Sabtu, 19 November 2016

Joko

Namaku Jeko, tampangku mmm.. bisa dibilang cukuplah. Cukup jadi alasan untuk dijotos. Hehehe.. bercanda. Karena aku orangnya rendah hati jadi aku akan jelaskan tampangku menurut penilaian orang lain. Karena kalau aku yang jelasin entar aku dikatakan sombong, sok kecakepan, de-el-el. Nah langsung aja ya. Kalau menurut Cintya aku tuh mirip kayak brad pitt. Tapi berewok–berewoknya gitu -Yeileh.. kalau itu ngomong aja kayak pak satpam depan yang berewokan itu. Nah kalau kata si Mimi aku tuh kayak Baim Wong tapi rambutnya doang -kalau itu juga terlalu kabur untuk menggambambarkan wajahku ini. Tapi ada satu nih yang lebih jelas dan pasti akurat penilaiannya, Rio.
Kata Rio itu aku tu hmirip seperti Reza Rahardian kalau ngelihatnya dari lantai tiga fakultas kami dan aku berdiri di bawah dekat parkiran kampus kami -Kurang lebih 200 meter jarak parkiran dengan lantai 3 fakultas kami. Hmm, lumayanlah. Tapi sorry teman kalau kelamaan mendefinisikan wajahku ini. Oke.. lanjut. Aku kuliah di semester 6 dengan IPK pas-pasan -kok bicara IPK?- Selain kuliah kegiatan rutinku adalah menjahili semua orang termasuk pak satpam berewokan yang jaga di pos gerbang kampus. Karena itu setiap pak Pian -nama pak satpam itu- melihat aku berkeliaran di sekitarnya dia langsung aja waspada di posnya, seakan-akan sedang menjaga rombongan pak presiden. Sebenarnya sih aku nggak ada niat untuk jahilin orang-orang. Cuma kalau aku lagi bosan aku harus salurin kebosananku pada orang lain supaya aku jangan jadi mumi *krik..krik..
Dan aku juga punya motto: Jalanilah hidupmu dengan ceria dan halaulah kebosanan. Gimana keren nggak mottoku? Ngomong-ngomong akhir-akhir ini kebosananku semakin meningkat mungkin karena semakin sulit menyalurkannya. Objek penyaluran ‘bakat’-ku pada lari semua setiap ngelihat aku.
“Jek,” nah itu kayaknya suara Rio sahabatku, aku noleh. Rio tersenyum lebar kepadaku.
“Ngapain lo di sini bukannya katanya ada kuliah jam 10?” ucap Rio, mmm.
Astaga jam berapa ini? Aku lihat jamku hah jam 10.15, 15 menit jatah bolosku sudah lewat. Waduh karena keasyikan mikir diri sendiri nih plus duduk di bawah pohon rimbun dengan cuaca yang adem ini. Aku bangkit dan langsung berlari meninggalkan Rio. Aku sampai di depan ruang kuliah jam 10.18, di depan dosen sedang asyik menerangkan kuliah hari ini. Kira-kira bisa nggak ya aku nyusup? Dengan langkah pelan aku memasuki ruangan pada saat pak dosen sedang ngelihat ke whiteboard. Aku langsung duduk di bangku kosong pertama yang ku jumpai. Dan langsung berpura-pura menulis. Saat pak dosen berbalik entah kenapa matanya langsung tertuju padaku. Dia diam sejenak lalu membuka kacamatanya dan melapnya lalu memakainya kembali.
Teman-teman saling ngelirik tapi semua pura-pura cuek. Kemudian pak dosen yang memang sudah berumur lanjut itu kembali menatap ke arahku, dengan wajah cuek aku mencoret-coret bukuku seakan aku sedang menulis. Pak dosen menggelengkan kepalanya lalu kembali menghadap whiteboard. Aku lirik teman-temanku mereka tersenyum-senyum. Aku menyunggingkan senyum pada mereka. Perkuliahan pagi ini berlanjut. Aku dan Rio lagi jalan di koridor kampus. Kami berjalan menuju kantin, ku lirik koridor seberang koridor yang ku jalani. Ada Vaya sedang berjalan sendiri, kok sendiri dia biasanya bareng Rain dan Dea. Aku tersenyum kecil melihat Vaya. Cewek polos yang baik hati, selalu aja tabah menghadapi kejahilanku.
“Kenapa lo senyum Jek?” ucap Rio, aku noleh pada Rio.
“Nggak apa-apa cuma mau olah raga mulut aja, kata orang kalau sering senyum bakalan awet muda..” ucapku asal sambil senyum lebar.
“Pantes ya Jek, si “kenapa,” dekat lampu merah tuh kayaknya dari dulu wajahnya gitu-gitu aja. Dia jadi awet muda karena keseringan senyum..” ucap Rio serius, senyum di bibirku langsung sirna. Kadang aku nggak paham sebenarnya sahabatku Rio ini polos bego atau ilmu leluconnya tingkat tinggi. Sampai kadang-kadang aku nggak nahan dengar leluconnya.
“Kamu menyamai aku dengan si, “kenapa,” itu?” ucapku menahan diri.
“Yah, aku cuma mengambil contoh yang sering kita lihat..” ucapnya wajahnya tidak memberikan ekspresi beda, ekspresinya biasa seperti ketika kami ngobrol biasa.
“HEHH,” ucapku keras, nggak mampu menahan emosi. Rio menatapku polos, kami berhenti berjalan.
“Kenapa bro?” ucapnya lagi, seperti tidak terjadi sesuatu.
“Lo samain aku dengan orang yang ngak waras,” ucapku, si “Kenapa,” yang disebut Rio adalah orang nggak waras yang sering nongkrong di lampu merah yang nggak jauh dari kampus kami. Jika dia lagi kumat dia selalu katakan, “kenapa.. kenapa,” kepada siapa saja yang lewat, bahkan kepada batu di pinggir jalan dia katakan, “Kenapa.. kenapa,” sambil menunjuk-nunjuk batu itu. Karena itu kami sebut dia si “kenapa,” Mungkin dia kehilangan kewarasannya karena pertanyaan kenapa? Karena itu kawan jangan terlalu banyak mengatakan kenapa di hidup ini bisa-bisa kita jadi satu alumni sama si “kenapa,” itu heh.
“Bukan gitu bro aku cuma ngasih contoh,” ucapnya sambil senyum manis.
“Oke, mulai sekarang aku nggak mau senyum lagi,” ucapku kesal, Rio malah tertawa. Ku tatap dia, hmm hari ini 1-0 dia ngerjain aku.
“Habis lo senyum nggak jelas gitu, pakai alasan olah raga mulut lagi..” ucap Rio.
“Aku cuma takut lo jadi sama dengan si, “Kenapa,” itu..” ucap Rio lagi, aku mendesah pelan.
“Oke hari ini 1-0,” ucapku lalu kembali berjalan, Rio ikut berjalan.
“Tapi emang lo tadi lihat apa sih sampai senyum gitu?” tanya Rio penasaran.
“Lihat objek,” jawabku.
“Hmm.. dah dapat,” ucap Rio mengerti, aku mengangguk lalu kami masuk ke kantin. Wah.. kantin ramai, tapi masih ada satu meja yang setengah kosong hehehe. Ada 3 kursi kosong dan satu lagi diisi oleh Maya. Aku dan Rio berjalan ke meja itu.
“Hai Maya,” sapaku lalu duduk di sisinya sedang Rio duduk di depan Maya. Maya menoleh, wajahnya langsung berubah. Aku tersenyum manis. “Kami duduk di sini ya,” ucapku, Maya mengangguk pelan lalu mengangkat makanan dan minumannya. Maya memindahkan makanan dan minumannya ke meja sebelah yang sebenarnya sudah penuh dengan makanan dan minuman dari orang yang duduk di sana. Lalu dia kembali lagi dan menarik sebuah kursi yang dia duduki tadi ke meja sebelah.
“Kok pindah May?” ucap Rio lembut –hati-hati kalau Rio ngomong lembut gitu biasanya ada sesuatu yang luar biasa menjalar di otaknya dan siap untuk disalurkan -Rio dan aku sama-sama memiliki bakat luar biasa untuk itu.
Maya hanya tersenyum. Lalu berlalu dari meja kami, Rio melihatku. Aku mengedikkan bahuku lalu memesan makanan ke pelayan kantin bukde. Rio juga ikutan mesan. Maya pasti takut kami kerjain, padahal kalau lagi lapar gini yang dikerjain ya makanan nggak sempat lagi ngerjain dia. Mmm.. yah kalau dikit-dikit ngerjainnya bisalah hehehe. Makanan kami datang kami langsung menyantapnya dengan penuh nafsu. Kelihatan seperti seminggu nggak makan, biarin aja deh yang penting perut segera terisi. Ah.. lega rasanya perut sudah terisi, Rio juga kayaknya sudah selesai juga. Tiba-tiba ada yang duduk di samping Rio dan di depanku, di bangku kosong satu-satunya di kantin. Kayaknya dia nggak lihat-lihat saat duduk. Saat dia melihat ke sekelilingnya raut wajahnya berubah. Aku dan Rio senyum manis.
“Hai Vay,” sapaku sok ramah.
“Hai,” balas Vaya pelan mungkin menyesal sudah duduk di bangku kosong itu. Mungkin dia merasa seram duduk di bangku kosong itu -kayak film bangku kosong aja. Dia memesan makanan dan minuman. Ku lirik Rio dia juga sedang menatap Vaya hmm.
“Mana Dea?” tanya Rio yang mulai beraksi.
“Nggak tahu nih, dari tadi belum ada ketemu..” ucap Vaya.
“Nggak ambil mata kuliah bareng?” tanyaku sok perhatian.
“Nggak..” Jawab Vaya, sambil melirik Rio.
“Vay, mau ikutan nggak entar..” ucapku.
“Ke mana?” tanya Vaya mengalihkan perhatiannya dari Rio kepadaku.
“Ada pameran di galeri anak seni lukis..” ucapku, aku teringat ada pameran anak seni lukis.
“O ya..” ucap Vaya mulai tertarik dengan ajakanku. Lalu melirik ke arah Rio yang sedang grasak-grusuk. Ngapain si Rio nih kayak lagi cari sesuatu.
“Cari apa?” tanya Vaya yang kelihatan terganggu dengan kegiatan Rio.
“Ini tadi aku lagi megang pulpen tapi ke mana ya?” ucap Rio sambil masih mencari-cari, Vaya ikutan mencari.
“Nah itu dia..” ucap Rio menunjuk ke bawah meja lalu langsung berjongkok ke bawah meja.
“Mau nggak?” tanyaku sekali lagi pada Vaya, mengalihkan perhatiannya pada Rio.
“Apa?” ucapnya nggak ngeh dengan ajakankanku, mungkin hilang konsentrasi karena Rio yang sok sibuk di sebelahnya.
“Pameran anak seni lukis..” ucapku lagi.
“Boleh juga tuh..” ucapnya, lalu pesanan makanan dan minuman Vaya datang. Vaya langsung aja menyantap makanannya, satu yang unik dari Vaya nggak pernah jaim kalau lagi makan. Biasanya kalau cewek lagi makan di depan cowok suka jaim-jaim gitu kan.
“Laper Vay..” ucapku menatap Vaya geli.
“He-eh..” ucapnya cuek sambil memasukkan ke mulutnya suap demi suap nasi goreng di hadapannya. Tanganku jadi gatal dan bergerak menyendok nasi goreng Vaya tapi aku menyendok telur mata sapinya lalu memakannya. Vaya menatapku protes. Aku tertawa sambil memakan habis telur mata sapi Vaya. Vaya cemberut, lucu banget dia cemberut gitu. “Jeko..” ucapnya, aku senyum-senyum. Lalu dia diam dan kembali menyantap nasi gorengnya. Nah.. lihat dia tabah banget kan ngehadapi aku. Rio kembali duduk di kursi di sebelah Vaya. Dia memegang pulpen di tangannya, lalu meraih jus jeruk Vaya dan meminumnya sampai habis. Vaya berhenti makan dan menatap Rio lesu.
“Rio..” ucapnya pelan tak bertenaga.
“Terima kasih ya Vay..” ucap Rio sambil senyum polos. Vaya menatap Rio pasrah lalu kembali memesan 1 jus jeruk lagi pada bukde.
“Bukde pesan 1 jus jeruk lagi..” Ucap Vaya pada bukde yang nggak jauh dari meja kami. Ckckck.. tabah benar cewek ini. Dia juga nggak niat pindah meja seperti Maya tadi. Lihat wajah polosnya itu aku nggak nahan untuk mau ngerjain dia lagi tapi aku menahan diri. Objek satu ini ngak boleh menjauh dariku bila aku dekat dia jadi ngerjainnya sedikit aja. “Oke deh. Kami duluan ya..” ucapku lalu berdiri, Rio juga. Aku lalu mendekati bukde dan membayar makananku, Rio dan juga si cewek tabah itu. Lalu berjalan bersama Rio ke luar kantin. Tapi tunggu dulu tadi kayaknya aku ada lihat si Fabian di kantin, aku berbalik arah, kembali ke kantin. Rio memanggilku.
“Jeko,” Rio mengikutiku. Aku berhenti berjalan, Rio ikutan berhenti.
“Ada apa bro, ada yang ketinggalan?” tanyanya, aku tidak menjawab pertanyaan Rio.
Kami berdiri di depan kantin. Ku lihat Vaya berdiri dan hampir jatuh, Fabian menahan tubuh Vaya dengan tangannya. Ku lihat ke lantai tempat Vaya berdiri, apa yang membuatnya hampir terjatuh. Sepatunya.. aku ngelirik Rio, Rio rupanya sedang ngelihat ke dalam kantin juga dan dia tersenyum. Hmm kerjaan si Rio rupanya, tali sepatu kiri dan kanan Vaya terikat sehingga dia hampir jatuh ketika hendak berjalan. Sigap juga si Fabian nolongi Vaya. Ku lihat Vaya gugup di depan Fabian, Fabian memperbaiki tali sepatu Vaya ah sok manis nih si Fabian. Ada apa Vaya dengan Fabian ini, beberapa kali aku lihat kalau ada Fabian dia gugup dan langsung pergi bila berhadapan dengan si Fabian. Apa Vaya suka Fabian? Aku lalu kembali berbalik dan berjalan di koridor diikuti Rio. “Kenapa sih bro?” tanya Rio, aku diam aja lalu duduk di bangku depan ruang kuliah. Ku lihat dari jauh Vaya berjalan sambil menunduk. Saat dia lewat di depan kami aku berbicara keras.
“Hehe.. asyik..” Vaya berhenti melangkah dan menoleh kepada kami. Wajahnya langsung berubah kesal.
“Kalian..” ucapnya kesal.
“Asyik dipeluk Fabian..” ucapku, Vaya kaget.
“Eh.. jangan gitu dong Jek, nggak enak didengar orang. Aku nggak dipeluk Fabian, dia cuma menahan badanku supaya jangan jatuh..” ucap Vaya pelan sambil lihat kiri dan kanan. Kayak takut ada orang yang dengar aja, kenapa dia takut? Wajah Vaya terlihat sedikit panik. Rio di sisiku tertawa.
“Ah.. sama aja..” ucapku, lucu lihat wajah panik Vaya.
“Ish. Jeko please jangan bilang gitu dong entar jadi gosip loh..” ucapnya memohon.
“Emang kenapa, aku senang kalau kamu digosipin sama Fabian..” ucapku cuek mau memancing Vaya.
“Jeko..” ucap Vaya, Aku bangkit dari dudukku diikuti Rio lalu kami berjalan.
“Jeko.. Rio..” ucapnya mengikuti kami, aku tersenyum dalam hati mudah banget nih cewek dikerjain. Membuatku jadi semakin pengen jahilin dia. Wajahnya itu lo lucu banget. Apalagi kalau dia mengikuti kami begini, gemesin banget. “Iya.. takut amat sih.. jangan-jangan lo suka ya sama dia,” ucapku jahil, Vaya diam.
“Dah nggak usah khawatir.. sebagai permintaan maaf sudah jahilin kamu aku akan umumin kamu pacaran dengan Fabian..” ucap Rio. Vaya berhenti berjalan mengikuti kami, mungkin dia syok. Tapi..
“Riioooo..” Ucap Vaya kalap. Rio dan aku jadi tertawa lalu pergi, meninggalkan Vaya yang kelihatan galau hahaha. Tapi.. ku lirik Rio, beneren nih anak mau buat gosip itu. Mmm.. kayaknya aku kok kurang suka ya dengan gosip itu. Aku merangkul bahu Rio.
“Bro.. beneren mau buat gosip Vaya dan Fabian nih?” tanyaku.
“Hah..mmm, kayaknya enggak,” ucap Rio sambil melihatku.
“Kenapa?” tanyaku sambil melihat ke depan supaya jangan kelihatan kalau aku penasaran.
“Mmm,” Rio memiringkan kepalanya sedikit ke kiri lalu ke kanan.
“Aku pikir.. itu bukan gosip yang ku suka, kalau itu gosip aku sebarin jangan-jangan mereka beneran jadi pacaran. Terus si Fabian akan selalu melihat wajah polosnya itu dan bisa selalu ada di dekat Vaya. No..no.. itu bisa menghalangi perkembangan kita dalam menyalurin bakat kita bro,” ucap Rio mantap. Cocok tuh Rio, jangan membuat Fabian jadi penghalang kita. Aku senyum-senyum sambil melihat ke depanku.
“Kenapa lagi kau bro.. senyum gitu. Jangan-jangan lo dah kayak si “kenapa” itu..” ucap Rio. Aku berhenti senyum dan melepaskan rangkulanku di bahu Rio. Emang si Rio ini, kenapa selalu aku dibandingkan ke si “kenapa” itu. Membuatku nggak selera lagi untuk tersenyum.
“Bro jadi ke galeri anak seni lukis?” tanya Rio, o ya tadi kan ada rencana ke sana. Loh.. aku jadi lupa tadi kan aku sempat ajak si Vaya ke sana. Yah.. nggak jadi deh ngajak Vaya, pasti seru kalau ajak dia sambil ngejahilin dia gitu. Tapi tadi kayaknya dia tertarik ikut, kenapa ya? Padahal yang lainnya kalau kami aja langsung spontan menjawab
“Tidaaaakkkk,” memang unik tuh cewek. Tapi kok hari ini pikiranku selalu dipenuhi Vaya sih. Ah..dah korslet ni otakku. “Yuk Rio kita ke galeri,” ucapku sambil berjalan cepat.
“Kok cepat banget jalannya Jek,” ucap Rio.
“Biar cepat sampai,” ucapku, supaya ada objek lain yang ku pikirkan, bukan hanya si Vaya yang mulai mengusikku. Dan membuatku sedikit kesal kalau dia dekat-dekat Fabian. Kenapa aku kesal dengan Fabian? Padahal Fabian anaknya baik. Ckckckck.. Aku emang aneh.. seperti anggapan orang-orang. Tapi cuek ah.. namanya juga Jeko. Itulah sekelumit tentang aku si “Jeko,” kalau lebih dari itu entar jadi rumit, cukuplah hanya pikiranku yang rumit karena si Vaya -Jadi ngomongin si Vaya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar