Sabtu, 19 November 2016

Di Antara Bunga dan Lebah

Panas matahari begitu menyengat kulitku yang sudah terlanjur menggosong. Oh, tidak! Lagi-lagi aku lupa mengoleskan lotion ke permukaan kulit tanganku tadi pagi. Yah, kalau sebelum pergi sekolah itu, selalu saja aku sarapan dengan omelan rebus dari ayahku. Tahu sendirilah, ayahku ini berbeda. Ia begitu peduli terhadap kesehatan dan kecantikan. Eh, maksudku penampilan tubuh gitu. Kalau ku bilang kegantengan kayaknya nggak pas sih.
Yap, pukul 1 siang telah hadir, inilah waktu dimana kami, Geng Musiman, berjalan menuju rumah masing-masing setelah kami bekerja sampingan. Aku tak mengerti kenapa kami menamai geng kami dengan nama orang jawa seperti itu.
“Loh, kan keren!? Pas banget buat kita! Kita selalu mencuri buah-buah yang sedang musim ketika pulang sekolah!”.
Sepertinya kayak gitu yang dibilang Turnip kemarin. Duh, gawat kalau begini generasi bangsa Indonesia. Gimana mau maju, rakyatnya aja hobinya pada kayak ginian.
“Halah, loe mikirnya sok imut banget! Nyuri mangga tuh kagak ngaruh bagi negara! Nah, itu tuh loe liat! Caleg yang lagi nempel di tiang listrik itu semboyannya, -Berani, bersih dan takwa-. Itu pas masih tinggal di tiang listrik, coba kalo udah tinggal di tiang monas, pasti dia bakal lupa sama semboyannya yang sok keren itu!”. Yah, lagi-lagi Turnip benar banget waktu itu.
Huh, capek deh mikirin Indonesia, lebih baik short message service aja sama teman.
“Ndrik, makan dulu sana! Ntar kamu kena maag baru tahu rasa!”.
Yap, inilah menu lunch aku setiap pulang sekolah. Tapi sih aku masih bersyukur banget punya mama yang masih peduli dan perhatian, ya walaupun kadang-kadang membuat hati ini kesal juga.
“Iya, bentar loh, ma. Masih capek tadi belajarnya nge-press banget!”
Untung mamaku langsung turun tangga dan tidak mencoba menyangkal jawaban bohongku. Gawat! aku berbohong lagi sama orangtua! Dosaku pasti udah meluap layaknya bak mandi yang sudah 5 jam diisi air. Ah, sudahlah. Aku ingin… ddzzztt… dzztt.. ddzzt…
Hah? Sms? Tumben banget ada sms setelah pulang sekolah gini. Siapa yah? Hehehe… ku harap si Susan. Kalau emang benar si Susan, aku janji akan berani nembak dia. Dan… tadaa!…… lah? Ternyata… Rina! Ada apa, ya? Ah, baiklah. Akan kubaca pesannya.
“Assalamualaikum, Hendrik. Maaf ganggu, kamu punya nomor Ryan?”
balas: “Pnya. Knp, rin?”
“Nggak apa. Kirimin dong, besok aku bakal traktir kamu bakso deh”
balas: “Ehhehe, yodah. Nih, 081370981998”
1 jam kemudian.
Aneh, baru kali ini Rina sms dan smsnya juga aneh. Yah, kalau cewek lain itu wajar minta nomor Ryan, karena mereka emang mentel dan centil-centil nggak menentu sih. Tapi ini Rina! Secara dia itu cewek yang paling pasif, kalem, kuper di kelas dan nggak pernah sekalipun berkomunikasi dengan Ryan. Tapi kenapa tiba-tiba ia meminta nomor Ryan? Atau jangan-jangan ia juga sudah terkena pesona si Ryan? Duh, aku iri sekali dengan Ryan. Tapi itu termasuk pencapaian terbesarku sih, bersahabat dengan orang terganteng, tercool di kelas bahkan di sekolah. Hahaha! Aku pun jadi ikut populer sedikit demi sedikit, deh! Sebenarnya sih aku tidak terlalu jelek juga, aku cukup lumayan kok! Yah, paling aku enam sembilan dengan si Ryan.
“Yan, tadi si Rina minta nomor loe! Ya udah, gue kasih. Sorry ya ngasih nomor loe tanpa izin” Kataku kepada Ryan yang sedang asik menggigit sate maduranya.
Benar, malam ini kami berdua makan di luar karena kebetulan menu di rumah membosankan. Sekalian aku ingin mendengar cerita Ryan tentang Rina.
Ryan tidak membalas perkataanku. Entahlah, mungkin dia kesal kepadaku.
“Eh, jadi si Rina ada sms apa sama loe?”
Aku masih saja menanyakan soal Rina kepadanya. “Nggak ada. Dia cuma nanya aku itu kenal nggak sama yang namanya Arif…”
Arif? Siapa dia? Atau Ryan hanya sebagai perantara buat Rina untuk mengenal si Arif itu lebih dekat?
“Terus, loe jawab apa, yan?”
“Ya, aku bilang aku kenal sama Arif. Dia teman satu SMP ku dulu…”
Ryan masih sibuk memotong lontong yang ada di atas daun pisang tempat sate tersebut.
“Orangnya ganteng ya?” Aku curiga kalau si Rina menyukai si Arif.
“Ndrik, bukannya aku mau ngejek, tapi orangnya kurus, agak boneng lagi!”
Glek! Aku kaget mendengar jawaban Ryan tentang si Arif. Ah, ngapain kaget. Lagipula rasaku Rina cocok aja sama cowok yang begituan secara dia itu juga nggak cantik, kok.
Aku pun memandangi wajah Ryan setelah ia mengatakan hal itu. Ekspresinya seperti biasa, datar dan sok cool. Aish, sungguh nyebelin.
“Hey, Ryan!! Tumben makan sate disini! Tapi nggak ngajak-ngajak aku!”
Seorang gadis menghampiri Ryan dari belakang kursi makannya. Ya, dia itu Susan!
… Astaga, Susan! Mampus, aku nggak pakai pomade! Aku malu bila cewek tercantik dan terpintar di sekolahku menyapaku tapi aku malah memamerkan keapa-adaanku ini.
“Hendrik, kamu pelan-pelan naik motornya. Ntar kalau Ryan jatuh, aku galau banget!”
Ya ampun, aku diajak bicara oleh Susan hanya sebagai perantara gombalan basi dia buat Ryan. Huh, untung saja Ryan tetap cuek dan mempertahankan mode stay cool-nya.
“Kamu ngapain disini, San?” Tanyaku sambil membasuh mulut memakai tisu yang telah tersedia.
“Nggak ada. Aku lagi beliin sate buat mama. Biasa, orang tua. Hehehe…”
Setelah cekikikan bersama kami, Susan pun pergi meninggalkan kami karena sate pesanannya telah selesai dibungkus.
“Susan cantik banget, kan, bro? Loe nggak mau jadi pacarnya?”
Aku mencoba gurauan ringan seusai melahap sate kambing yang begitu nikmat.
“Nggak ah, ngapain…”
Yah, lagi-lagi Ryan
nggak pernah mau ketawa kalau diajak bercanda soal cewek. Sudah lama aku bersahabat dengannya, tak pernah aku mendengar dan melihat Ryan memanggil seorang wanita. Entahlah, dia ketika bersama kami, sahabat-sahabat nongkrongnya, tidak pernah sok cool begitu. Bahkan di antara kami berempat, Ryanlah yang paling lucu dan mempunyai selera humor yang tinggi. Tapi kenapa ketika soal cinta dan gadis, ia selalu saja berusaha menghindar. Atau jangan-jangan ia adalah seorang…
Di Antara Bunga dan Lebah
Jarum pendek jam di kelas menunjuk ke angka dua belas. Lagi-lagi
Mister Mul tidak hadir mengajar bahasa Inggris ke kelas kami. Tahu sendirilah di kelas XII IPA 4, kalau guru sudah tidak masuk, maka kelas yang sebenarnya tempat proses belajar mengajar berlangsung, maka akan menjadi tempat proses gosip menggosip. Yah, sebenarnya tidak hanya gosip saja yang menghiasi ruang kelas kami. Ada juga yang lagi main HP, main laptop, main gateng, ngamen, bahkan juga ada yang pacaran! Nah, kalau aku? Biasa, aku lagi berunding soal Ryan bersama anggota Geng Musiman.
“Ndrik, loe nggak heran, kenapa seminggu ini Rina dan Ryan lengket banget?” Junar bertanya padaku seraya memandangi Ryan dan Rina yang sedang berduaan di pojok kelas.
“Iya, gue aja heran. Baru kali ini Ryan berani berduaan bareng cewek!” Aku pun menuturkan opiniku kepada Junar.
“Gue yakin diem-diem tuh Ryan udah nembak si Rina. Liat tuh muka Rina, kayaknya bahagia banget hidupnya!” Cetus Turnip, orang ter-sok pintar di geng Musiman.
“Iri banget loe, Nip! Mau? buat dong!” Junar emosi mendengar perkataan seperti itu dari mulut Turnip.
“Bukan gitu. Maksud gue, coba loe pada mikir, apa yang sebenarnya melatarbelakangi perubahan pada dua putri malu itu!” Mulut Turnip nyerocos sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka.
“Menurut gue, kita harus mengintragosasi mereka agar tahu jawaban sebenarnya!”
Aku langsung berdiri tegap layaknya anak muda India yang baru masuk.
“Heh, Ceret! Loe kira ejaan loe itu udah benar?” Junar mencolek kepalaku dengan sangat keras. “Yang benar itu interogasi!” Teriak Turnip ke telingaku yang udah hampir tuli.

“Kami nggak pacaran, kok. Rina mendekatiku hanya ingin mengenal lebih jauh si Arif itu…”
Ya ampun… aku terharu mendengar jawaban Ryan. Ternyata orang seganteng dia juga bisa menjadi perantara cinta orang lain. Kupikir si Rina yang menyukai Ryan. Ternyata salah!
“Jadi loe sebangsa makcomblang buat Rina dan si Arif itu?”
Alis mata Ryan pun meloncat untuk menjawab pertanyaanku. Aku tidak perlu banyak berpikir. Aku tahu, Ryan selalu berkata jujur kepada sahabatnya. Aku pun tertawa kecil melihat ekspresi wajah Ryan yang selalu sok cool itu.
Kami berdua pun melanjutkan langkah kami untuk segera menuju rumah masing-masing. Tidak, aku tidak berniat pulang ke rumah. Aku berniat ke rumah Turnip untuk menemaniku ke suatu tempat. Benar, tempat kediaman seorang cewek yang sangat diperlukan jawabannya dalam kasus ini.
“Kalian kayak nggak tahu aja kalau cewek lagi jatuh cinta itu bagaimana!”
Kali ini kami mengintrogasi Rina di rumahnya. Kebetulan orangtuanya sedang pergi, jadi kami tidak perlu canggung-canggung kepadanya.
“Kami tidak percaya padamu! Mana buktinya?” Turnip mencoba menekan Rina dengan pertanyaan yang cukup bagus.
“Ini ada di handphoneku!”
“Kalau gitu, pinjam kami handphonemu! Cepat!”
“Kalian apa-apaan sih? Kok ngurusin urusan orang banget! Aku nggak mau! pergi kalian!”
Rina mencoba membela diri dan membentak kami. “Kami nggak mau! Cepat pinjam! Sini!”
Karena sudah emosi, aku pun mencoba mengambil HPnya secara paksa.
“Eh, eh, sudahlah, Ndrik! Jangan gitu banget! Ntar dia nangis!” Turnip mencoba mencegahku dan menjauhkanku dari Rina.
Tidak! Tindakan sok bijak Turnip membuat Rina kabur dan berlari kencang menjauh dari kami. Aku dan Turnip pun langsung berlari mengejarnya. Jangan sampai dia lari ke rumah… Ryan!!
“Oi, oi, Rina! Ngapain kamu ke rumah Ryan!?” aku mencoba menghentikan langkah Rina namun sayang, ia sudah memasuki rumah Ryan. Mati aku, pikirku. Aku tak tahu bagaimana ekspresi Ryan yang datar itu merespon kedatangan Rina yang begitu tak terduga.
“Ndrik, berhenti! Lebih baik kita sembunyi aja, kita intip bagaimana ekspresi Ryan dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya!”
Kupikir ide Turnip yang satu ini begitu cerdas. Aku pun menganggukkan kepala dan kami berdua berlari ke dalam semak.
Setelah beberapa menit menunggu seseorang keluar dari rumah Ryan, seorang cowok sebaya kami datang ke rumah Ryan dengan menaiki kereta besar yang macho.
“Siapa dia, Ndrik?” Bisik Turnip dengan begitu heran sambil memandangi gerak gerik cowok sok modis tersebut. Aku menggeleng dan tetap terus fokus kepada cowok tersebut.
“Ryan, ayo temenin gue ke tempat si Rina. Gue pengen jumpa sama tuh cewek…”
“Rina? Rina…ng..anu, Rina lagi di dalam. Ayo, masuk, Rif!”
“Apa? Kok bisa? Kalian pacaran ya?”
“Nggak… nggak kok. Ya udah, ayo masuk!”
Ya ampun! Jadi cowok jelek itu si Arif! Eh, tapi pas banget yang dibilang Ryan waktu itu. Boneng dan kurus. Aih, nggak kebayang kalo adik kesayanganku suatu hari nanti punya cowok kayak gitu. Lebih baik aku loncat dari gedung lantai 1 daripada mesti punya adik ipar mirip kayak si Arif itu. Turnip pun garuk-garuk kepala karena bingung.
“Eh, mereka keluar, Nip! Ayo kita ikut campur!”
Aku mengajak Turnip untuk keluar dari semak belukar ini agar bisa ikut berperan dan mencari penjelasan yang pasti dari kasus ini.
“Ryan, ayo main bola!”
Aku pura-pura mengajak Ryan main bola agar tidak terlalu kelihatan kami tadi membuntutin Rina. “Kalian masih disini? Dasar ekor monyet!”
Ya ampun, Rina! Kok mulutmu kejam banget! Aku mulai kehabisan kesabaran! Aku akan menjelaskan apa yang ada di pikiran kami kepada si boneng itu!
“Loe Arif, kan? Tenang bro. kami disini nggak mau ngajak loe berkelahi. Kami disini cuma ingin mencari kepastian di antara Ryan dan Rina makanya kami mengikuti Rina. Rina dan Ryan beberapa minggu ini deket banget. Tentu aja kami masih curiga meskipun tadi Rina udah bilang kalo dia itu jatuh cinta sama Ryan!”
Jantungku merasa deg-degan setelah berusaha jujur kepada si boneng itu. Kulihat wajahnya sedih dan membuatnya semakin jelek saja.
“Oh, gitu ya? Makasih deh. Kayaknya aku mengganggu acara kalian. Aku pulang saja kalo gitu!”
Si boneng itu langsung pergi meninggalkan kami dan berjalan menuju motornya. Sebelum ia memasangkan helm di kepalanya, ia memandang Rina dengan wajah kecewa. Rina pun melongo dan kaget mendengar perkataanku tadi apalagi ia sekarang melihat si boneng itu pergi.
“Oh! Gue sekarang ngerti, Ndrik! Kalo mereka itu saling suka dan Ryan hanya sebagai perantara cinta mereka aja!” Bisik Turnip. Aku pun sependapat dengan Turnip setelah melihat ekspresi dari kedua belah pihak.

Rina dan Ryan tetap saja masih dekat dan saling berkomunikasi di kelas. Hanya saja, Rina sekarang telah membenciku setelah kejadian 3 hari yang lalu. Aku tak perlu minta maaf karena aku juga membencinya. Walaupun ia terkesan diam dan pasif, ternyata kata-katanya itu sungguh menyakitkan walau hanya sebatas kata “Ekor monyet”. Namun sekarang, muncul pertanyaan baru di dalam benakku.
“Menurut loe, si Ryan itu suka sama Rina, ya?” Tanyaku kepada Susan.
Aku cukup senang karena hari ini dia mengajakku makan bareng di kantin. Semua orang yang lewat pada menyoraki kami. Syukurlah, Susan tidak merasa bete. Ia hanya tersenyum sambil menggigit bakso pesanannya. Mungkin hanya mimpi jika aku bisa mencuri hatinya karena mencuri mangga saja aku masih ketahuan.
“Menurut aku sih kayaknya gitu. Kamu liat aja, mereka deket banget.”
Ia menjawab pertanyaanku dan aku sambil melamun tentangnya. Tiba-tiba, ia mengeluarkan Handphone dari saku rok abu-abunya dan menunjukkan sebuah sms seseorang kepadaku.
“Kamu dapet sms send all-nya Ryan tadi malam, kan?” Tanya Susan.
“Ha? Send all Ryan? Maksud kamu?”.
Lamunanku buyar ketika aku mendapati sebuah sms dari Ryan di HP nya Susan.
“Kamu nggak dapet, ya? Aneh si Ryan. Kamu tahu nggak maksud sms ini buat siapa?”
Aku pun membacanya dan berpikir sejenak dengan gaya sok cerdas.
“Rina! Sms itu tidak dikirim ke orang-orang terdekatnya agar kami tak ada yang tahu soal perasaan dia ke Rina! Aku yakin, pasti Rina juga nggak dapet!”
“Tahu nggak, kamu tuh kadang-kadang keren banget loh, Hendrik! Aku jadi suka sama kamu!”
Degg!… aku langsung kaget mendengar ucapan si Rina! Ah, sudahlah! Aku tahu dia Cuma bercanda! Sekarang saatnya meneliti sms Ryan.

“Ryan itu bunga dan Rina itu lebah? Iya juga sih. Kenapa bunganya nggak si Rina kan secara bunga itu lebih cenderung ke cewek?”
Pertanyaan Susan betul-betul cerdas. Tapi pertanyaan itu nggak membuatku mati untuk menjawab. Walaupun aku grogi karena ini pertama kalinya Susan mau datang ke rumahku.
“Nggak, San! Kamu pikir dulu deh. Bukannya Ryan itu sosok yang dikagumi banyak orang atau bahasa bancinya bisa dibilang indah! Lalu si Rina itu sosok yang tak favorit di mata orang atau bisa dibilang jelek seperti lebah! Nah, kamu setuju nggak dengan pendapat aku?”
Susan terdiam dan terus menatap mataku. Perlahan aku pun menjadi tersipu dan salah tingkah. Nggak, nggak mungkin! Nggak mungkin Susan suka sama aku! Aku itu jelek, jelek, dan jelek seperti…
Ya ampun, Susan memelukku! Aku merasa bermimpi tanpa tertidur. Untung saja sekeliling halaman rumahku tampak sepi! Hanya hembusan angin yang menyentuh permukaan kulit ini dan darah di nadi terasa mengalir deras! Apa alasan Susan memelukku? Hanya karena aku sok cerdas di depannya? Atau…
“Aku ingin jujur padamu, Hendrik. Sebenarnya sudah lama aku menyukaimu, tapi aku malu untuk mengungkapkannya. Setelah aku mengerti maksud sms Ryan dan perasaannya, aku jadi sadar. Di luar sana ada orang lain yang bernasib sama seperti aku, yaitu jatuh cinta pada seseorang yang tidak mungkin aku jatuh cinta kepadanya. Walau aku favorit girl di sekolah, itu tak membuat hadir dan perhatianmu yang setiap hari kau curahkan padaku menjadi sia-sia, Hendrik!”
Ya Tuhan, sekujur tubuhku kaku. Aku merasa lemas dan tak berdaya mendengar isi hati Susan. Ingin aku menjerit aku bukan banci!!! Sungguh, Tuhan memang sejatinya Maha Pengasih. Setelah ini, aku akan lebih banyak lagi beribadah kepadaNya. “Hendrik, aku bunga!”
^Epilog^
“Ryan, bisa tong kirimkan sms yang loe send all seminggu yang lalu dong!”
“Sms yang mana? Gue lupa…”
“Kalo nggak salah tentang bunga dan lebah gitu!”
“Apa? Gila loe! Gue nggak inget kalo pernah sms kayak gitu!
“Oh, ini nih karena keseringan smsan sama Rina sekarang!”
“Ya udah.. ya udah, tapi no comment yah! Ntar malam gue kirim!”

Bunga selalu bahagia bila lebah datang menghampirinya
Namun lebah tak pernah tahu kebahagiaan bunga sesungguhnya
Bunga hanya memandang lebah tiap waktu di kala lebah sedang bekerja
Pergi tanpa izin, datang tanpa undangan, itulah lebah
Bunga ingin bersatu dan ikut dengan lebah
Tertawa bahagia, hidup bersama lebah
Namun bunga bagi lebah hanya warung pinggir jalan
Tiada lebih sekedar menolong, tiada kurang sekedar membantu
Bunga tanpa lebah, bagai kota tanpa jalan
Walau tak mungkin dapat bersama dalam kehidupan
Tak tahu bagai apa bunga bila ditinggal lebah
Jauh di dalam sana, bunga sungguh mengagumi lebah
Namun kini, bunga hanya bisa membatu
: Aku bunga. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar