Sabtu, 19 November 2016

Cerita Biasa


Kukuruyuukk! Suara ayam jago milik Satria sedang berkokok pagi hari ini. Namanya Chicko, kepanjangan dari Chicken Cowok. Satria sudah bersiap-siap berangkat ke sekolahnya bersama motornya, tetapi dicegah oleh ibunya (Bu Ratna), “Mau berangkat sekarang? Kasih makan dulu ayammu dikandang belakang, kasihan mulai kemarin tidak pernah kamu kasih makan!” kata Bu Ratna kepada Satria putranya.
“Ah, Ibu… Satria terburu-buru nih sebab Satria ketua kelas, tidak boleh telat. Biar Si Chicko cari makan sendiri saja ah! Satria harus berangkat sekarang! Titik.” kata Satria lalu menstarter motor antiknya. “Kamu punya ayam tidak pernah diurusin, kasihan! Di kandangnya tidak ada makanan.. Kalau dilepas sulit menangkapnya. Kasih makan dulu Satria!” perintah Bu Ratna. “Satria sudah telat! Satria berangkat dulu Bu! Tadi sudah cium tangan.. ” teriak Satria yang langsung pergi menghilang menuju sekolahnya.
Pulang dari sekolah Satria langsung menuju ke dapur, tasnya dia lempar ke kursi sofa, pluk! Dia sangat lapar hari ini, gara-gara harus membawa buku-buku ke kantor dan membantu menata ruang laboratorium. Jadi tidak sempat untuk pergi ke kantin sekolah. Satria membuka penutup makanan di dapurnya. Hah? Ayam goreng? Banyak banget? Asyik! Satria mengambil dua potong paha ayam goreng (kiri dan kanan) lalu ditaruh di atas nasi di piringnya. Hap nyam, nyam, tak butuh waktu lama Satria menghabiskan kedua paha ayam itu.
“Habiskan Satria! biar kenyang dan sehat. Serta biar tambah pintar!” kata ibu Satria dari ruang tamu. Satria meraih sayap ayam dan beberapa potong daging ayam yang telah digoreng crispy tersebut, dan dilahap sampai habis ke dalam perutnya (kecuali tulang). Ah enak!
“Buuu! Ayam gorengnya enaaak banget!” kata Satria lalu minum air putih di dalam gelas kesayangannya.
“Itu Chicko! Ibu goreng! Tadi Ibu minta tolong Pak Anwar untuk menyembelihnya! Enak ya dagingnya Chicko ayam kamu? Padahal jarang kamu kasih makan, kasihan dia.. Mending Ibu goreng!!” kata Bu Ratna datar dan sangat jelas artikulasinya.
Buuhh!! Satria mengeluarkan air putih yang hampir ditelannya. Chicko? Dia segera berlari menuju kandang ayamnya yang terletak di belakang pintu dapur rumah. Dia mencari-cari Chicko di dalam kandangnya, tetapi tidak ada! “Ibuuuu!! Aduh Chicko…” teriak Satria sedih dan mengelus-elus perutnya sambil membayangkan Si Chiko ayam jago kesayangannya. (Kukuruyuukk! suara Chicko berkokok dari dalam perut Satria)

Satria dan Edo sedang nonton televisi di rumah Edo. Acara siaran langsung sepak bola timnas Indonesia melawan timnas Brazil. Di meja nampak ada dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang masih panas membara. Namun sayang, televisi di rumah Edo gambarnya terlihat kurang jelas. Ada gambar pasukan semut kecil yang berbaris rapi berjalan di layarnya (bintik-bintik). Satria menyuruh Edo untuk memutar tiang antenanya agar gambar menjadi jelas. Edo menurutinya. Dia putar tiang antena ke kiri.
“Kurang jelas.. Masih kurang tepat!” jawab Satria dari depan televisi. Edo memutar tiang antena ke kanan.
“Gambarnya hilang! Kurang tepat memutarnya bro! Putar terus!” teriak Satria dari dalam rumah. Edo memutar-mutar terus tiang antena televisinya yang ada di luar rumah, kadang kekiri, kadang kekanan, bahkan diputar sampai 360 derajat tetapi hasilnya tidak ada. Gambar sepak bola berganti gambar semut yang lagi tawuran di jalanan. Edo putus asa, dia tendang tiang antena itu dengan kakinya mirip pemain bola betulan… Duk!
“Nah! Do, ada gambarnya!” teriak Satria dari dalam. Ada gambarnya? Edo menendang lagi tiang antena itu… Duk! Dukk! “Nah!! Sudah jelas Do gambarnya! Sudah jangan diputar lagi, ini sudah bagus! Indonesia menang 3-0!!” teriak Satria kegirangan dari dalam rumah Edo. Siapa yang memutar antenanya? Gambarnya jadi jelas? Edo bersemangat untuk menendang-nendang tiang antenanya. Duk! Duk! Duk! Duk! Sampai kaki Edo merah kebiruan dan mulai memar. “Bagus Do!! Sip! Sudah jangan diputar lagi, ini sangat jernih sekali gambarnya!!” kata Satria. Huft! Edo melangkah memasuki rumahnya dengan sedikit terpincang-pincang. Lalu dia duduk di dekat Satria, “Nah! Sekarang jernih! Kamu memutarnya tepat sekali!” … Huft!

Setelah menonton bola di rumah Edo, Satria beranjak pulang. Sedangkan Edo hendak pergi menuju warungnya Bu Asti untuk membeli obat nyamuk. Ketika berjalan di depan rumah Hasan, Edo melihat Hasan sedang berada di atas genteng rumahnya. Dia sedang sibuk membetulkan gentengnya yang bocor, sebab lagi musim hujan. Badannya yang gendut tak menghalanginya untuk bisa naik ke atas genteng. Edo mengendap-endap mendekati tangga yang dipakai Hasan. Syutt! Tangga diambil oleh Edo dan dibawanya ke gang kecil dekat rumah Hasan. Dia pun berlalu menuju warungnya Bu Asti. Beres! Hasan selesai membetulkan gentengnya. Kakinya mencari-cari pijakan tangga, tapi tidak ada! Dia mencoba sekali lagi menggapai-gapai dengan kakinya lebih dalam. Ah hampa! Tidak ada apa-apa!! Hasan berbalik arah, dia lihat di sekelilingnya, tangganya tidak ada!
“Bapaaakk!! Ibuuu!!! Tanggaaa…!!” Hasan berteriak-teriak. Padahal bapak ibunya sedang pergi dan tidak ada di rumah. Nara yang sedang lewat dia panggil.
“Nara!! Ambilkan tangga, aku mau turun!” Nara tersenyum, tangga? Mana ada tangga? Lagian cewek kok disuruh ambil tangga. “Emang Gue Pikirin!!” jawab Nara berlalu sambil cekikikan, hihi! Lia yang baru saja pulang les mencoba menolongnya, dia mencari-cari tangganya tapi tidak ada.
“Lompat saja Bang!” kata Lia polos. Hasan melotot, Lia langsung lari pulang ke rumahnya.
Pak RT lewat, “Saya masih ada rapat lingkungan!” kata Pak RT terlihat tergesa-gesa. Kali ini Edo yang lewat, Hasan memangil-manggil tapi Edo pura-pura tidak mendengar sambil menghitung-hitung uang di tangannya. “Brooo! Brooo!! Tolongin aku brooo!!!” Siang berganti sore, lalu sore berganti malam. Krik, krik, krik! Suara serangga malam menghiasi sekeliling rumah Hasan yang gelap gulita, karena tidak ada yang menyalakan lampu di rumahnya.

Tulalit, tulalit! Suara ponsel Satria berbunyi di dalam kamarnya. Satria yang saat ini sedang berada di ruang tamu segera melangkah menuju kamarnya. Dilihatnya dari nomor yang tidak dia kenal, dia mengangkatnya, “Halo! Buruan sayang, aku sudah lama menunggu nih!” suara dari ponsel itu yang ternyata suara seorang cewek.
“Sayang? Aku masih sekolah, tidak ada sayang-sayangan! Ini siapa?” kata Satria tegas, lalu tiduran sebab hari semakin larut malam.
“Jangan bercanda sayang! Aku sudah cape menunggumu nih!” kata cewek itu dengan manja.
“Aku tidak pernah sayang-sayangan! Mbak salah sambung!” kata Satria.
“Ini siapa?” tanya cewek itu.
“Aku Satria, sekolah di SMA Masa Depan!” jawab Satria.
“Satria? Hari gini punya nama kok Satria sih? Bukankah nama itu nama di zaman Piramida atau Majapahit? Ah sudah tahu salah sambung tidak mau bilang dari tadi! Cape ngomong nih!” kata cewek itu langsung menutup ponselnya tut, tut, tut. Satria terdiam sesaat, nomor itu menelepon lagi.
“Halo! Iya salah! nomor yang ku tuju belakangnya satu, nomormu belakangnya nol. Kamu tidak mau bilang mulai tadi kalau nomornya salah!” kata cewek itu.
“Memangnya mbak ini mau menelepon siapa sih, malam-malam begini?” tanya Satria.
“Aku mau menelepon Anto, pacarku!” jawab cewek itu. Anto? Nama pacarnya? Nama zaman sekarang? Haduh, Satria menutup teleponnya. Dia matikan juga ponselnya biar tidak ada yang mengganggu tidurnya dimalam ini.
Cewek itu kembali menelepon nomor Satria, ‘Nomor yang anda tuju sedang bobok manis atau bermimpi indah, cobalah esok hari atau di lain hari!’ Tut, tut, tut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar