selayaknya garpu dan sendok yang setiap makan selalu dipakai bersama-sama. Aku merebut minuman Bian yang setengah gelas tersisa.
“Dengerin gue dulu kek!” protesku sedikit kesal.
“Apaan sih Vin? Emang paper-nya Prof. Didik udah lo kerjain? Lo segitu pengennya jatuh cinta ya? Makanya jangan drama korea mulu lo tongkrongin, cari pacar dong!” balas Bian sedikit kesal. Ah ini anak sekali ngomong panjangnya nyaingin sungai nil. Aku mendesah lesu. Yah, sederet tugas kuliah aku singkirkan untuk sementara waktu.
“Ya lo kan tahu gue nggak pernah pacaran! Lagian gimana mau pacaran orang cowok-cowok di sini jauh banget dari selera gue.”
“Oh ya? Kayak apa tuh?” Bian hanya menanggapinya sambil lalu.
“Coba aja di kampus ini ada senior semisterius Jung Yoo kayak di cheese in the trap, atau dijodohin sama pangeran Lee Shin apalagi kalau bisa berhentiin waktu kayak si alien ganteng Do min joon. Ah pasti hidup gue bakalan indah banget!” tuturku sembari menatap kejauhan dengan senyuman yang sulit aku sembunyikan. Tiba-tiba satu jitakan baru saja aku dapatkan.
“Lo kebanyakan ngimpi. Hidup lo drama mulu sih, jangan ngeluh kalau jadi jomblo abadi nantinya. Jungkir balik tiap hari pun, Dias nggak bakalan suka sama lo. Hahaha!” cibir Bian sembari tertawa cekikikan. Sialan ini bocah malah ngatain orang ngedrama! Untung saja kita udah sahabatan lama, kalau nggak mana mungkin aku betah sama laki-laki penggila bola. Kerjaannya cuma nongkrongin GBK mulu. Ini di jakarta loh! Masih banyak tempat yang jauh lebih keren dari sekedar duduk sambil teriak-teriak nggak jelas dukung orang yang lagi main kejar-kejaran bola begitu.
“Nggak usah pake ngehina bisa kan?” balasku sedikit dingin.
“Lagian kenapa lo ngebet banget mau jatuh cinta sama Dias?” entah sudah berapa kali dia menanyakan hal yang sama. Aku hanya terdiam, pikiranku kembali melayang jauh.
Mengingat kembali masa-masa dimana aku masih sibuk dengan dunia K-drama yang aku sukai. Tanpa sengaja aku menemukan sebuah drama thailand yang cukup populer di internet. Konsentarsiku sedikit teralihkan oleh Hormones the series 2, yah soalnya ada Bank Thiti si pemeran Pong dalam film May-Who di bawah naungan GTH yang aku suka, ikut andil dalam series ini. Apalagi serial ini sudah dibikin 3 series, sudah pasti ini adalah tontonan menarik kan? Aku penasaran apa serial ini bakalan nyaingin Kiss Me, salah satu adaptasi dari itazura na kiss jepang yang di perankan oleh Aom dan Mike D’Angelo? Tanpa melihat sinopsisnya, aku langsung mendownload seluruh episode di series yang kedua. Semuanya udah disiapin, mulai dari boneka doraemon, selimut, tisue, sampai camilan untuk menemaniku malam ini. Mumpung lagi akhir pekan, praktikum pun sudah selesai untuk semester ini.
Baru 30 menit film ini terputar, aku dikejutkan oleh beberapa adegan yang cukup ekstrim. Ini bukan film komedi romantis seperti yang aku pikirkan, memang benar ini cerita tentang kehidupan remaja tingkat sekolah menengah atas di thailand, kenakalan remaja sudah biasa aku saksikan. Pikiranku mulai berputar-putar. Aku masih menyangkal penilaian negatif tentang film ini. Gara-gara Bank Thiti muncul sekilas, aku mulai terhibur. Namun setelah 4 episode berlalu, pikiranku makin kacau. Ini bukan hanya tentang kisah kenakalan remaja biasanya, ini tentang beberapa siswa yang memiliki hubungan ses*ma jenis. Lengkap, bukan hanya h*mo tapi juga l*sbian. Jantungku mulai berdetak, aku segera menutup layar laptopku. Pikiranku teracuni oleh siswa yang akhirnya malah menyukai ses*ma jenis. Khayalanku melayang jauh, aku menyembunyikan diri di balik selimut. Bahkan aku lupa mematikan lampu kamar kost.
Keesokan harinya di tengah perasaan dan pikiranku yang kacau, aku kembali dikejutkan oleh sebuah berita tentang LGBT. Bukan hanya di surat kabar, televisi, radio bahkan setiap aku buka internet pun selalu aku temukan singkatan mengerikan itu. Pikiranku berputar-putar tanpa sebab, Hormones the series 2 pun masih melekat di pikiranku. Ini nggak bener, aku memang tidak pernah sekalipun menyukai laki-laki tapi bukan berarti aku menyukai ses*ma jenis dong? Ah kacau. Aku kembali masuk kuliah, semua perempuan terlihat begitu cantik hari ini. Apa mereka memakai make up? Oh tidak, aku mikir apa sih. Toh mereka memang berpenampilan kayak gitu kan tiap hari? Oh Tuhan, aku masih normal kan? Tiba-tiba Starla, salah satu teman sekelasku yang cukup populer menghampiriku. Aku sedikit gugup, dia memang cantik wajar saja dia disukai banyak orang di kampus ini. Loh kenapa malah gugup begini? Starla duduk di sebelahku, dia mulai ngoceh sana-sini. Aku tak berani beradu pandang dengan dia. Tiba-tiba saja dia memegang tanganku. Aku sedikit tersentak, pikiran anehku muncul.
“Wah, jam tangan kamu bagus banget! Beli di mana?” tanyanya antusias.
Deg… deg… deg… Loh kok malah deg-degan gini sih? Aku mengalihkan pandanganku ke sembarang tempat.
“I… itu di… di toko dekat kampus!” jawabku gugup. Nggak, ini pasti cuma perasaanku saja yang kurang sehat. Pasti cuma efek semalem nonton Hormones the series itu deh. Sekuat tenaga berusaha tenang, jantungku kembali berteriak saat Starla dengan mudahnya memegang kedua pipiku. Wajah kita berdekatan, mata indahnya berbinar-binar. Aku menelan ludah.
“Muka kamu kok merah gini? Kamu sakit ya? Ayo aku anterin pulang aja gimana?” tawarnya begitu perhatian padaku. Aku tersadar dan segera menepis tangannya. Degup jantungku masih terdengar cukup cepat, alhasil aku memutuskan untuk melarikan diri. Nggak, mana mungkin aku menyukai Starla? Dia kan perempuan? Tapi kenapa aku malah deg-degan gini waktu dia megang tanganku? Oh ibu, maafkan anakmu ini? aku tidak bermaksud untuk menyimpang dari kodratku, sungguh! Lagian si Starla juga sih, cewek kok sukanya megang-megang gitu! Untung aja dia bukan Queen Elsa, kalau iya bisa-bisa aku ikutan membeku jadi es. Masih tak ingin percaya, aku mencoba memegang tangan beberapa mahasiswa lainnya. Yah, kalau aku deg-degan itu artinya aku masih normal.
“Apaan sih Vin? Lo mau bikin pacar gue jealous?” protes Dika sedikit risih dan segera melepas genggaman tanganku. Gawat, aku tak merasa apa pun.
“Kyaaa!!!” jeritku histeris seraya berlari meninggalkannya. Pikiranku mulai kacau, aku harus jaga jarak dengan makhluk yang berjenis perempuan. Makes no sense! Aku jadi makin sensitif dengan sentuhan perempuan. Makanya aku harus segera jatuh cinta, aku nggak mau terjerumus pada hubungan yang nggak normal. Tapi mana mungkin aku menceritakannya pada Bian? Apa katanya nanti setelah tahu aku di ambang l*sbian begini? Aku tak berniat untuk menjawab apa yang baru saja Bian tanyakan.
“Ya udah lah, gue mau jemput Starla dulu! Jangan lupa bayarin minuman gue ya, makasih Vin jelek!” ucapnya lagi seraya meninggalkan aku yang masih terbengong setengah sadar. “Sialan lo! Giliran begini aja, gue mulu yang suruh bayarin. Dasar parasit!!” teriakku geram sembari menimpuknya dengan pensil.
Dua hari berlalu, aku masih berusaha menjauhi mahasiswi di kampus. Bagaimana ini jika mereka tahu kalau aku mulai merasakan perasaan aneh pada perempuan? Langkahku terasa berat untuk memasuki parkiran fakultas. Tak sengaja kakiku tersandung, Oups!!! Aku hampir saja terjatuh, beruntung satu genggaman tangan menyelamatkan aku.
“Lo nggak apa-apa, Vin?” tegur seseorang yang masih menggenggam tanganku. Kulitnya putih bersih, rambut hitamnya menari-nari dalam buaian angin apalagi senyum manis dan tubuh atletis yang dia miliki. Itulah Dias Alif Iskandar, salah satu senior sekaligus kakak kandung Bian. Selain perawakannya yang menarik, dia juga menjabat sebagai duta kampus tahun ini, dia juga terpilih menjadi wakil ketua umum himpunan mahasiswa jurusan. Perempuan mana pun pasti bakalan jatuh hati dengan mudahnya. Sekitar 2 menit saling berpegangan tangan, namun aku tak merasakan apa yang seharusnya wanita normal rasakan. Salah tingkah atau deg-degan gitu kek, terlalu datar. Padahal kurang apa coba si senior ganteng ini? Oh Tuhan, beneran nih aku nggak normal? Yang benar saja?
“Eh, lo kenapa?” tanyanya lagi. Aku tersadar, mataku tiba-tiba saja berair. Aku takut, aku bahkan tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
“Maaf Kak!” bisikku lirih seraya berlari menjauh dari keramaian. Sekalipun, aku tak ingin menoleh. Hidupku hancur sudah, semua mimpi indah bertemu pangeran pun musnah. Aku bukan lagi wanita normal seperti yang mereka pikirkan. Maafkan aku ibu, maaf sudah mengecewakanmu. Tap… tap.. tap… seseorang menghampiriku. Aku mendongak, ah si tengik ini lagi.
“Mulai lagi deh dramanya, lo kenapa? Tadi Dias bilang lo nangis.” tegur Bian memulai pembicaraan. Aku hanya membuang muka, menunggu air mata ini kering. Aku malas menanggapinya. Bian belum beranjak, dia masih duduk di sampingku sembari memain-mainkan botol kosong yang harusnya ia buang ke dalam tong sampah. Aku meliriknya ragu-ragu. “Ngapain lo di sini? Bukannya lo nggak mau bantuin gue?” ucapku dingin. Dia menatapku heran lalu kembali memutar-mutar botolnya.
“Ya sorry deh! Bukannya gue nggak mau bantuin lo biar suka sama Dias, tapi perasaan itu bukan sesuatu yang bisa direkayasa kayak gitu kali. Lagian lo kan udah naksir sama gue, hehe!” balasnya sembari tertawa kecil. Aku balik menatapnya tajam.
“Oh ya?” tantangku memasang tampang imut.
“Wah, sini gue tunjukin!” ucapnya seraya mengecup pipi kiriku.
Pupil mataku melebar. Speechless! Aku bahkan tidak bisa mendengar detak jantungku lagi. Semua kenangan yang aku kumpulkan bersamanya serasa berterbangan di sekitarku. Teman yang selalu menemaniku. Bahkan dia lebih menarik dari si misterius Jung Yoo, sedingin pangeran Lee Shin atau sekeren alien Do min joon sekalipun. Bodoh, kenapa baru sadar sekarang? Is it love? Pantas saja aku tak merasakan apa-apa saat berdekatan dengan laki-laki lain, itu karena aku telah jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Jentikan jari Bian menyadarkan lamunanaku.
“Ah… ha… a?” aku mulai gelagapan.
“Lo kenapa? Gue bercanda kali, ya udah gue balik ke kelas dulu. Jangan kebanyakan mewek lo!” ucapnya lagi. Aku hanya melihat punggungnya yang semakin lama makin menghilang. Ini beneran nih? Aku mencoba memegang dadaku, jantungku masih pada demo di dalem.
“Yeahh!!” jeritku histeris sembari lompat-lompat kegirangan. Aku normal, aku perempuan normal. Aku harus memberitahu perasaanku pada Bian. Senyumku tiada henti aku tunjukkan.
Ya, Hormones the series tidak hanya membuat pikiranku kacau apa lagi beranggapan l*sbian, tapi juga menyadarkan aku tentang cinta yang selama ini begitu dekat denganku. Aku berlari menelusuri koridor kampus, mencari ruang kuliah Bian. Langkahku berhenti saat aku lihat Bian tengah asyik berbincang dengan Starla. Sesekali Bian membelai rambut lembut Starla, Starla hanya membalasnya dengan senyuman manja. Memang benar, aku dan Bian selayaknya garpu dan sendok yang selalu bersama di kala menyantap makanan, tapi aku lupa bahwa garpu tidak selalu dipasangkan dengan sendok, adakalanya garpu memang lebih cocok disandingkan dengan pisau apalagi waktu makan steak. Yah, aku melupakan fakta terbesar setelah aku menyadari perasaanku pada Bian. Bian sudah punya pacar, kenapa aku sebodoh ini? Langkahku kembali mundur selangkah, tanpa sadar pipiku basah. Sesak dadaku, padahal aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Ah, jadi begini rasanya patah hati. Cukup menyakitkan juga rupanya.
“Loh, Vin ngapain di situ? Ke sini aja, dosen belum dateng kok!” ajak Starla sembari melambaikan tangannya padaku. Yah, inilah kenyataan yang harus aku hadapi. Jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Setidaknya aku bersyukur, patah hati bukanlah hal yang mengerikan jika dibandingkan dengan asumsiku tentang l*sbian. Patah hati adalah hal wajar yang pasti pernah di alami semua orang. Yah, setidaknya aku wanita normal.
“Ok!” sahutku.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar