Jumat, 18 November 2016

Trap On Trip Part 1

“Come on Leh, You can do it”
Teriakku pada Soleh sambil mengulurkan tanganku untuk membantunya mendaki gunung Semeru. “Ayo Rip kurang sedikit lagi” teriakku lagi pada Arip yang berada 5 langkah di bawah Soleh, namun tiba-tiba Arip berteriak dari bawah “Awas Mid, longsorr”. Belum sempat Aku melihat ke arah longsor itu, kepalaku tiba-tiba dihantam oleh sebuah batu besar. Jeduarrr… dan…?
Huah… huah… huah… Mana batunya tadi? Mana mana mana? Buset deh, cuma mimpi toh, tapi kok sakit juga ini kepala ya. Lantas Kulihat jam pada layar Handphoneku, Lah baru jam 2 pagi, tidur lagi aja deh, z z z z z z z z z …
Keesokan hari, Secara tidak sengaja, Aku bertemu teman-temanku di sebuah kedai kopi langganan kami. Sebenarnya, jarang sekali kami bisa berkumpul bersama, karena kesibukan kami masing-masing. Di sana ada Arif Al Ahmady (a.k.a. Arip), M Feri Aghni M (a.k.a. Anggik), Pengejar Illusi (a.k.a. Toha), Soleh, Hirruma (a.k.a. Budi) dan Alie Wy Do (a.k.a. Ali).
Bagi yang belum kenal mereka, mereka itu adalah teman baikku, bahkan sudah seperti saudara bagiku. Perkenalanku dengan mereka juga bisa dibilang gokil abis dan tidak layak untuk diceritakan secara keseluruhan, tapi akan Aku ceritakan sedikit saja sebagai perkenalan awal, hehe…
Semisal saja Arip, awal Aku bertemu dengannya adalah saat Aku mulai rutin pergi ke kedai kopi dekat rumahku, Aku bertemu dengannya di sana, berkenalan lantas berteman dan akhirnya kita kuliah di Universitas yang sama, kita berangkat kuliah bersama. Dia orangnya baik, terbuka, jujur dan apa adanya. pokoknya Do’i low profile banget deh, best friend pokoknya.
Lalu Anggik. Kalau yang ini sudah pada tahu semua kan ya, Dia saudara sepupuku. Kita sekolah di sekolahan yang sama saat SMA. Do’i orangnya ramah, mudah bergaul dengan siapa saja, murah senyum, asik, dan yang paling penting, Anggik itu negosiator yang handal. Jadi kalau ketemu orang agak mbulet, itu bagiannya. Pasti beres.
Lanjut ke Toha. Wah kalau Toha sih orangnya baik (Tempramen, tukang pukul, menguasai 75 teknik bela diri, keras kepala, suka marah-marah). Udah, gitu aja.
Next, Soleh. Wah bicara orang satu ini Aku jadi langsung teringat dengan aspal jalan. Gimana enggak, Do’i itu anak motor, tiga-perempat dari hidupnya Ia habiskan di jalan, keren nggak. Touring melulu kerjaannya tuh. Pagi di bojonegoro, siang di pandaan, sore di pacet, malem di telaga sarangan. Rumahnya Cepu tapi kalau ngopi di Babat, tiap hari lagi. Aku akui deh kalau Do’i itu orangnya lincah, tahan banting, Dewasa melebihi teman-teman sebayanya. Do’i itu masih ada hubungan keluarga dengan Arip seingatku. Karena sering Touring, jadi Do’i punya daftar tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi. Anggap saja Do’i sebagai Google Maps versi manusia. hehe…
Ini dia orang yang paling gokil, Budi. Gimana ya? Wah pokoknya Do’i tu baik banget deh pokoknya, hatinya masih murni, suci, tak tersentuh oleh debu, polos, lugu, ringan tangan, tulus. Do’i itu dari kecil tinggal di luar jawa, saat SMA Do’i pindah ke sini dan jadi tetanggaku, aslinya sih kelahiran sini juga. tapi ada hal unik lain yang dimiliki Budi, mungkin kebiasaan dari daerah tempat tinggalnya dulu, Ia selalu membalas saat seseorang menepuk pundaknya, mungkin di daerahnya dulu banyak terjadi aksi gendam ya. jadi kalau ingin mengerjai Budi itu gampang, tepuk saja pudaknya dan larilah sekencang mungkin, secapek apapun dia, dia pasti akan tetap mengejarmu untuk menepuk pundakmu juga. hehe…
Dan yang terakhir adalah Ali, masih satu desa dengan Arip dan Soleh, Do’i itu punya sifat keras tapi tetap baik hati, dermawan dan jago menggabungkan potongan besi. Jadi, kalau ingin pesan pagar rumah dsb, ke Do’i saja deh.
So, Waktu itu kami hanya duduk-duduk saja, sekedar makan dan menikmati secangkir kopi karena hari ini memang semua sedang libur dari aktifitasnya masing-masing. Kita hanya bercanda dan menikmati hari beranjak menuju sore, kalau anak jaman sekarang bilang sih Quality Time. Tiba-tiba Soleh (yang mendadak suka bicara bahasa inggris karena pacarnya kerja di luar negeri) bertanya pada kami “Ehh, tahun baru kemana kita nih?”. Dan Aku baru sadar kalau sekarang tanggal 31 Desember, wah.. iya ya, besok kan tahun baru masa’ kita di rumah aja. Jalan-jalan yuk kemana gitu. “Bagaimana kalau ke laut” ujar Soleh. “Wah kan baru kemarin kita ke laut masa’ ke laut lagi” jawab Arip. “Bagaimana kalau ke itu saja, ke pantai” timpal Ali. “Lah, laut apanya pantai” sahut Budi.
“Tadi malam Aku mimpi ke gunung” gumamku. “Apa’an? Ke gunung?” sahut Soleh penasaran. “Oiya gimana kalau kita ke gunung aja, kita kan belum pernah ke gunung rame-rame” timpal Anggik. Setelah sedikit berunding, akhirnya kita memutuskan untuk berlibur ke Gunung Bromo.
Tanpa pikir panjang, akhirnya tepat jam 6 sore kami berkumpul di rumah arip sambil memasangi stiker berbahan fosfor di setiap bagian belakang helm kami dan membagi urutan siapa yang nanti dalam perjalanan berada paling depan dan paling belakang, itu kami butuhkan agar tak ada seorangpun yang tertinggal dan mempermudah pengawasan, jadi tugas pengendara paling depan adalah memandu perjalanan dengan berkendara dengan kecepatan konstan dan memberikan isyarat lampu sein bila akan berbelok, mendahului serta isyarat kedip lampu rem jika ada sesuatu yang membahayakan di depan, dan tugas pengendara paling belakang adalah tetap berada pada posisi paling belakang hingga tempat tujuan serta memberi tahu pengendara paling depan bila ada salah seorang dari rombongan yang motornya mogok atau ada yang ingin berhenti. Saat pengendara paling depan berhenti, semua akan ikut berhenti. itu yang membuat kami bisa melakukan perjalanan dengan cepat, tak ada yang terpisah dari rombongan, dan semoga perjalanan menuju Gunung Bromo lancar-lancar saja.
Selepas sholat magrib kami pun memulai perjalanan dengan harapan nanti jam 10 malam kami bisa beristirahat dahulu di rumah kontrakan Anggik yang berada di Malang, sambil menjemput seorang temannya yang katanya ingin ikut juga. Berjarak 5 km dari rumah kita berhenti sejenak di pom bensin sambil mengenakan mantel karena tampaknya gerimis sudah mulai membasahi kaca helm kami. Diam-diam Aku juga mengganjal panel lampu sorot motorku dengan paku kecil agar bisa menerangi jalan kawan-kawan di belakang karena Aku yang berada di posisi paling depan dan rute ke Malang lewat jombang, melintasi ngimbang, pujon serta ngantang, benar-benar tak ada lampu penerangan jalan disana kalau malam.
Wusshh.. wusshh.. wusshh…
Sebenarnya, semenjak beranjak dari pom bensin Aku sudah merasakan atmosphere MotoGP dari gelagat reman-teman di belakang. Mereka melajukan motornya kencang sekali. Mereka ingin mendahuluiku tapi ingin tetap pada aturan yang di sepakati bersama. Alhasil, motor mereka dekat sekali dengan motorku (antri) sambil bleyer-bleyer woorr… worrr… kurang banter. Tapi ini demi keselamatan kita bersama bukan jadi Aku tetap berkendara slow di kecepatan 100 km/jam.
Dari Babat hingga Kalen, perjalanan lancar-lancar saja kelihatannya, hingga kami memasuki kecamatan Modo. Kok ada yang aneh ya, perasaan makin gelap aja, padahal masih ada lampu penerangan jalan. Saat itulah tubuhku tiba-tiba saja merinding dan Aku seperti mendengar bisikan gaib. Bisikan itu sayup-sayup terdengar seperti berkata “Mas mas, lampumu mati”. Cettaarrr… Aku coba perhatikan, memang lampu motorku mati. Waaaaa… kok bisa sih, mati di tempat seperti ini. Secara reflek Aku menyalakan lampu sein dan mengedipkan lampu rem sebagai isyarat tanda bahaya sambil mengurangi kecepatan lantas berhenti di tepi jalan. Teman-teman pun turut berhenti, dengan wajah sedikit penasaran, raut muka mereka seakan menanyakan kenapa kita tiba-tiba berhenti disini, padahal perjalanan baru saja dimulai. “Ehh, gimana ini, lampuku mati, yang nyala tinggal lampu kota aja” ujarku. “Waduh, perjalanan masih jauh, malam makin gelap, hujan lagi. tanpa lampu, kamu nggak mungkin bisa sampai malang dengan selamat deh” jawab Ali. “Kita cari bengkel dulu” imbuhnya. Akhirnya kami mencari bengkel motor terdekat.
Perjalanan kan baru 25 km. Apa gara-gara Aku mengganjal panel lampu sorotnya ya sampai lampunya putus. dan malangnya setiap bengkel terdekat yang kami kunjungi sedang tutup. Ini kan malam tahun baru ya, pasti lagi malam tahun baruan semua ini, waduh-waduh.
Karena tak mau membuang waktu hanya karena mengurusi motorku saja, Aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan dan mencari bengkel atau toko sparepart di daerah berikutnya yaitu daerah Ploso. Sebenarnya takut teman-teman kecewa saja. Oke, gimana? kita lanjut? perjalanan masih jauh, jangan sampai kita kelewatan menyaksikan Sunrise di Bromo yang katanya aduhai gitu, “Leh gantian kamu yang di depan ya, Aku di belakangmu aja biar bisa lihat jalan dari lampu motormu, oke?” Permintaanku pada Soleh yang mengendarai motor Satrio fuh yang baru Ia beli seminggu lalu. “Woke..” jawab Soleh. dan apakah yang terjadi? Three.. two.. one.. Goooooo… Worr.. worrr… teeetttttt… Buju buneng, belum juga Aku pake helm udah ilang aja tu Soleh (Maklum, motor baru). Lantas saja kami melanjutkan perjalanan. ini niatnya mau jalan-jalan malah jadi seperti balap liar, semua ikut kebut-kebutan.
Sesampainya di Ploso kami berhenti sejenak untuk membeli lampu motorku dan menggantinya sendiri. untung saja ada Soleh dan Ali yang membantu. fyuh, sudah jam 9 malam. Sepertinya, perkiraan sampai kota malang bakalan molor nih. “Mid, udah nyala nih lampunya” ujar Soleh. “Wah, thanks mas bro. ayo kita langsung lanjut aja gimana. ini udah jam 9 malem e, takutnya nanti jam 12 malam kita belum sampai malang bisa terjebak macet di kota Batu” ujarku.
Akhirnya, kami bergerak kembali melanjutkan perjalanan dengan Aku yang berada di posisi terdepan lagi, biar nggak kebut-kebutan lagi maksudnya. Ngantang hingga Pujon semua tampak lancar saja meskipun di Kota Batu memang macet karena jalanan sudah dipadati muda-mudi yang sedang menanti malam pergantian tahun, kami mencari jalur alternatif lain menuju kontrakan Anggik untuk menjemput Rendi. dan sebuah insiden terjadi lagi, saat kami melewati jalur alternatif menuju Kota Batu yang terkenal dengan jalan yang sangat curam itu, dari kaca spion Ku perhatikan Ali yang berada tepat di belakangku membuat jarak yang terlalu dekat, entah karena lampu motornya yang kurang terang atau memang gaya berkendaranya seperti itu. Sudah beberapa kali Aku memperlebar jarak namun Ia masih saja membuntutiku, lantas tiba-tiba Aku dikagetkan oleh jalan yang berlubang besar di depan, kontan Kubanting stir motorku menghindarinya, namun sayang Ali tidak menyadari akan hal itu dan Ia bersama Budi yang diboncengnya terpelanting hingga terperosok ke semak-semak.
“Mid.. mid.. mid..” Teriak Anggik sambil menepuk pundakku berkali-kali. “Iya, Inka christie – Gambaran cinta” jawabku. “Ehh.. bukan tebak lagu, itu ada yang jatuh di belakang” ujar Anggik sedikit panik. Aku menoleh ke belakang dan memang benar teman-teman sudah berhenti semua membantu Ali serta Budi. ini untuk putar balik juga susah sekali karena jalanan sangat curam. Usai membantu mereka berdua untuk berdiri, Kuperhatikan mereka. Kaca lampu motor Ali pecah dan celana mereka berdua sobek-sobek bercampur tanah. “Aduh pren, kita jaga jarak semua ya, jalannya terlalu curam nih, kira-kira setengah jam lagi kita sudah sampai kontrakan Anggik, kita bisa istirahat sebentar disana dan mengobati luka Ali dan Budi” kataku. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi dengan meroling penumpang yang tadinya Budi dibonceng Ali, sekarang Aku yang memboncengnya. Hebatnya Budi hanya memakai helm, jaket, celana jeans dan sendal, tanpa sepatu, tanpa jas hujan dan tanpa tas perbekalan. Amazing deh pokoknya Budi itu.
Pukul 23.00 wib
Akhirnya kami sampai juga di kontrakan Anggik. Wah, lelah sekali tubuh ini karena sejak dari rumah kita sampai disini kami kehujanan dan nampaknya belum akan reda juga. Di sana kami bertemu Rendi, teman Anggik yang katanya ingin sekali ikut ke Gunung Bromo. Kami beristirahat sejenak untuk sekedar makan, mendinginkan motor, membersihkan pakaian dan mengobati luka dua teman kami tadi. Lucunya, celana Budi itu kotor sekali dengan tanah, tapi Ia tidak membawa pakaian ganti, jadi mau tidak mau Ia akan melanjutkan perjalanan dengan celana kumal plus bolong-bolong itu, hadeehh Budi budi…
01.00 W.I.B
Kami melanjutkan perjalanan dari Kota Batu menuju Gunung Bromo. Entahlah rute mana ini yang akan dilalui Anggik, Aku tak sebegitu tahu arah ke Gunung Bromo, yang pasti Anggik pernah bilang Malang-Tumpang-Bromo, di sekitaran itulah rute yang kami ambil, Aku cari di peta pun tidak kelihatan rute itu. Dan entah di daerah mana ini, kami sudah mulai memasuki kawasan pemukiman dengan jalan yang menanjak. Dari roman-romannya sepertinya pemukiman ini pemukiman masyarakat tengger (kalau Aku tidak salah sih). Beberapa ratus meter pemukiman tadi telah kita lewati dan kita sekarang sedang berada di kawasan kebun kopi. Wow, sudah hujan, dingin, nggak ada rumah, jalannya menanjak, nggak ada lampu jalan, gelap gulita dan… tanpa dikomando tiba-tiba rombongan berhenti. Kita berhenti karena dari arah berlawanan tampak ada sosok bayangan putih sedang terbang menuju arah kami, kita saling pandang satu sama lain, yang ada di benak kami saat itu adalah ada pocong sedang terbang. Tapi, pocong kan loncat-loncat ya, yang terbang itu kan… Waaaa… kuntilanak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar