Namaku Shalmay. Hari ini peranku menjadi pelajar. Mungkin esok lusa menjadi pendekar, kuli, tukang cangkul, atau bahkan menjadi nenek gayung. Weks! Bukannya mau sombong, tapi ini bentuk kesyukuranku yang dianugerahi kepala(ng) cerdas. Hahaha. Menurut konklusi (i)rasional-ku dari ucapan teman-teman, aku lebih cerdas ketimbang mereka, karena mereka bilang otakku di dengkul. Nah, dengkul kan ada dua, berarti aku punya dua otak. Hebat bukan?
Suasana kelas ini ramai sekali layaknya segerombol lebah yang berdengung. Sembilan dari sepuluh pelajar sedang berkomat-kamit menghafal rumus matematika yang akan diulangankan. Percayalah, aku tak begitu suka teori, karena yang selalu ku andalkan adalah intuisi. Menunggu ulangan dimulai itu membosankan. Sebentar mengitari ruang kelas mungkin akan menghilangkan kantuk yang datang mendera. Sebuah benda di meja guru membuatku tertarik. Langsung saja aku meluncur ke sana. Oi, cantiknya … merah menggoda, maka ku sesap aromanya yang mungkin menyegarkan.
“Hm? Kang Encand, kenapa bunga ini tidak wangi?” tanyaku pada ketua kelas yang serba tahu, termasuk banyak uang receh di dompetnya. Dengan mendelik ia berkata, “Itu bunga imitasi.” Huaaa … tertipu. Intuisiku sedang ellol. Tiba-tiba guru Matematika telah ada di hadapanku. Tatapannya mengisyaratkan agar aku lekas kembali ke tempat asal.
“Baiklah anak-anak, silakan tutup catatannya dan simpan di tempat yang tak mungkin dijangkau,” titah Pak Yadi. “Ulangan Matematika kali ini tanpa soal–”
“Horeee!” seru kami sekelas.
“… tanpa soal tulisan,” lanjut Pak Yadi dingin.
Senyum kami memudar serupa cat tembok di kelas yang tak berwarna lagi. Hening. Suasana mulai mencekam. Itu artinya tes lisan. Beberapa raut muka temanku tampak seperti orang yang hendak dieksekusi mati. Aku? Tentu saja tak ambil pusing. Pasti aku dapat menjawab dengan cepat. Aku kan si Kepala(ng) Cerdas. Giliranku tiba.
“Shalmay,” panggil Pak Yadi, “bagaimana mengubah centimeter ke meter?”
Dengan bantuan intuisi dan kedua otakku, proses berpikir untuk mencari jawaban sangat cepat, hanya dengan waktu 0,001 second saja jawaban telah ku dapat.
“Hilangkan centi-nya saja, Pak,” kataku bangga.
“Shalmaaaay!!”
PLETAK!
Kalian bisa menebak apa yang terjadi? Ya, bunga imitasi tadi mendarat tepat di jidat Kang Encand -yang duduk di belakangku, tak lupa vas-nya pun ikut mendarat di sana. Karena peranku sebagai pelajar telah selesai, waktunya pergiii…. Yihaaaa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar