Buah salak buah kedondong, godain Satria dong! Itu mungkin pantun yang paling tepat untuk Satria saat ini. Kali ini dia memakai sandal jepit warna kalem, celana pendek warna hijau tua, kaus merah bertuliskan ‘Cerpenmu Dot Com’ warna emas di dadanya, serta topi hitam berlogo CR7. Satria sudah ada di depan Mall Mentari. Dia berhenti tatkala melihat dua remaja melepas sepatunya di depan pintu dan masuk tanpa memakai alas kaki. Seorang satpam buru-buru mengambil sepatu itu, dan menyuruh untuk memakainya. Biar tidak masuk angin! Alasan satpam. Lantainya bersih mengkilap mirip lantai rumah bos, takut kotor, alasan kedua pemuda itu. Entah dari mana asal mereka, yang pasti membuat Satria tersenyum haru. Polos banget mereka, batinnya.
Satria kembali menghentikan langkah kakinya, kali ini di depan eskalator. Dia tak jadi naik gara-gara landasan eskalator bergerak naik terus. Dia takut jatuh. Apalagi pegangan tangannya juga bergerak terus. Lama mencoba untuk naik tapi gak bisa-bisa, akhirnya Satria memutuskan untuk naik tangga biasa saja. Dia balik badan, hah? Banyak orang berdiri bergerombol di belakangnya. Mereka memandangi Satria dengan tersenyum. Satu, dua, tiga.. Ada kalau sekitar dua puluh orang yang terpaksa antre menunggu Satria naik eskalator, tapi gak jadi-jadi. Satria pun beralih naik dari tangga biasa, tap, tap, tap!
Di lantai dua Satria sempat berbelanja novel remaja ‘Jupiter Antariksa’ dan sebuah kacamata berwarna silver. Dia mencoba mencari-cari tangga biasa untuk naik ke lantai tiga, tapi yang ditemuinya adalah pintu lift. Kebetulan pintu liftnya baru saja terbuka, dan ada lima orang ke luar dari dalam lift. Satria memasukinya, pintu lift tertutup. Ah! Apa yang harus ku lakukan nih? batinnya. Dia lihat di papan tombol ada angka-angka dan tanda-tanda. Satria takut menekan tombol tiga karena takut liftnya justru jatuh ke bawah. Udara terasa pengap, ruangannya sempit, tak ada jendela, bagaimana cara minta tolong nih?
Satria melihat ada kamera CCTV di pojok-pojok atas. Wah, pasti petugas mallnya bisa melihat dirinya saat ini. Satria langsung melambai-lambaikan tangannya ke kamera mirip uji nyali (acara di televisi). Bahkan melompat-lompat, menari-nari, berputar-putar, dan sesekali ‘melet’ (menjulurkan lidahnya) ke kamera. Tidak ada reaksi apa-apa. Tiba-tiba pintu lift terbuka, horeee! Seorang bapak-bapak masuk membawa bungkusan. Lalu pintu tertutup lagi, Satria belum sempat ke luar tapi bapak itu menekan sebuah tombol. Tak lama kemudian pintu lift terbuka kembali, bapak-bapak itu ke luar diikuti Satria. Ah! Ini kan lantai satu tadi?
Satria berputar-putar mencari tangga biasa tapi tak ketemu karena mall ini sangat luas. Yang dia temui adalah eskalator lagi. Aku harus nekat! Satria nekat melangkahkan kakinya di atas papan pijakan yang bergerak, hup hup.. yes! Berhasil! Hampir saja Satria ambruk ke belakang, untung ada seseorang di dekatnya yang menolong memeganginya. Eskalator naik ke atas, hampir sampai, tapi sandal Satria ada yang kejepit di sela-sela lubang antara tangga yang bergerak dengan lantainya. Tap! Tiba-tiba saja eskalator itu terhenti mendadak karena terganjal sandal Satria. Eskalator itu berhenti bergerak. Satria menarik-narik sandal itu dari jepitan, tapi sia-sia. Akhirnya satpam datang. (Kasih tahu gak ya?)
—
Satria pulang dengan membawa bungkusan belanja plus omelan petugas dan satpam mall. Untung saja dia tidak kena hukuman atau denda. Satria kini melewati gang perumahan. Dari depan terlihat Hasan dan Edo lari terpontang-panting menuju ke arahnya. Mereka seperti dikejar-kejar setan. Padahal hari masih sore, masak ada setan? “Satria! Ayo lari! Ada preman-preman mengejar kita!” teriak Edo sambil mencoba menarik lengan Satria untuk diajak melarikan diri, tapi lepas. Edo terus lari sekencang-kencangnya. Diikuti Hasan dari belakangnya. Satria cuma bisa terdiam dan mematung di tempatnya. Lalu nampak gerombolan preman berteriak-teriak lari menuju ke arahnya. Tepat di depan Satria mereka berhenti. Tak bergerak dan tak bersuara. Jumlahnya enam orang. Aneh! Mereka ketakutan, berbalik arah dan langsung kabur begitu saja. Satria yang jantungnya tadi sempat copot kini terpasang kembali.
Kenapa mereka takut ketika berhadap-hadapan dengan Satria? Ternyata di belakang Satria telah berdiri dua orang tentara muda dengan berkacak pinggang dan tak bersuara. Satria tidak mengetahuinya. Pantesan para preman itu lari tunggang langgang dan berbalik arah. Memang rumah tentara itu dekat dengan Satria berdiri sekarang. Kedua tentara itu memasuki rumahnya, dan Satria tidak mengetahuinya. Satria melanjutkan perjalanan pulang. Setibanya di rumah dia didatangi Edo dan Hasan.
“Kamu tidak apa-apa Satria? Mana saja yang benjol nih? Luka dalam apa luka biasa? Ayo ke rumah sakit! Buruan! Entar keburu koit!” kata Edo sambil mencari-cari luka di tubuh Satria. Hasan juga meneliti siapa tahu ada pisau yang masih menancap di tubuhnya (sadis banget!). Karena tidak sabar lagi, maka Edo dan Hasan langsung mengangkat tubuh Satria untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi Satria berontak, “Eh apa-apaan sih? Aku gak apa-apa! Premannya tuh yang pada lari semua!” kata Satria.
Edo dan Hasan masih berusaha membawa Satria ke rumah sakit, bahkan memaksa. Namanya juga sahabat, sangat peduli dan takut kenapa-kenapa. Satria merasa jengkel hak asasinya sebagai manusia dan murid teladan di SMA Masa Depan tidak dihargai lagi. Dia pergi ke belakang, dia ambil air seember dan disiram ke kedua sahabatnya itu. Byurr!! Byuurr!!
“Udah sadar? Pulang sana! Dibilangin aku gak apa-apa kok gak percaya!” Edo dan Hasan basah kuyup, mereka sempat protes. “Tapi.. ” kata mereka tersendat. Satria pergi ke belakang untuk mengambil air lagi, kini embernya lebih besar dari yang pertama. Edo dan Hasan langsung kabur hilang dari rumah Satria. (Kamu mau disiram?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar