Jumat, 18 November 2016
Si Pembual
“Bang, bang pernah nggak lihat setan di rumah kosong itu?” tanya pemuda di samping Ghani
“nggak tu!, tapi aku tau kenapa rumah itu bisa kosong” Jawab Ghani sambil mengusap jenggot panjang yang tak terawat
“Gimana bang ceritanya?” tanya pemuda itu lagi
Malam itu seperti biasa aku tugas dari negara keliling kampung, malam itu udara dan suasananya agak terasa aneh tidak seperti malam-malam biasanya malam yang aneh.
“abang lihat setan?” potong pemuda di sampingnya.
“San… Ihsan, bukanlah masa kalo yang aneh-aneh setan doang!” jawab Ghani
“Ohh… kirain setan bang, teruskan bang!” celetuknya lagi.
Ghani pun meneruskan kisah yang terpotong tadi.
Aku seperti merasakan sebuah perasaan, perasaan kehilangan entah kehilangan apa aku tak tau. kulangkahkan kakiku dan sampai d ipertigaan, di pertigaan terdapat sebuah rumah yang megah dan aku merasakan perasaan yang amat kuat perasaan kehilangan itu lagi.
“Rumah yang mana bang?, rumah kosong itu!” tanya pemuda memotong kisah
“ya, rumah pak Sohib. Tanya mulu kapan kelarnya ini cerita?” jawab gani menggurui.
“oke bang, lanjutkan!” kata pemuda itu sambil memasang muka tersenyum.
Semua orang mengenalnya keluarga pak Sohib, keluarga yang harmonis dengan segala kemapanannya. entah kejadian apa hingga membuat beranda rumah pak Sohib menjadi sepi seperti ini.
Sebagai keamanan di kampung ini kuhampiri rumah pak Sohib dengan langkah yang berat aku berjalan sampai di depan pintunya. Tanganku terasa berat entah aura apa pada rumah pak Sohib, aku ketuk pintunya Tok… tok… tok kupanggil namanya namun tak seorang pun menjawabnya. Berkali-kali kuketuk dan kupangil-panggil tetap tak ada jawaban, saya curiga kalo terjadi apa-apa dengan sigap kuraih daun pintunya ternyata tak terkunci kubuka lebar pintunya. pertama kali saya buka mataku tertuju ke arah pak sohib, ia duduk di ruang tamu ia menatap ke lantai sembari memegang sepucuk kertas
“pak sohib…” kupanggil dia
“tak terjadi apa-apa kan pak” tanyaku
Tanpa ada balasan ia hanya menatap ke arahku dengan tatapan kosong sembari mengulurkan kertas yang ia pegang
“Lihatlah..!” pinta pak Sohib
Tanpa basa-basi kuraih kertas dari tangannya dan kubaca isinya.
Apa kabar ibu? Ibu baik-baik saja kan! Aku sangat senang, ibu, ini surat pertama yang aku buat untuk ibu. kata ayah ibu sedang sibuk jadi ayah menyuruku untuk membuat surat ini. Ibu hari ini aku kan menjalani operasiku entah sudah berapa kali aku merasakan segarnya infus, aku akan sembuh ibu.
Oh.. ya ibu penyakitku ini sudah seperti keluargaku sendiri ia selalu menemaniku, ibu tahu tadi aku sempat diperiksa dokter aku lihat dokternya menggeleng-gelengkan kepalanya saat memeriksaku. Aku tak tahu apa maksudnya tapi ayah bilang aku akan sembuh ibu, aku ingin sekali bertemu dengan ibu!. ibu bagaimana kabar bibi sudah lama ia tidak menjengukku sudah setahunan aku tidak bertemu dengannya. Oh ya kucingku juga bagaimana keadaannya?, apa kucing kesayanganku itu sudah bertambah gemuk, aku mau minta maaf padanya karena tak bisa bermain dengannya lagi.
Besok aku akan pulang ibu, kata ayah aku gak boleh cengeng di depan ibu. nanti kata ayah ibu bisa ikut jadi cengeng kaya aku. aku tak ingin ibu bersedih karena aku. Ibu ingatkah ibu saat aku terjatuh dari atas pohon di depan rumah kita aku pada waktu itu menangis tersedu-sedu tapi kini jika aku terjatuh lagi mungkin aku tidak akan menangis seperti dulu, sekarang aku tahu terjtuh dari pohon tidak lah lebih sakit dengan penyakitku ini.
Ibu aku rindu sekali dengan kamarku meski berantakan tapi aku merasa nyaman tidur di kamarku! Disini aku merasa seperti bertambah parah penyakitku ibu. Hhmm… ingin rasanya kupeluk boneka teddy besarku
Sudah ya bu kata ayah jangan banyak-banyak kalo nulis suratnya nanti ibu pusing kalo kelamaan membacanya, aku akan menjalani operasiku tunggu aku di rumah ya bu aku akan pulang
Anakmu
Love
Mona
“Ya, itulah surat yang dituliskan sebelum ia pergi” kata pak sohib membuyarkan konsentrasi membacaku
“aku tau kalo istrinya mencerikannya tapi aku baru tahu kalo anaknya meninggal” gumamku dalam hati
“apa kau tak bilang padanya tentang ibunya” tanyaku.
“tidak, jika aku bilang ia tak akan pergi seperti ini. pergi dengan bahagia” jawab pak sohib datar.
“kenapa kau tak memberitahukannya?” tanyaku lagi
“dia sudah menahan semua derita. Aku tak ingin menambah penderitaannya” jawab pak sohib tanpa ekspresi.
Aku dan pak sohib terdiam, suasana berubah menjadi hening beberapa saat.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyaku memecah keheningan.
“entah, mungkin pergi dari sini” jawab pak sohib.
“meninggalkan ini semua?” kataku heran.
“aku kan mencari kehidupan baru. Disini terlalu banyak kenangan pahit” jawab pak sohib.
“ia anak yang baik, ia pintar tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan berikan ujian padanya, ujian yang sangat berat mungkin kalo dipikir mungkin aku tak akan sanggup” tambahku.
“Kau benar!” jawab pak sohib sambil mengusap kepalanya.
“bagaimana denganmu?” tanyaku lagi.
Pak sohib tak menjawab pertanyaanku entah apa yang ada di otaknya, ia diam bak kegelapan malam yang sunyi tanpa bintang.
“kau baik-baik saja kan?” tanyaku lagi.
Ia hanya menatap ke langit-langit, lalu ia mengulurkan tangannya sembari mengambil kembali kertas yang aku pegang.
“kehidupan harus tetap berjalan, percayalah setelah hujan badai akan ada cahaya yang menyinari” nasihatku sambil kutepuk pundaknya.
Ia diam saja aku pun pamit menjalankan kewajiban keliling kampung, malam kulalui dengan penuh pemikiran tentang pak sohib.
Siangnya kudatangi lagi rumah pak sohib seperti semalam kupanggil namun tak ada yang menjawab sampai putus asa niatku menemuinya. dengan hati hampa aku hendak pulang baru 15 langkah dari beranda rumah pak sohib, tiba-tiba ada seseorang memanggilku suaranya cempreng bak terompet perang.
“Pak…” suara cempreng seorang wanita.
Dengan sigap aku pun berhenti, sudah hampir langkah yang ke 17. Aku hampiri asal suara cempreng tadi, ternyata suara tetangga pak sohib.
“cari pak Sohib ya?” tanyanya.
“iya betul, kemana ya pak Sohibnya?” tanya ku dengan penuh selidik.
“Wah… bapak telat, tadi pagi buta sekitar jam 2 kurang saya dengar suara gaduh di rumah pak Sohib, saya lihat pak Sohib seedang beres-beres. Saya tanya mau kemana pak? Eh.. orangnya gak jawab tapi saya lihat dia bawa koper sama tas” jawabnya dengan tempo cepat.
“Lo… saya kemarin jaga kok nggak tau dia pergi ya?” tanyaku keheranan.
“ketiduran kali bapaknya makanya kalo jaga jangan tidur pak” celetuknya dengan nada ketus.
“ya sudah kalo begitu makasih ya buk!” pamitku pada ibu itu.
Aku tak menyangka pak sohib pergi secepat itu.
“Oh… gitu bang ceritanya” tandas pemuda di samping Ghani.
“udah ya ceritanya! ada perintah dari negara nih” kata Ghani sembari pergi pos kamling.
Lalu sesosok orang tua mendatangi pemuda yang sedari tadi menikmati kisah Ghani
“Tong… ente diceritain apaan sama Ghani tu?” tanya orang tua itu.
“Ooo.. cerita yang dulu tinggal di rumah kosong deket pertigaan itu kong!” jawab pemuda ke sesepuh kampung.
“mau aje lu tong diceritain orang kagak waras ntu!” celoteh sesepuh kampung.
“Dulu rumah ntu ditinggali sama Pak Sohib orangnye kaye saking kayenye rumah ntu dirampok 1 keluarga dibunuh, la… yang mergoki perampok tu Ghani, Ghani dipukul pake pentungan di kepalenye terus pingsan. Sadar-sadar Ghani tidur sama mayat 1 keluarga ntu, dia shock sampe kagak waras kayak gitu. Cerita kemana-mana kalo anak pak sohib mati kena penyakit, istrinya cerai, terus pak Sohib minggat karena nggak kuat hidup di mari, jangan percaye sama tu orang gila tong!” cerita ngkong sesepuh desa ke pemuda.
“biar bang Ghani seneng kong makanya, saya dengerin ceritanya” sanggah pemuda itu.
“bisa jadi gile juga lu tong! Udah pulang sono ati-ati kalo di pertigaan ntu!” perintah engkong sesepuh sambil menakut-nakuti.
“ya kong bentar, abisin kopi dulu kong!” jawab pemuda tersebut sambil meminum kopi yang sedari tadi dingin.
SEKIAN TERIMA KASIH TELAH MEMBACA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar